Sabtu, 10 Juni 2017

BUDIDAYA IKAN MUJAIR ( Tilapia mossambica )

BUDIDAYA IKAN MUJAIR ( Tilapia mossambica )

1. SEJARAH SINGKAT

Ikan mujair merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, bentuk badan pipih dengan warna abu-abu, coklat atau hitam. Ikan ini berasal dari perairan Afrika dan pertama kali di Indonesia ditemukan oleh bapak Mujair di muara sungai Serang pantai selatan Blitar Jawa Timur pada tahun 1939. Ikan mujair mempunyai toleransi yang besar terhadap kadar garam/salinit as. Jenis ikan ini mempunyai kecepatan pertumbuhan yang relatif lebih cepat, tetapi setelah dewasa percepatan pertumbuhannya akan menurun. Panjang total maksimum yang dapat dicapai ikan mujair adalah 40 cm.
2. SENTRA PERIKANAN
Sentra perikanan terdapat didaerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, Kalimantan.
3. JENIS
Klasifikasi ikan mujair adalah sebagai berikut: Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub-ordo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis Species : Oreochromis mossambicus

Adapun jenis ikan mujair yang dikenal antara lain: mujair biasa, mujair merah (mujarah) atau jamerah dan mujair albino.
4. MANFAAT
Sebagai sumber penyediaan protein hewani.
5. PERSYARATAN LOKASI
1) Tanah yang baik untuk kolam pemeliharaan adalah jenis tanah liat/lempung, tidak berporos. Jenis tanah tersebut dapat menahan massa air yang besar dan tidak bocor sehingga dapat dibuat pematang/dinding kolam. 2) Kemiringan tanah yang baik untuk pembuatan kolam berkisar antara 3-5% untuk memudahkan pengairan kolam secara gravitasi. 3) Ikan mujair dapat tumbuh normal, jika lokasi pemeliharaan berada pada ketinggian antara 150-1000 m dpl. 4) Kualitas air untuk pemeliharaan ikan mujair harus bersih, tidak terlalu keruh dan tidak tercemar bahan-bahan kimia beracun, dan minyak/limbah pabrik. 5) Ikan mujair dapat berkembang pesat di kolam, sawah, kakaban, dan sungai air deras. Kolam dengan sistem pengairannya yang mengalir sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik ikan mujair. Debit air untuk kolam air tenang 8-15 liter/detik/ha, sedangkan untuk pembesaran di kolam air deras debitnya 100 liter/menit/m3. 6) Keasaman air (pH) yang baik adalah antara 7-8. 7) Suhu air yang baik berkisar antara 20-25 derajat C.
6. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA
6.1. Penyiapan Sarana dan Peralatan
1) Kolam
Sarana berupa kolam yang perlu disediakan dalam usaha budidaya ikan mujair tergantung dari sistim pemeliharaannya (sistim 1 kolam, 2 kolam dlsb). Adapun jenis kolam yang umum dipergunakan dalam budidaya ikan mujair antara lain: a. Kolam pemeliharaan induk/kolam pemijahan Kolam ini berfungsi sebagai kolam pemijahan, kolam sebaiknya berupa kolam tanah yang luasnya 50-100 meter persegi dan kepadatan kolam induk hanya 2 ekor/m2. Adapun syarat kolam pemijahan adalah suhu air berkisar antara 20-22 derajat C; kedalaman air 40-60 cm; dasar kolam sebaiknya berpasir.

b. Kolam pemeliharaan benih/kolam pendederan Luas kolam tidak lebih dari 50-100 meter persegi. Kedalaman air kolam antara 30-50 cm. Kepadatan sebaiknya 5-50 ekor/meter persegi. Lama pemeliharaan di dalam kolam pendederan/ipukan antara 3-4 minggu, pada saat benih ikan berukuran 3-5 cm. c. Kolam pembesaran Kolam pembesaran berfungsi sebagai tempat untuk memelihara dan membesarkan benih selepas dari kolam pendederan. Adakalanya dalam pemeliharaan ini diperlukan beberapa kolam pembesaran, yaitu: - Kolam pembesaran tahap I berfungsi untuk memelihara benih ikan selepas dari kolam pendederan. Kolam ini sebaiknya berjumlah antara 2-4 buah dengan luas maksimum 250-500 meter persegi/kolam. Pembesaran tahap I ini tidak dianjurkan memakai kolam semen, sebab benih ukuran ini memerlukan ruang yang luas. Setelah benih menjadi gelondongan kecil maka benih memasuki pembesaran tahap kedua atau langsung dijual kepada pera petani. - Kolam pembesaran tahap II berfungsi untuk memelihara benih gelondongan besar. Kolam dapat berupa kolam tanah atau sawah. Keramba apung juga dapat digunakan dengan mata jaring 1,25–1,5 cm. Jumlah penebaran pembesaran tahap II sebaiknya tidak lebih dari 10 ekor/meter persegi. - Pembesaran tahap III berfungsi untuk membesarkan benih. Diperlukan kolam tanah antara 80-100 cm dengan luas 500-2.000 meter persegi. d. Kolam/tempat pemberokan Merupakan tempat pembersihan ikan sebelum dipasarkan
2) Peralatan
Alat-alat yang biasa digunakan dalam usaha pembenihan ikan mujair diantaranya adalah: jala, waring (anco), hapa (kotak dari jaring/kelambu untuk menampung sementara induk maupun benih), seser, ember-ember, baskom berbagai ukuran, timbangan skala kecil (gram) dan besar (Kg), cangkul, arit, pisau serta piring secchi (secchi disc) untuk mengukur kadar kekeruhan.
Sedangkan peralatan lain yang digunakan untuk memanen/menangkap ikan mujair antara lain adalah warring/scoopnet yang halus, ayakan panglembangan diameter 100 cm, ayakan penandean diameter 5 cm, tempat menyimpan ikan, keramba kemplung, keramba kupyak, fish bus (untuk mengangkut ikan jarak dekat), kekaban (untuk tempat penempelan telur yang bersifat melekat), hapa dari kain tricote (untuk penetasan telur secara terkontrol) atau kadang-kadang untuk penangkapan benih, ayakan penyabetan dari alumunium/bambu, oblok/delok (untuk pengangkut benih), sirib (untuk menangkap benih ukuran 10 cm keatas), anco/hanco (untuk menangkap ikan), lambit dari jaring nilon (untuk menangkap ikan konsumsi), scoopnet (untuk menangkap benih ikan yang berumur satu minggu keatas),

3) Persiapan Media
Yang dimaksud dengan persiapan adalah melakukan penyiapan media untuk pemeliharaan ikan, terutama mengenai pengeringan, pemupukan dlsb. Dalam menyiapkan media pemeliharaan ini, yang perlu dilakukan adalah pengeringan kolam selama beberapa hari, lalu dilakukan pengapuran untuk memberantas hama dan ikan-ikan liar sebanyak 25-200 gram/meter persegi, diberi pemupukan berupa pupuk buatan, yaitu urea dan TSP masing-masing dengan dosis 50-700 gram/meter persegi, bisa juga ditambahkan pupuk buatan yang berupa urea dan TSP masing-masing dengan dosis 15 gram dan 10 gram/meter persegi.
6.2. Pembibitan
Untuk menyiapkan bibit ikan mujair yang akan dipelihara, perlu diperhatikan hal-hal penyiapan media pemeliharaan, pemilihan dan pemeliharaan induk, penetasan dan persyaratan bibit, ciri-ciri bibit dan induk unggul.
1) Pemilihan Induk
Ciri-ciri induk bibit mujair yang unggul adalah sebagai berikut: a. Mampu memproduksi benih dalam jumlah yang besar dengan  kwalitas yang tinggi. b. Pertumbuhannya sangat cepat. c. Sangat responsif terhadap makanan buatan yang diberikan. d. Resisten terhadap serangan hama, parasit dan penyakit. e. Dapat hidup dan tumbuh baik pada lingkungan perairan yang relatif buruk. f. Ukuran induk yang baik untuk dipijahkan yaitu 100 gram lebih per ekornya.
Adapun ciri-ciri untuk membedakan induk jantan dan induk betina adalah sebagai berikut: a. Betina - Terdapat 3 buah lubang pada urogenetial yaitu: dubur, lubang pengeluaran telur dan lubang urine. - Ujung sirip berwarna kemerah-merahan pucat tidak jelas. - Warna perut lebih putih. - Warna dagu putih. - Jika perut distriping tidak mengeluarkan cairan. b. Jantan - Pada alat urogenetial terdapat 2 buah lubang yaitu: anus dan lubang sperma merangkap lubang urine. - Ujung sirip berwarna kemerah-merahan terang dan jelas.
- Warna perut lebih gelap/kehitam-hitaman.
- Warna dagu kehitam-hitaman dan kemerah-merahan. - Jika perut distriping mengeluarkan cairan.
2) Sistim Pembibitan
Pembibitan ikan mujair dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu: a. Sistim satu kolam Pada sistim ini kolam pemijahan/pembenihan disatukan dengan kolam pendederan/ pemeliharaan anak. Setelah dilakukan persiapan media pembibitan, tebarkan induk jantan dan betina dengan perbandingan 1:2 atau 1:4 dengan jumlah kepadatan 2 pasang/10 meter persegi. Pamanenan dilakukan setiap 2 minggu sekali. b. Sistim dua kolam Pada sistim ini proses pemijahan dan pendederan dilakukan pada kolam terpisah, dengan perbandingan luas kolam pemijahan dengan kolam pendederan adalah 1:2 atau 1:4. Dasar kolam pendederan harus lebih rendah dari dasar kolam lainnya agar aliran air cukup deras mengalir dari kolam pemijahan ke kolam pendederan. Pada pintu kedua kolam tersebut dipasang saringan kasar agar hanya anak-anak ikan saja yang dapat lewat. Jumlah dan kepadatan induk jantan dan betina yang disebarkan sama dengan sistim satu kolam. c. Sistim platform Pada sistim ini kolam dibagi dalam 4 bagian, yaitu kolam pertama sebagai tempat induk jantan dan betina bertemu atau tempat pemijahan. Kolam kedua tempat induk betina dimana disekat oleh kisi atau krei bambu dengan ukuran lubang-lubang sebesar badan induk betina sehingga hanya induk betina yang dapat lolos ke kolam kedua ini. Kolam ketiga merupakan temapt pelepasan larva dan temapat yang ke empat adalah tempat pendederan. Persiapan media dan jumlah induk yang dilepas sama dengan sistim yang pertama.
3) Pembenihan
Pemijahan dan penetasan ikan mujair berlangsung sepanjang tahun pada kolam pemijahan dan tidak memerlukan lingkungan pemijahan secara khusus. Hal yang perlu dilakukan adalah penyiapan media pemeliharaan seperti pengerikan pengapuran dan pemupukan. Ketinggian air di kolam dipertahankan sekitar 50 cm.
Untuk menambah tingkat produkivitas dan kesuburan, maka diberikan makanan tambahan dengan komposisi sebagai berikut: tepung ikan 25%, tepung kopra 10% dan dedak halus sebesar 65%. Komposisi ransum ini digunakan  dalam usaha budidaya ikan mujair secara komersial. Dapat juga diberi makanan yang berupa pellet yang berkadar protein 20-30% dengan dosis 2-3% dari berat populasi per hari, diberikan sebanyak 2 kali/hari yaitu pada pagi dan sore hari.

Pemijahan akan terjadi setelah induk jantan membuat lubang sarang yang berupa cekungan di dasar kolam dengan garis tengah sekitar 10-35 cm. Begitu pembuatan sarang pemijahan selesai, segera berlangsung proses pemijahan. Setelah proses pembuahan selesai, maka telur-telur hasil pemijahan segera dikumpulkan oleh induk betina ke dalam mulutnya untuk dierami hingga menetas. Pada saat tersebut induk betina tidak aktif makan sehingga terlihat tubuhnya kurus. Telur akan menetas setelah 3-5 hari pada suhu air sekitar 25-27 derajat C. Setelah sekitar 2 minggu sejak penetasan, induk betina baru melepaskan anak-anaknya, karena telah mampu mencari makanan sendiri.
4) Pemeliharaan Bibit
Pendederan atau pemeliharaan anak ikan mujair dilakukan setelah telur-telur hasil pemijahan menetas. Kegiatan ini dilakukan pada kolam pendederan yang sudah siap menerima anak ikan dimana kolam tersebut dikeringkan terlebih dahulu serta dibersihkan dari ikan-ikan liar. Kolam diberi kapur dan dipupuk sesuai ketentuan. Begitu pula dengan pemberian pakan untuk bibit diseuaikan dengan ketentuan.
Jumlah penebaran dalam kolam pendederan tergantung dari ukuran benih ikan. Benih ikan ukuran 1-3 cm, jumlah penebarannya sekitar 30-50 ekor/meter persegi, ukuran 3-5 cm jumlah penebarannya berkisar 5-10 ekor/meter persegi. Sedangkan anak ikan ukuran 5-8 cm jumlah penebarannya 2-5 ekor/meter persegi. Untuk benih yang ukuran 5-8 cm ini, sebaiknya dilakukan secara monoseks kultur, karena pada ukuran tersebut benih ikan sudah dapat dibedakan yang berjenis kelamin jantan atau betina.
6.3. Pemeliharaan Pembesaran
Pemeliharaan pembesaran dapat dilakukan secara polikultur maupun monokultur. a) Polikultur 1. ikan mujair 50%, ikan tawes 20%, dan mas 30%, atau 2. ikan mujair 50%, ikan gurame 20% dan ikan mas 30%. b) Monokultur Pemeliharaan sistem ini merupakan pemeliharaan terbaik dibandingkan dengan polikultur dan pada sistem ini dilakukan pemisahan antara induk jantan dan betina.
Pembesaran ikan mujair pun dapat pula dilakukan di jaring apung, berupa Hapa berukuran 1 x 2 m sampai 2 x 3 m dengan kedalaman 75-100 cm. Ukuran hapa dapat disesuaikan dengan kedalaman kolam. Selain itu sawah yang sedang diberokan dapat dipergunakan pula untuk pemijahan dan pemeliharaan benih ikan mujair. Sebelum digunakan petak sawah diperdalam dahulu agar dapat menampung air sedalam 50-60 cm, dibuat parit selebar 1-1,5 m dengan kedalaman 60-75 cm.

1) Pemupukan
Pemupukan kolam bertujuan untuk meningkatkan dan produktivitas kolam, yaitu dengan cara merangsang pertumbuhan makanan alami sebanyakbanyaknya. Pupuk yang biasa digunakan adalah pupuk kandang atau pupuk hijau dengan dosis 50–700 gram/m2
2) Pemberian Pakan
Apabila tingkat produkivitas dan kesuburan kolam sudah semakin berkurang, maka bisa diberikan makanan tambahan dengan komposisi sebagai berikut: tepung ikan 25%, tepung kopra 10% dan dedak halus sebesar 65%. Komposisi ransum ini digunakan  dalam usaha budidaya ikan munjair secara komersial. Dapat juga diberi makanan yang berupa pellet yang berkadar protein 20-30% dengan dosis 2-3% dari berat populasi per hari, diberikan sebanyak dua kali per hari yaitu pada pagi dan sore hari.
Disamping itu juga kondisi pakan dalam perairan tersebut sesuai dengan dosis atau ketentuan yang ada. Yaitu selain pakan dari media dasar juga perlu diberi makanan tambahan berupa hancuran pellet atau remah dengan dosis 10% dari berat populasi per hari. Pemberiannya 2-3 kali/hari.
3) Pemeliharaan Kolam/Tambak
Dalam hal pemeliharaan ikan mujair yang tidak boleh terabaikan adalah menjaga kondisi perairan agar kualitas air cukup stabil dan bersih serta tidak tercemari/teracuni oleh zat beracun.
7. HAMA DAN PENYAKIT
7.1. Hama
1) Bebeasan (Notonecta) Berbahaya bagi benih karena sengatannya. Pengendalian: menuangkan minyak tanah ke permukaan air 500 cc/100 meter persegi.
2) Ucrit (Larva cybister) Menjepit badan ikan dengan taringnya hingga robek. Pengendalian: sulit diberantas; hindari bahan organik menumpuk di sekitar kolam.
3) Kodok Makan telur telur ikan. Pengendalian: sering membuang telur yang mengapung; menagkap dan membuang hidup-hidup.

4) Ular Menyerang benih dan ikan kecil. Pengendalian: lakukan penangkapan; pemagaran kolam.
5) Lingsang Memakan ikan pada malam hari. Pengendalian:pasang jebakan berumpun.
6) Burung Memakan benih yang berwarna menyala seperti merah, kuning. Pengendalian: diberi penghalang bambu agar supaya sulit menerkam; diberi rumbai-rumbai atau tali penghalang.
7.2. Penyakit
Secara umum hal-hal yang dilakukan untuk dapat mencegah timbulnya penyakit dan hama pada budidaya ikan mujair: a) Pengeringan dasar kolam secara teratur setiap selesai panen. b) Pemeliharaan ikan yang benar-benar bebas penyakit. c) Hindari penebaran ikan secara berlebihan melebihi kapasitas. d) Sistem pemasukan air yang ideal adalah paralel, tiap kolam diberi satu pintu pemasukan air. e) Pemberian pakan cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya. f) Penanganan saat panen atau pemindahan benih hendaknya dilakukan secara hati-hati dan benar. g) Binatang seperti burung, siput, ikan seribu (lebistus reticulatus peters) sebagai pembawa penyakit jangan dibiarkan masuk ke areal perkolaman.
8. PANEN
Pemanenan ikan mujair dapat dilakukan dengan cara: panen total dan panen sebagian.
1) Panen sebagian atau panen selektif
Panen selektif dilakukan tanpa pengeringan kolam, ikan yang akan dipanen dipilih dengan ukuran tertentu (untuk pemanenan benih). Ukuran benih yang akan dipanen (umur 1-1,5 bulan) tergantung dari permintaan konsumen, umumnya digolongkan untuk ukuran: 1-3 cm; 3-5 cm dan 5-8 cm. Pemanenan dilakukan dengan menggunakan waring yang di atasnya telah ditaburi umpan (dedak). Ikan yang tidak terpilih (biasanya terluka akibat jaring), sebelum dikembalikan ke kolam sebaiknya dipisahkan dan diberi obat dengan larutan malachite green 0,5-1,0 ppm selama 1 jam.

2) Panen total
Umumnya panen total dilakukan untuk menangkap/memanen ikan hasil pembesaran. Umumnya umur ikan mujair yang dipanen berkisar antara 5 bulan dengan berat berkisar antara 30-45 gram/ekor. Panen total dilakukan dengan cara mengeringkan kolam, hingga ketinggian air tinggal 10-20 cm. Petak pemanenan/petak penangkapan dibuat seluas 1 m persegi di depan pintu pengeluaran (monnik), sehingga memudahkan dalam penangkapan ikan. Pemanenan dilakukan pagi hari saat keadaan tidak panas dengan menggunakan waring atau scoopnet yang halus. Lakukan pemanenan secepatnya dan hati-hati untuk menghindari lukanya ikan.
9. PASCAPANEN
Penanganan pascapanen ikan mujair dapat dilakukan dengan cara penanganan ikan hidup maupun ikan segar.
1) Penanganan ikan hidup Adakalanya ikan konsumsi ini akan lebih mahal harganya bila dijual dalam keadaan hidup. Hal yang perlu diperhatikan agar ikan tersebut sampai ke konsumen dalam keadaan hidup, segar dan sehat antara lain: a. Dalam pengangkutan gunakan air yang bersuhu rendah sekitar 20 derajat C. b. Waktu pengangkutan hendaknya pada pagi hari atau sore hari. c. Jumlah kepadatan ikan dalam alat pengangkutan tidak terlalu padat.
2) Penanganan ikan segar Ikan segar mas merupakan produk yang cepat turun kualitasnya. Hal yang perlu diperhatikan untuk mempertahankan kesegaran antara lain: a. Penangkapan harus dilakukan hati-hati agar ikan-ikan tidak luka. b. Sebelum dikemas, ikan harus dicuci agar bersih dan lendir. c. Wadah pengangkut harus bersih dan tertutup. Untuk pengangkutan jarak dekat (2 jam perjalanan), dapat digunakan keranjang yang dilapisi dengan daun pisang/plastik. Untuk pengangkutan jarak jauh digunakan kotak dan seng atau fiberglass. Kapasitas kotak maksimum 50 kg dengan tinggi kotak maksimum 50 cm. d. Ikan diletakkan di dalam wadah yang diberi es dengan suhu 6-7 derajat C. Gunakan es berupa potongan kecil-kecil (es curai) dengan perbandingan jumlah es dan ikan=1:1. Dasar kotak dilapisi es setebal 4-5 cm. Kemudian ikan disusun di atas lapisan es ini setebal 5-10 cm, lalu disusul lapisan es lagi dan seterusnya. Antara ikan dengan dinding kotak diberi es, demikian juga antara ikan dengan penutup kotak.

Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pananganan benih adalah sebagai berikut: 1) Benih ikan harus dipilih yang sehat yaitu bebas dari penyakit, parasit dan tidak cacat. Setelah itu, benih ikan baru dimasukkan ke dalam kantong plastik (sistem tertutup) atau keramba (sistem terbuka). 2) Air yang dipakai media pengangkutan harus bersih, sehat, bebas hama dan penyakit serta bahan organik lainya. Sebagai contoh dapat digunakan air sumur yang telah diaerasi semalam. 3) Sebelum diangkut benih ikan harus diberok dahulu selama beberapa hari. Gunakan tempat pemberokan berupa bak yang berisi air bersih dan dengan aerasi yang baik. Bak pemberokan dapat dibuat dengan ukuran 1 m x 1 m atau 2 m x 0,5 m. Dengan ukuran tersebut, bak pemberokan dapat menampung benih ikan mas sejumlah 5000–6000 ekor dengan ukuran 3-5 cm. Jumlah benih dalam pemberokan harus disesuaikan dengan ukuran benihnya. 4) Berdasarkan lama/jarak pengiriman, sistem pengangkutan benih terbagi menjadi dua bagian, yaitu: a. Sistem terbuka Dilakukan untuk mengangkut benih dalam jarak dekat atau tidak memerlukan waktu yang lama. Alat pengangkut berupa keramba. Setiap keramba dapat diisi air bersih 15 liter dan dapat untuk mengangkut sekitar 5000 ekor benih ukuran 3-5 cm. b. Sistem tertutup Dilakukan untuk pengangkutan benih jarak jauh yang memerlukan waktu lebih dari 4-5 jam, menggunakan kantong plastik. Volume media pengangkutan terdiri dari air bersih 5 liter yang diberi buffer Na2(hpo)4.1H2O sebanyak 9 gram. Cara pengemasan benih ikan yang diangkut dengan kantong plastik: (1) masukkan air bersih ke dalam kantong plastik kemudian benih; (3) hilangkan udara dengan menekan kantong plastik ke permukaan air; (3) alirkan oksigen dari tabung dialirkan ke kantong plastik sebanyak 2/3 volume keseluruhan rongga (air:oksigen=1:1); (4) kantong plastik lalu diikat. (5) kantong plastik dimasukkan ke dalam dos dengan posisi membujur atau ditidurkan. Dos yang berukuran panjang 0,50 m, lebar 0,35 m, dan tinggi 0,50 m dapat diisi 2 buah kantong plastik.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan setelah benih sampai di tempat tujuan adalah sebagai berikut: 1) Siapkan larutan tetrasiklin 25 ppm dalam waskom (1 kapsul tertasiklin dalam 10 liter air bersih). 2) Buka kantong plastik, tambahkan air bersih yang berasal dari kolam setempat sedikit demi sedikit agar perubahan suhu air dalam kantong plastik terjadi perlahan-lahan. 3) Pindahkan benih ikan ke waskom yang berisi larutan  tetrasiklin selama 1-2 menit. 4) Masukan benih ikan ke dalam bak pemberokan. Dalam bak pemberokan benih ikan diberi pakan secukupnya. Selain itu, dilakukan pengobatan

dengan tetrasiklin 25 ppm selama 3 hari berturut-turut. Selain tetrsikli dapat juga digunakan obat lain seperti KMNO4 sebanyak 20 ppm atau formalin sebanyak 4% selama 3-5 menit. 5) Setelah 1 minggu dikarantina, tebar benih ikan di kolam budidaya.
10. ANALISIS EKONOMI BUDIDAYA
10.1 Analisis Usaha Budidaya
Perkiraan analisis usaha budidaya pembenihan ikan mujair selama 1 bulan pada tahun 1999 di daerah Jawa Tengah adalah sebagai berikut:

1) Biaya produksi a. Sewa kolam Rp.   120.000,b. Benih ikan mujair 4000 ekor, @ Rp.150,- Rp.   600.000,c. Pakan - Dedak 8 karung @ Rp.800,- Rp.       6.400,d. Obat dan pupuk - Kotoran ayam 4 karung, @ Rp.7.000,- Rp.     28.000,- Urea dan TSP 10 kg, @ Rp.1.800,- Rp.     18.000,- Kapur 30 kg, @ Rp. 1.200,- Rp.     36.000,e. Peralatan Rp.     96.000,f. Tenaga kerja 1 orang @ Rp. 7000,- Rp.   210.000,g. Biaya tak terduga 10% Rp.   111.440,Jumlah biaya produksi Rp.1.225.840,
2) Pendapatan benih ikan 85%,4000 ekor @ Rp.550,- Rp.1.870.000,
3) Keuntungan Rp.   644.160,
4) Parameter kelayakan usaha a. B/C ratio 11,52
10.2.Gambaran Peluang Agribisnis
Dengan adanya luas perairan umum di Indonesia yang terdiri dari sungai, rawa, danau alam dan buatan seluas hampir mendekati 13 juta ha merupakan potensi alam yang sangat baik bagi pengembangan usaha perikanan di Indonesia. Disamping itu banyak potensi pendukung lainnya yang dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta dalam hal permodalan, program penelitian dalam hal pembenihan, penanganan penyakit dan hama dan penanganan pasca panen, penanganan budidaya serta adanya kemudahan dalam hal periizinan import.
Walaupun permintaan di tingkal pasaran lokal akan ikan mujair dan ikan air tawar lainnya selalu mengalami pasang surut, namun dilihat dari jumlah hasil

penjualan secara rata-rata selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Apabila pasaran lokal ikan mujair mengalami kelesuan, maka akan sangat berpengaruh terhadap harga jual baik di tingkat petani maupun di tingkat grosir di pasar ikan. Selain itu penjualan benih ikan mujair boleh dikatakan hampir tak ada masalah, prospeknya cukup baik. Selain adanya potensi pendukung dan faktor permintaan komoditi perikanan untuk pasaran lokal, maka sektor perikanan merupakan salah satu peluang usaha bisnis yang cerah.

BUDIDAYA IKAN MAS ( Cyprinus carpio L ).

BUDIDAYA IKAN MAS ( Cyprinus carpio L ).

1. SEJARAH SINGKAT

Ikan mas merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan memanjang pipih kesamping dan lunak. Ikan mas sudah dipelihara sejak tahun 475 sebelum masehi di Cina. Di Indonesia ikan mas mulai dipelihara sekitar tahun 1920. Ikan mas yang terdapat di Indonesia merupakan merupakan ikan mas yang dibawa dari Cina, Eropa, Taiwan dan Jepang. Ikan mas Punten dan Majalaya merupakan hasil seleksi di Indonesia. Sampai saat ini sudah terdapat 10 ikan mas yang dapat diidentifikasi berdasarkan karakteristik morfologisnya.
2. SENTRA PERIKANAN
Budidaya ikan mas telah berkembang pesat di kolam biasa, di sawah, waduk, sungai air deras, bahkan ada yang dipelihara dalam keramba di perairan umum. Adapun sentra produksi ikan mas adalah: Ciamis, Sukabumi, Tasikmalaya, Bogor, Garut, Bandung, Cianjur, Purwakarta
3. JENIS
Dalam ilmu taksonomi hewan, klasifikasi ikan mas adalah sebagai berikut: Kelas : Osteichthyes Anak kelas : Actinopterygii Bangsa : Cypriniformes Suku : Cyprinidae Marga : Cyprinus Jenis : Cyprinus carpio L.
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 2/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340 Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
Saat ini ikan mas mempunyai banyak ras atau stain. Perbedaan sifat dan ciri dari ras disebabkan oleh adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan kolam, musim dan cara pemeliharaan yang terlihat dari penampilan bentuk fisik, bentuk tubuh dan warnanya. Adapun ciri-ciri dari beberapa strain ikan mas adalah sebagai berikut: 1) Ikan mas punten: sisik berwarna hijau gelap; potongan badan paling pendek; bagian punggung tinggi melebar; mata agak menonjol; gerakannya gesit; perbandingan antara panjang badan dan tinggi badan antara 2,3:1. 2) Ikan mas majalaya: sisik berwarna hijau keabu-abuan dengan tepi sisik lebih gelap; punggung tinggi; badannya relatif pendek; gerakannya lamban, bila diberi makanan suka berenang di permukaan air; perbandingan panjang badan dengan tinggi badan antara 3,2:1. 3) Ikan mas si nyonya: sisik berwarna kuning muda; badan relatif panjang; mata pada ikan muda tidak menonjol, sedangkan ikan dewasa bermata sipit; gerakannya lamban, lebih suka berada di permukaan air; perbandingan panjang badan dengan tinggi badan antara 3,6:1. 4) Ikan mas taiwan: sisik berwarna hijau kekuning-kuningan; badan relatif panjang; penampang punggung membulat; mata agak menonjol; gerakan lebih gesit dan aktif; perbandingan panjang badan dengan tinggi badan antara 3,5:1. 5) Ikan mas koi: bentuk badan bulat panjang dan bersisisk penuh; warna sisik bermacam-macam seperti putih, kuning, merah menyala, atau kombinasi dari warna-warna tersebut. Beberapa ras koi adalah long tail Indonesian carp, long tail platinm nishikigoi, platinum nishikigoi, long tail shusui nishikigoi, shusi nishikigoi, kohaku hishikigoi, lonh tail hishikigoi, taishusanshoku nshikigoi dan long tail taishusanshoku nishikigoi.
Dari sekian banyak strain ikan mas, di Jawa Barat ikan mas punten kurang berkembang karena diduga orang Jawa Barat lebih menyukai ikan mas yang berbadan relatif panjang. Ikan mas majalaya termasuk jenis unggul yang banyak dibudidayakan.
4. MANFAAT
1) Sebagai sumber penyediaan protein hewani. 2) Sebagai ikan hias.
5. PERSYARATAN LOKASI
1) Tanah yang baik untuk kolam pemeliharaan adalah jenis tanah liat/lempung, tidak berporos. Jenis tanah tersebut dapat menahan massa air yang besar dan tidak bocor sehingga dapat dibuat pematang/dinding kolam.
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 3/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340 Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
2) Kemiringan tanah yang baik untuk pembuatan kolam berkisar antara 3-5% untuk memudahkan pengairan kolam secara gravitasi. 3) Ikan mas dapat tumbuh normal, jika lokasi pemeliharaan berada pada ketinggian antara 150-1000 m dpl. 4) Kualitas air untuk pemeliharaan ikan mas harus bersih, tidak terlalu keruh dan tidak tercemar bahan-bahan kimia beracun, dan minyak/limbah pabrik. 5) Ikan mas dapat berkembang pesat di kolam, sawah, kakaban, dan sungai air deras. Kolam dengan sistem pengairannya yang mengalir sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik ikan mas. Debit air untuk kolam air tenang 8-15 liter/detik/ha, sedangkan untuk pembesaran di kolam air deras debitnya 100 liter/menit/m3. 6) Keasaman air (pH) yang baik adalah antara 7-8. 7) Suhu air yang baik berkisar antara 20-25 derajat C.
6. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA
6.1. Penyiapan Sarana dan Peralatan
1) Kolam
Lokasi kolam dicari yang dekat dengan sumber air dan bebas banjir. Kolam dibangun di lahan yang landai dengan kemiringan 2–5% sehingga memudahkan pengairan kolam secara gravitasi.
a. Kolam pemeliharaan induk Luas kolam tergantung jumlah induk dan intensitas pengelolaannya. Sebagai contoh untuk 100 kg induk memerlukan kolam seluas 500 meter persegi bila hanya mengandalkan pakan alami dan dedak. Sedangkan bila diberi pakan pelet, maka untuk 100 kg induk memerlukan luas 150-200 meter persegi saja. Bentuk kolam sebaiknya persegi panjang dengan dinding bisa ditembok atau kolam tanah dengan dilapisi anyaman bambu bagian dalamnya. Pintu pemasukan air bisa dengan paralon dan dipasang sarinya, sedangkan untuk pengeluaran air sebaiknya berbentuk monik.
b. Kolam pemijahan Tempat pemijahan dapat berupa kolam tanah atau bak tembok. Ukuran/luas kolam pemijahan tergantung jumlah induk yang dipijahkan dengan bentuk kolam empat persegi panjang. Sebagai patokan bahwa untuk 1 ekor induk dengan berat 3 kg memerlukan luas kolam sekitar 18 m2 dengan 18 buah ijuk/kakaban. Dasar kolam dibuat miring kearah pembuangan, untuk menjamin agar dasar kolam dapat dikeringkan. Pintu pemasukan bisa dengan pralon dan pengeluarannya bisa juga memakai pralon (kalau ukuran kolam kecil) atau pintu monik. Bentuk kolam penetasan pada dasarnya sama dengan kolam pemijahan dan seringkali juga untuk penetasan menggunakan kolam pemijahan. Pada kolam
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 4/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340 Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
penetasan diusahakan agar air yang masuk dapat menyebar ke daerah yang ada telurnya.
c. Kolam pendederan Bentuk kolam pendederan yang baik adalah segi empat. Untuk kegiatan pendederan ini biasanya ada beberapa kolam yaitu pendederan pertama dengan luas 25-500 m2 dan pendederan lanjutan 500-1000 m2 per petak. Pemasukan air bisa dengan pralon dan pengeluaran/ pembuangan dengan pintu berbentuk monik. Dasar kolam dibuatkan kemalir (saluran dasar) dan di dekat pintu pengeluaran dibuat kubangan. Fungsi kemalir adalah tempat berkumpulnya benih saat panen dan kubangan untuk memudahkan penangkapan benih. dasar kolam dibuat miring ke arah pembuangan. Petak tambahan air yang mempunyai kekeruhan tinggi (air sungai) maka perlu dibuat bak pengendapan dan bak penyaringan.
2) Peralatan
Alat-alat yang biasa digunakan dalam usaha pembenihan ikan mas diantaranya adalah: jala, waring (anco), hapa (kotak dari jaring/kelambu untuk menampung sementara induk maupun benih), seser, ember-ember, baskom berbagai ukuran, timbangan skala kecil (gram) dan besar (kg), cangkul, arit, pisau serta piring secchi (secchi disc) untuk mengukur kadar kekeruhan.
Sedangkan peralatan lain yang digunakan untuk memanen/menangkap ikan mas antara lain adalah warring/scoopnet yang halus, ayakan panglembangan diameter 100 cm, ayakan penandean diameter 5 cm, tempat menyimpan ikan, keramba kemplung, keramba kupyak, fish bus (untuk mengangkut ikan jarak dekat), kekaban (untuk tempat penempelan telur yang bersifat melekat), hapa dari kain tricote (untuk penetasan telur secara terkontrol) atau kadang-kadang untuk penangkapan benih, ayakan penyabetan dari alumunium/bambu, oblok/delok (untuk pengangkut benih), sirib (untuk menangkap benih ukuran 10 cm keatas), anco/hanco (untuk menangkap ikan), lambit dari jaring nilon (untuk menangkap ikan konsumsi), scoopnet (untuk menangkap benih ikan yang berumur satu minggu keatas), seser (gunanya= scoopnet, tetapi ukurannya lebih besar), jaring berbentuk segiempat (untuk menangkap induk ikan atau ikan konsumsi).
3) Persiapan Media
Yang dimaksud dengan persiapan adalah melakukan penyiapan media untuk pemeliharaan ikan, terutama mengenai pengeringan, pemupukan dlsb. Dalam menyiapkan media pemeliharaan ini, yang perlu dilakukan adalah pengeringan kolam selama beberapa hari, lalu dilakukan pengapuran untuk memberantas hama dan ikan-ikan liar sebanyak 25-200 gram/meter persegi, diberi pemupukan berupa pupuk buatan, yaitu urea dan TSP masing-masing dengan dosis 50-700 gram/meter persegi, bisa juga ditambahkan pupuk
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 5/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340 Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
buatan yang berupa urea dan TSP masing-masing dengan dosis 15 gram dan 10 gram/meter persegi.
6.2. Pembibitan
1) Pemilihan Bibit dan Induk
Usaha pembenihan ikan mas dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu secara tradisional, semi intensif dan secara intensif. Dengan semakin meningkatnya teknologi budidaya ikan, khususnya teknologi pembenihan maka telah dilaksanakan penggunaan induk-induk yang berkualitas baik. Keberhasilan usaha pembenihan tidak lagi banyak bergantung pada kondisi alam namun manusia telah banyak menemukan kemajuan diantaranya pemijahan dengan hipofisisasi, peningkatan derajat pembuahan telur dengan teknik pembunuhan buatan, penetasan telur secara terkontrol, pengendalian kuantitas dan kualitas air, teknik kultur makanan alami dan pemurnian kualitas induk ikan. Untuk peningkatan produksi benih perlu dilakukan penyeleksian terhadap induk ikan mas.
Adapun ciri-ciri induk jantan dan induk betina unggul yang sudah matang untuk dipijah adalah sebagai berikut: a. Betina: umur antara 1,5-2 tahun dengan berat berkisar 2 kg/ekor; Jantan: umur minimum 8 bulan dengan berat berkisar 0,5 kg/ekor. b. Bentuk tubuh secar akeseluruhan mulai dari mulut sampai ujung sirip ekor mulus, sehat, sirip tidak cacat. c. Tutup insan normal tidak tebal dan bila dibuka tidak terdapat bercak putih; panjang kepala minimal 1/3 dari panjang badan; lensa  mata tampak jernih. d. Sisik tersusun rapih, cerah tidak kusam. e. Pangkal ekor kuat dan normal dengan panjang panmgkal ekor harus lebih panjang dibandingkan lebar/tebal ekor.
Sedangkan ciri-ciri untuk membedakan induk jantan dan induk betina adalah sebagai berikut: a) Betina - Badan bagian perut besar, buncit dan lembek. - Gerakan lambat, pada malam hari biasanya loncat-loncat. - Jika perut distriping mengeluarkan cairan berwarna kuning. b) Jantan - Badan tampak langsing. - Gerakan lincah dan gesit. - Jika perut distriping mengeluarkan cairan sperma berwarna putih.
2) Sistim Pembenihan/Pemijahan
Saat ini dikenal dua macam sistim pemijahan pada budidaya ikan mas, yaitu:
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 6/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340 Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
a. Sistim pemijahan tradisional Dikenal beberapa cara melakukan pemijahan secara tradisional, yaitu: - Cara sunda: (1) luas kolam pemijahan 25-30 meter persegi, dasar kolam sedikit berlumpur, kolam dikeringkan lalu diisi air pada pagi hari, induk dimasukan pada sore hari; (2) disediakan injuk untuk menepelkan telur; (3) setelah proses pemijahan selesai, ijuk dipindah ke kolam penetasan. - Cara cimindi: (1) luas kolam pemijahan 25-30 meter persegi, dasar kolam sedikit berlumpur, kolam dikeringkan lalu diisi air pada pagi hari, induk dimasukan pada sore hari; kolam pemijahan merupakan kolam penetasan; (2) disediakan injuk untuk menepelkan telur, ijuk dijepit bambu dan diletakkan dipojok kolam dan dibatasi pematang antara dari tanah; (3) setelah proses pemijahan selesai induk dipindahkan ke kolam lain; (4) tujuh hari setelah pemijahan ijuk ini dibuka kemudian sekitar 2-3 minggu setelah itu dapat dipanen benih-benih ikan. - Cara rancapaku: (1) luas kolam pemijahan 25-30 meter persegi, dasar kolam sedikit berlumpur, kolam dikeringkan lalu diisi air pada pagi hari, induk dimasukan pada sore hari; kolam pemijahan merupakan kolam penetasan, batas pematang antara terbuat dari batu; (2) disediakan rumput kering untuk menepelkan telur, rumput disebar merata di seluruh permukaan air kolam dan dibatasi pematang antara dari tanah; (3) setelah proses pemijahan selesai induk tetap di kolam   pemijahan.; (4) setelah benih ikan kuat maka akan berpindah tempat melalui sela bebatuan, setelah 3 minggu maka benih dapat dipanen. - Cara sumatera: (1) luas kolam pemijahan 5 meter persegi, dasar kolam sedikit berlumpur, kolam dikeringkan lalu diisi air pada pagi hari, induk dimasukan pada sore hari; kolam pemijahan merupakan kolam penetasan; (2) disediakan injuk untuk menepelkan telur, ijuk ditebar di permukaan air; (3) setelah proses pemijahan selesai induk dipindahkan ke kolam lain; (4) setelah benih berumur 5 hari lalu pindahkan ke kolam pendederan. - Cara dubish: (1) luas kolam pemijahan 25-50 meter persegi, dibuat parit keliling dengan lebar 60 cm dalam 35 cm, kolam dikeringkan lalu diisi air pada pagi hari, induk dimasukan pada sore hari; kolam pemijahan merupakan kolam penetasan; (2) sebagai media penempel telur digunakan tanaman hidup seperti Cynodon dactylon setinggi 40 cm; (3) setelah proses pemijahan selesai induk dipindahkan ke kolam lain; (4) setelah benih berumur 5 hari lalu pindahkan ke kolam pendederan. - Cara hofer: (1) sama seperti cara dubish hanya tidak ada parit dan tanaman Cynodon dactylon dipasang di depan pintu pemasukan air.
b. Sistim kawin suntik Pada sisitim ini induk baik jantan maupun betina yang matang bertelur dirangsang untuk memijah setelah penyuntikan ekstrak kelenjar hyphofise ke dalam tubuh ikan. Kelenjar hyphofise diperoleh dari kepala ikan donor (berada dilekukan tulang tengkorak di bawah otak besar). Setelah suntikan dilakukan  dua kali, dalam tempo 6 jam induk akan terangsang
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 7/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340 Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
melakukan pemijahan. Sistim ini memerlukan biaya yang tinggi, sarana yang lengkap dan perawatan yang intensif.
3) Pembenihan/Pemijahan
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemijahan ikan mas: a. Dasar kolam tidak berlumpur, tidak bercadas. b. Air tidak terlalu keruh; kadar oksigen dalam air cukup; debit air cukup; dan suhu berkisar 25 derajat C. c. Diperlukan bahan penempel telur seperti ijuk atau tanaman air. d. Jumlah induk yang disebar tergantung dari luas kolam, sebagai patokan seekor induk berat 1 kg memerlukan kolam seluas 5 meter persegi. e. Pemberian makanan dengan kandungan protein 25%. Untuk pellet diberikan secara teratur 2 kali sehari (pagi dan sore hari) dengan takaran 2-4% dari jumlah berat induk ikan.
4) Pemeliharaan Bibit/Pendederan
Pendederan atau pemeliharaan anak ikan mas dilakukan setelah telur-telur hasil pemijahan menetas. Kegiatan ini dilakukan pada kolam pendederan (luas 200-500 meter persegi) yang sudah siap menerima anak ikan dimana kolam tersebut dikeringkan terlebih dahulu serta dibersihkan dari ikan-ikan liar. Kolam diberi kapur dan dipupuk sesuai ketentuan. Begitu pula dengan pemberian pakan untuk bibit diseuaikan dengan ketentuan.
Pendederan ikan mas dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu: a. Tahap I: umur benih yang disebar sekitar 5-7 hari(ukuran1-1,5 cm); jumlah benih yang disebar=100-200 ekor/meter persegi; lama pemeliharaan 1 bulan; ukuran benih menjadi 2-3 cm. b. Tahap II: umur benih setelah tahap I selesai; jumlah benih yang disebar=50-75 ekor/meter persegi; lama pemeliharaan 1 bulan; ukuran benih menjadi 3-5 cm. c. Tahap III: umur benih setelah tahap II selesai; jumlah benih yang disebar=25-50 ekor/meter persegi; lama pemeliharaan 1 bulan; ukuran benih menjadi 5-8 cm; perlu penambahan makanan berupa dedak halus 3-5% dari jumlah bobot benih. d. Tahap IV: umur benih setelah tahap III selesai; jumlah benih yang disebar=3-5 ekor/meter persegi; lama pemeliharaan 1 bulan; ukuran benih menjadi 8-12 cm; perlu penambahan makanan berupa dedak halus 3-5% dari jumlah bobot benih.
5) Perlakuan dan Perawatan Bibit
Apabila benih belum mencapai ukuran 100 gram, maka benih diberi pakan pelet 2 mm sebanyak 3 kali bobot total benih yang diberikan 4 kali sehari selama 3 minggu.
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 8/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340 Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
6.3. Pemeliharaan Pembesaran
Pemeliharaan pembesaran dapat dilakukan secara polikultur maupun monokultur. a) Polikultur 1. ikan mas 50%, ikan tawes 20%, dan mujair 30%, atau 2. ikan mas 50%, ikan gurame 20% dan ikan mujair 30%. b) Monokultur Pemeliharaan sistem ini merupakan pemeliharaan terbaik dibandingkan dengan polikultur dan pada sistem ini dilakukan pemisahan antara induk jantan dan betina.
1) Pemupukan
Pemupukan dengan kotoran kandang (ayam) sebanyak 250-500 gram/m2, TSP 10 gram/m2, Urea 10 gram/m2, kapur 25-100 gram/m2. Setelah itu kolam diisi air 39\0-40 cm. Biarkan 5-7 hari. Dua hari setelah pengisian air, kolam disemprot dengan insektisida organophosphat seperti Sumithion 60 EC, Basudin 60 EC dengan dosis 2-4 ppm. Tujuannya untuk memberantas serangga dan udang-udangan yang memangsa rotifera. Setelah 7 hari kemudian, air ditinggikan sekitar 60 cm. Padat penebaran ikan tergantung pemeliharaannya. Jika hanya mengandalkan pakan alami dan dedak, maka padat penebaran adalah 100-200 ekor/m2, sedangkan bila diberi pakan pellet, maka penebaran adalah 300-400 ekor/m2 (benih lepas hapa). Penebaran dilakukan pada pagi/sore hari saat suhu rendah.
2) Pemberian Pakan
Dalam pembenihan secara intensif biasanya diutamakan pemberian pakan buatan. Pakan yang berkualitas baik mengandung zat-zat makanan yang cukup, yaitu protein yang mengandung asam amino esensial, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Perawatan larva dalam hapa sekitar 4-5 hari. Setelah larva tidak menempel pada kakaban (3-4 hari kemudian) kakaban diangkat dan dibersihkan. Pemberian pakan untuk larva, 1 butir kuning telur rebus untuk 100.000 ekor/hari. Caranya kuning telur dibuat suspensi (1/4 liter air untuk 1 butir), kuning telur diremas dalam kain kemudian diberikan pada benih, perawatan 5-7 hari.
3) Pemeliharaan Kolam/Tambak
Dalam hal pemeliharaan ikan mas yang tidak boleh terabaikan adalah menjaga kondisi perairan agar kualitas air cukup stabil dan bersih serta tidak tercemari/teracuni oleh zat beracun.
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 9/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340 Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
7. HAMA DAN PENYAKIT
7.1. Hama
1) Bebeasan (Notonecta) Berbahaya bagi benih karena sengatannya. Pengendalian: menuangkan minyak tanah ke permukaan air 500 cc/100 meter persegi.
2) Ucrit (Larva cybister) Menjepit badan ikan dengan taringnya hingga robek. Pengendalian: sulit diberantas; hindari bahan organik menumpuk di sekitar kolam.
3) Kodok Makan telur telur ikan. Pengendalian: sering membuang telur yang mengapung; menagkap dan membuang hidup-hidup.
4) Ular Menyerang benih dan ikan kecil. Pengendalian: lakukan penangkapan; pemagaran kolam.
5) Lingsang Memakan ikan pada malam hari. Pengendalian:pasang jebakan berumpun.
6) Burung Memakan benih yang berwarna menyala seperti merah, kuning. Pengendalian: diberi penghalang bambu agar supaya sulit menerkam; diberi rumbai-rumbai atau tali penghalang.
7) Ikan gabus Memangsa ikan kecil. Pengendalian:pintu masukan air diberi saringan atau dibuat bak filter.
8) Belut dan kepiting Pengendalian: lakukan penangkapan.
7.2. Penyakit
1) Bintik merah (White spot) Gejala: pada bagian tubuh (kepala, insang, sirip) tampak bintik-bintik putih, pada infeksi berat terlihat jelas lapisan putih, menggosok-gosokkan badannya pada benda yang ada disekitarnya dan berenang sangat lemah serta sering muncul di permukaan air. Pengendalian: direndam dalam larutan Methylene blue 1% (1 gram dalam 100 cc air) larutan ini diambil 2-4 cc dicampur 4 liter air selama 24 jam dan Direndam dalam garam dapur NaCl selama 10 menit, dosis 1-3 gram/100 cc air.
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 10/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340 Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
2) Bengkak insang dan badan ( Myxosporesis) Gejala: tutup insang selalu terbuka oleh bintik kemerahan, bagian punggung terjadi pendarahan. Pengendalian; pengeringan kolam secara total, ditabur kapur tohon 200 gram/m2, biarkan selama 1-2 minggu.
3) Cacing insang, sirip, kulit (Dactypogyrus dan girodactylogyrus) Gejala: ikan tampak kurus, sisik kusam, sirip ekor kadang-kadang rontok, ikan menggosok-gosokkan badannya pada benda keras disekitarnya, terjadi pendarahan dan menebal pada insang. Pengendalian: (1) direndan dalam larutan formalin 250 gram/m3 selama 15 menit dan direndam dalam Methylene blue 3 gram/m3 selama 24 jam; (2) hindari penebaran ikan yang berlebihan.
4) Kutu ikan (argulosis) Gejala: benih dan induk menjadi kurus, karena dihisap darahnya. Bagian kulit, sirip dan insang terlihat jelas adanya bercak merah (hemorrtage). Pengendalian: (1) ikan yang terinfeksi direndan dalam garam dapur 20 gram/liter air selama 15 menit dan direndam larutan PK 10 ppm (10 ml/m3) selama 30 menit; (2) dengan pengeringan kolam hingga retak-retak.
5) Jamur (Saprolegniasis) Menyerang bagian kepala, tutup insang, sirip dan bagian yang lainnya. Gejala: tubuh yang diserang tampak seperti kapas. Telur yang terserang jamur, terlihat benang halus seperti kapas. Pengendalian: direndam dalam larutan Malactile green oxalat (MGO) dosis 3 gram/m3 selama 30 menit; telur yang terserang direndam dengan MGO 2-3 gram/m3 selama 1 jam.
6) Gatal (Trichodiniasis) Menyerang benih ikan. Gejala: gerakan lamban; suka menggosok-gosokan badan pada sisi kolam/aquarium. Pengendalian: rendam selam 15 menit dalam larutan formalin 150-200 ppm.
7) Bakteri psedomonas flurescens Penyakit yang sangat ganas. Gejala: pendarahan dan bobok pada kulit; sirip ekor terkikis. Pengendalian: pemberian pakan yang dicampur oxytetracycline 25-30 mg/kg ikan atau sulafamerazine 200mg/kg ikan selama 7 hari berturut-turut.
8) Bakteri aeromonas punctata Penyakit yang sangat ganas. Gejala: warna badan suram, tidak cerah; kulit kesat dan melepuh; cara bernafas mengap-mengap; kantong empedu gembung; pendarahan dalam organ hati dan ginjal. Pengendalian: penyuntikan chloramphenicol 10-15 mg/kg ikan atau streptomycin 80-100 mg/kg ikan; pakan dicampur terramicine 50 mg/kg ikan selama 7 hari berturut-turut.
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 11/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340 Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
Secara umum hal-hal yang dilakukan untuk dapat mencegah timbulnya penyakit dan hama pada budidaya ikan mas: 1) Pengeringan dasar kolam secara teratur setiap selesai panen. 2) Pemeliharaan ikan yang benar-benar bebas penyakit. 3) Hindari penebaran ikan secara berlebihan melebihi kapasitas. 4) Sistem pemasukan air yang ideal adalah paralel, tiap kolam diberi satu pintu pemasukan air. 5) Pemberian pakan cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya. 6) Penanganan saat panen atau pemindahan benih hendaknya dilakukan secara hati-hati dan benar. 7) Binatang seperti burung, siput, ikan seribu (lebistus reticulatus peters) sebagai pembawa penyakit jangan dibiarkan masuk ke areal perkolaman.
8. PANEN
8.1. Pemanenan Benih
Sebelum dilakukan pemanenan benih ikan, terlebih dahulu dipersiapkan alatalat tangkap dan sarana perlengkapannya. Beberapa alat tangkap dan sarana yang disiapkan diantaranya keramba, ember biasa, ember lebar, seser halus sebagai alat tangkap benih, jaring atau hapa sebagai penyimpanan benih sementara, saringan yang digunakan untuk mengeluarkan air dari kolam agar benih ikan tidak terbawa arus, dan bak-bak penampungan yang berisi air bersih untuk penyimpanan benih hasil panen.
Panen benih ikan dimulai pagi-pagi, yaitu antara jam 04.00–05.00 pagi dan sebaiknya berakhir tidak lebih dari jam 09.00 pagi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terik matahari yang dapat mengganggu benih ikan kesehatan tersebut. Pemanenan dilakukan mula-mula dengan menyurutkan air kolam pendederan sekitar pkul 04.00 atau 05.00 pagi secara perlahan-lahan agar ikan tidak stres akibat tekanan air yang berubah secara mendadak. Setelah air surut benih mulai ditangkap dengan seser halus atau jaring dan ditampung dalam ember atau keramba.
Benih dapat dipanen setelah dipelihara selama 21 hari. Panenan yang dapat diperoleh dapat mencapai 70-80% dengan ukuran benih antara 8-12 cm.
8.2. Cara Perhitungan Benih
Untuk mengetahui benih ikan hasil panenan yang disimpan dalam bak penyimpanan maka sebelum dijual, terlebih dahulu dihitung jumlahnya. Cara menghitung benih umumnya dengan memakai takaran, yaitu dengan menggunakan sendok untuk larva dan kebul, cawan untuk menghitung putihan, dan dihitung per ekor untuk benih ukuran glondongan. Penghitungan benih biasanya dengan cara:
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 12/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340 Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
a) Penghitungan dengan sendok. b) Penghitungan dengan mangkok.
8.3. Pembersihan
Pada umumnya, dasar kolam pendederan sudah dirancang miring dan ada saluran di tengah kolam, selain itu pada dasar kolam tersebut ada bagian yang lebih dalam dengan ukuran 1-2 meter persegi sehingga ketika air menyurut, maka benih ikan akan mengumpul di bagian kolam yang dalam tersebut. Benih ikan lalu ditangkap sampai habis dan tidak ada yang ketinggalan dalam kolam. Benih ikan tersebut semuanya disimpan dalam bak-bak penampungan yang telah disiapkan.
8.4. Pemanenan Hasil Pembesaran
Untuk menangkap/memanen ikan hasil pembesaran umumnya dilakukan panen total. Umur ikan mas yang dipanen berkisar antara 3-4 bulan dengan berat berkisar antara 400-600 gram/ekor. Panen total dilakukan dengan cara mengeringkan kolam, hingga ketinggian air tinggal 10-20 cm. Petak pemanenan/petak penangkapan dibuat seluas 2 meter persegi di depan pintu pengeluaran (monnik), sehingga memudahkan dalam penangkapan ikan. Pemanenan dilakukan pagi hari saat keadaan tidak panas dengan menggunakan waring atau scoopnet yang halus. Lakukan pemanenan secepatnya dan hati-hati untuk menghindari lukanya ikan.
9. PASCAPANEN
Penanganan pascapanen ikan mas dapat dilakukan dengan cara penanganan ikan hidup maupun ikan segar.
1) Penanganan ikan hidup Adakalanya ikan konsumsi ini akan lebih mahal harganya bila dijual dalam keadaan hidup. Hal yang perlu diperhatikan agar ikan tersebut sampai ke konsumen dalam keadaan hidup, segar dan sehat antara lain: a. Dalam pengangkutan gunakan air yang bersuhu rendah sekitar 20 derajat C. b. Waktu pengangkutan hendaknya pada pagi hari atau sore hari. c. Jumlah kepadatan ikan dalam alat pengangkutan tidak terlalu padat.
2) Penanganan ikan segar Ikan segar mas merupakan produk yang cepat turun kualitasnya. Hal yang perlu diperhatikan untuk mempertahankan kesegaran antara lain: a. Penangkapan harus dilakukan hati-hati agar ikan-ikan tidak luka. b. Sebelum dikemas, ikan harus dicuci agar bersih dan lendir.
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 13/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340 Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
c. Wadah pengangkut harus bersih dan tertutup. Untuk pengangkutan jarak dekat (2 jam perjalanan), dapat digunakan keranjang yang dilapisi dengan daun pisang/plastik. Untuk pengangkutan jarak jauh digunakan kotak dan seng atau fiberglass. Kapasitas kotak maksimum 50 kg dengan tinggi kotak maksimum 50 cm. d. Ikan diletakkan di dalam wadah yang diberi es dengan suhu 6-7 derajat C. Gunakan es berupa potongan kecil-kecil (es curai) dengan perbandingan jumlah es dan ikan=1:1. Dasar kotak dilapisi es setebal 4-5 cm. Kemudian ikan disusun di atas lapisan es ini setebal 5-10 cm, lalu disusul lapisan es lagi dan seterusnya. Antara ikan dengan dinding kotak diberi es, demikian juga antara ikan dengan penutup kotak.
3) Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pananganan benih adalah sebagai berikut: a. Benih ikan harus dipilih yang sehat yaitu bebas dari penyakit, parasit dan tidak cacat. Setelah itu, benih ikan baru dimasukkan ke dalam kantong plastik (sistem tertutup) atau keramba (sistem terbuka). b. Air yang dipakai media pengangkutan harus bersih, sehat, bebas hama dan penyakit serta bahan organik lainya. Sebagai contoh dapat digunakan air sumur yang telah diaerasi semalam. c. Sebelum diangkut benih ikan harus diberok dahulu selama beberapa hari. Gunakan tempat pemberokan berupa bak yang berisi air bersih dan dengan aerasi yang baik. Bak pemberokan dapat dibuat dengan ukuran 1 m x 1 m atau 2 m x 0,5 m. Dengan ukuran tersebut, bak pemberokan dapat menampung benih ikan mas sejumlah 5000–6000 ekor dengan ukuran 3-5 cm. Jumlah benih dalam pemberokan harus disesuaikan dengan ukuran benihnya. d. Berdasarkan lama/jarak pengiriman, sistem pengangkutan benih terbagi menjadi dua bagian, yaitu: - Sistem terbuka Dilakukan untuk mengangkut benih dalam jarak dekat atau tidak memerlukan waktu yang lama. Alat pengangkut berupa keramba. Setiap keramba dapat diisi air bersih 15 liter dan dapat untuk mengangkut sekitar 5000 ekor benih ukuran 3-5 cm. - Sistem tertutup Dilakukan untuk pengangkutan benih jarak jauh yang memerlukan waktu lebih dari 4-5 jam, menggunakan kantong plastik. Volume media pengangkutan terdiri dari air bersih 5 liter yang diberi buffer Na2(hpo)4.H2O sebanyak 9 gram. Cara pengemasan benih ikan yang diangkut dengan kantong plastik: (1) masukkan air bersih ke dalam kantong plastik kemudian benih; (3) hilangkan udara dengan menekan kantong plastik ke permukaan air; (3) alirkan oksigen dari tabung dialirkan ke kantong plastik sebanyak 2/3 volume keseluruhan rongga (air:oksigen=1:2); (4) kantong plastik lalu diikat. (5) kantong plastik dimasukkan ke dalam dos dengan posisi membujur atau ditidurkan. Dos yang berukuran panjang 0,50 m, lebar 0,35 m, dan tinggi 0,50 m dapat diisi 2 buah kantong plastik.
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 14/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340 Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
Beberapa hal yang perlu diperhatikan setelah benih sampai di tempat tujuan adalah sebagai berikut: - Siapkan larutan tetrasiklin 25 ppm dalam waskom (1 kapsul tertasiklin dalam 10 liter air bersih). - Buka kantong plastik, tambahkan air bersih yang berasal dari kolam setempat sedikit demi sedikit agar perubahan suhu air dalam kantong plastik terjadi perlahan-lahan. - Pindahkan benih ikan ke waskom yang berisi larutan  tetrasiklin selama 12 menit. - Masukan benih ikan ke dalam bak pemberokan. Dalam bak pemberokan benih ikan diberi pakan secukupnya. Selain itu, dilakukan pengobatan dengan tetrasiklin 25 ppm selama 3 hari berturut-turut. Selain tetrsikli dapat juga digunakan obat lain seperti KMNO4 sebanyak 20 ppm atau formalin sebanyak 4% selama 3-5 menit. - Setelah 1 minggu dikarantina, tebar benih ikan di kolam budidaya.
10. ANALISIS EKONOMI BUDIDAYA
10.1.Analisis Usaha Budidaya
Analisis budidaya ikan mas koki dengan luas lahan 70 m2 (kapasitas 1000 ekor) selama 7 bulan pada tahun 1999 di daerah Jawa Barat.
1) Biaya produksi a. Sewa dan pembuatan kolam Rp.   1.500.000,b. Benih ikan 1.000 ekor, @ Rp.100,- Rp.      100.000,c. Pakan - Cacing rambut 150 kg @ Rp. 1.500,- Rp.      225.000,- Pelet udang 10 kg @ Rp. 9.500,- Rp.        95.000,- Tepung jagung 50 kg @ Rp. 1.500,- Rp.        75.000,- Ganti air  7 bulan x 4 x2 @ Rp. 5.000,- Rp.      140.000,- Tenaga kerja 28 minggu @ Rp.10.000,- Rp.      280.000,- Obat-oabatan Rp.        10.000,d. Peralatan Rp.        50.000,e. Lain-lain Rp.      150.000,Jumlah biaya produksi Rp.   2.625.000,
2) Pendapatan a. Panen I (2 bulan) 400 ekor @ Rp.1.000,- Rp.      400.000,b. Panen II (4 bulan) 250 ekor @ Rp. 3.000,- Rp.      750.000,c. Panen III ( 2 bulan) 250 ekor @ Rp. 10.000,- Rp.   2.500.000,Jumlah pendapatan Rp.   3.650.000,
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 15/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340 Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
3) Keuntungan dalam 7 bulan Rp.   1.025.000,a. Keuntungan per bulan Rp.     146.425,
4) Parameter kelayakan usaha B/C ratio 1,39
10.2.Gambaran Peluang Agribisnis
Dengan adanya luas perairan umum di Indonesia yang terdiri dari sungai, rawa, danau alam dan buatan seluas hampir mendekati 13 juta ha merupakan potensi alam yang sangat baik bagi pengembangan usaha perikanan di Indonesia. Disamping itu banyak potensi pendukung lainnya yang dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta dalam hal permodalan, program penelitian dalam hal pembenihan, penanganan penyakit dan hama dan penanganan pasca panen, penanganan budidaya serta adanya kemudahan dalam hal periizinan import.
Walaupun permintaan di tingkal pasaran lokal akan ikan mas dan ikan air tawar lainnya selalu mengalami pasang surut, namun dilihat dari jumlah hasil penjualan secara rata-rata selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Apabila pasaran lokal ikan mas mengalami kelesuan, maka akan sangat berpengaruh terhadap harga jual baik di tingkat petani maupun di tingkat grosir di pasar ikan. Selain itu penjualan benih ikan mas boleh dikatakan hampir tak ada masalah, prospeknya cukup baik. Selain adanya potensi pendukung dan faktor permintaan komoditi perikanan untuk pasaran lokal, maka sektor perikanan merupakan salah satu peluang usaha bisnis yang cerah.

MANAJEMEN PEMELIHARAAN UDANG VANAME

MANAJEMEN PEMELIHARAAN UDANG VANAME

I. PENDAHULUAN 

Peningkatan produksi perikanan budidaya secara global rata-rata mecapai 8,9% per tahun sejak tahun 1970. Bila dibandingkan dengan sektor perikanan tangkap dan peternakan dalam kurun waktu yang sama masing-masing hanya mencapai 1,2 dan 2,8 % per tahun.  Namun demikian, dalam lima dekade mendatang, maka produksi budidaya harus bertumbuh hingga lima kali lipat untuk mensuplai kebutuhan populasi. Perkembangan ini harus mengatasi tiga hal pokok (Avnimelech 2009) sebagai berikut : a. Memproduksi banyak ikan tanpa meningkatkan penggunaan sumberdaya alam (tanah dan air) secara nyata b. Membangun sistem budidaya yang berkelanjutan tanpa merusak lingkungan c. Membangun sistem budidaya dengan rasio cost/benefit secara rasional guna mendukung kelangsungan budidaya secara ekonomis dan sosial. 
Salah satu faktor penting dalam mendukung ketiga hal tersebut di atas adalah penyediaan nutrisi. Nutrisi dan pemberian pakan memegang peranan penting untuk kelangsungan usaha budidaya hewan akuatik. Penggunaan pakan yang efisien dalam suatu usaha budidaya sangat penting oleh karena pakan merupakan faktor produksi yang paling mahal. Oleh karena itu, upaya perbaikan komposisi nutrisi dan perbaikan efisiensi penggunaan pakan perlu dilakukan guna meningkatan produksi hasil budidaya dan mengurangi biaya pengadaan pakan, serta meminimalkan produksi limbah pada media budidaya. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan pemahanan tentang nutrisi dan kebutuhan nutrien dari kultivan, teknologi pembuatan pakan, serta kemampuan dalam pengelolaan pakan untuk setiap tipe budidaya dari kultivan tertentu.   

1.1. Pakan dalam Akuakultur
Seperti pada organisme lainnya, hewan akuatik memerlukan nutrien esensial untuk proses pertumbuhan, pemeliharaan dan penggantian jaringan yang telah rusak, pengaturan beberapa fungsi tubuh, serta untuk mempertahankan kondisi kesehatan. Seiring dengan usaha intensifikasi budidaya, maka ketergantungan pada sediaan pakan alami semakin berkurang dan sebaliknya suplai energi semakin banyak ditentukan oleh pakan buatan yang diberikan. Dalam hal ini diperlukan pakan dengan kadar nutrisi yang seimbang serta pemberian yang cukup untuk mendukung pertumbuhan yang optimal dan pada akhirnya untuk peningkatan pendapatan hasil usaha budidaya.  Sebaliknya penggunaan pakan yang tidak bermutu berdampak pada respon pertumbuhan yang rendah, mudah terserang penyakit, serta dapat menyebabkan kematian.  Oleh karena itu, perpaduan antara penggunaan pakan berkualitas tinggi serta tingkat pengelolaan yang lebih baik telah terbukti memperbaiki efisiensi penggunaan pakan, penurunan biaya pengadaan pakan, serta mengurangi dampak kerusakan lingkungan.
Salah satu prinsip yang perlu diketahui dalam penerapan pakan untuk kepentingan budidaya adalah program pemberian pakan secara efektif (effective feeding program). Hal ini memerlukan pengetahuan tentang kebutuhan nutrien dari kultivan yang akan dipelihara, kebiasan dan tingkah laku makan, serta kemampuan kultivan dalam mencerna dan menggunakan nutrien esensial yang diberikan.
Pakan yang diberikan harus mampu menyediakan nutrien yang dibutuhkan oleh kultivan seperti protein dan asam amino esensial, lemak dan asam lemak, energi, vitamin, dan mineral. Dengan demikian, kualitas pakan pada akhirnya ditentukan oleh tingkat nutrien yang tersedia bagi kultivan.  Hal ini penting oleh karena baik ikan maupun udang memerlukan pakan semata hanya untuk memenuhi

kebutuhan energi, sehingga nilai energi dari suatu pakan turut menetukan tingkat efisiensnya. 
Kebutuhan nutrien untuk spesies tertentu perlu diketahui.  Sebagai contoh, kebutuhan protein dari ikan omnivor seperti bandeng, atau ikan herbivor seperti pada tilapia umumnya lebih rendah dibandingkan dengan ikan karnivor seperti pada kakap, kerapu dan snapper. Setiap ikan juga berbeda mengenai kebutuhan asam lemak esensial. Bandeng membutuhkan asam lemak dari kelompok n-3, sementara ikan kakap dan udang windu membutuhkan asam lemak dari kelompok n-3 dan n-6. Sebaliknya pada ikan tilapia membutuhkan asam lemak n-6. Dengan demikian, dalam memformulasikan suatu pakan hendaknya didasarkan pada kebutuhan dan tingkat nutrien esensial yang diperlukan dari kultivan tertentu.
Di bidang pengembangan pakan, upaya perbaikan kualitas bahan baku dan pengurangan biaya pengadaan pakan, serta perbaikan pengelolaan pakan di tingkat petani terus dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pakan bagi kultivan yang dipelihara. Selama pembuatan pakan perlu diperhatikan untuk tetap mempertahankan komposisi nutrien dan sekaligus mengeleminir zat anti-nutrisi. Pengawasan terhadap kualitas pakan dimulai dari pemilihan bahan baku hingga proses produksi dan penyimpanan, dan terakhir pada pengguna di lapangan juga perlu dilakukan.
Disamping itu, pengelolaan pakan harus dilakukan sebaik mungkin dengan memperhatikan apa, berapa banyak, kapan, berapa kali, dan dimana ikan/udang diberi pakan. Penerapan feeding regime hendaknya disesuaikan dengan tingkah laku ikan, serta siklus alat pencernakan guna memaksimalkan penggunaan pakan.  Disamping itu, upaya mengurangi limbah pakan tidak hanya berpengaruh terhadap biaya produksi tetapi juga berdampak pada terpeliharanya lingkungan budidaya. 

1.2.  Pakan dan Lingkungan
Usaha budidaya berkembang dengan pesat mulai dari sistem ekstensif hingga sistem intensif. Perkembangan ini telah menimbulkan masalah terutama dalam hal usaha budidaya yang berkelanjutan. Nutrien yang tersedia dalam pakan, sebagaian besar dapat menjadi polutan pada lingkungan budidaya, seperti nitrogen, fosfor, bahan organik, dan hidrogen sulfida. Semakin tinggi padat tebar membawa konsekuensi pada peningkatan limbah metabolik yang dihasilkan. Di sisi lain limbah metabolik tersebut akan terakumulasi dalam media budidaya dan pada gilirannya menjadi zat racun yang menghambat pertumbuhan bahkan dapat mematikan organisme yang dipelihara.
Limbah hasil budidaya dapat berupa : (a) bahan padatan, terutama berupa sisa pakan, kotoran ikan (feces), serta koloni bakteri; (b) bahan terlarut, seperti amoniak, urea, karbondioksida, fosfor dan hidrogen sulfida. Limbah ini akan meningkat seiring dengan konversi pakan yang rendah. Pada kondisi ini diperlukan penyesuaian jumlah pakan untuk mencegah terjadinya penumpukan sisa pakan yang dapat meningkatkan polusi baik pada media budidaya, hamparan sekitar media peliharaan, dan sekaligus pada daerah perairan pantai (coastal zone).
Penerapan pakan yang ramah lingkungan merupakan suatu keharusan sebagai upaya untuk berbudidaya yang berkelanjutan. Hal ini dapat ditempuh dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :  Pakan diformulasi dengan komposisi nutrien yang seimbang            (well- balanced diet) seperti ketersediaan asam amino yang cukup, protein : energi rasio yang seimbang, sehingga -N banyak yang terasimilasi dalam tubuh dan sedikit -N yang diekskresikan oleh ikan;

 Total fosfor dalam pakan hendaknya disesuaikan dengan organisme yang akan dipelihara. Bahan baku yang memiliki ketersediaan fosfor yang tinggi lebih baik digunakan;  Gunakan bahan yang memiliki kecernaan tinggi guna mengurangi limbah organik dari pakan;  Perbaikan stabilitas pakan melalui penggunaan binder yang efisien serta teknologi pembuatan pakan yang baik;  Penggunaan sumber protein alternatif selain tepung ikan perlu pengkajian lebih lanjut;  Hindari penggunaan bahan baku asing (exotic feedstuff) yang kemungkinan mengandung zat yang dapat menghambat pertumbuhan, kecuali ada metode tertentu untuk mendeteksi dan menghilangkan zat tersebut dalam pakan. 
1.3  Pendekatan Sistem Budidaya yang Berkelanjutan
Dalam hal usaha budidaya yang berkelanjutan, maka dari sisi nutrisi dan teknologi pakan terdapat beberapa issu penting, yaitu :
a. Diperlukan adanya upaya untuk mengurangi biaya pakan Pakan merupakan faktor produksi terbesar dari suatu usaha budidaya, dan ketersedian pakan yang ekonomis (cost-effective feed) masih menjadi kendala utama. Oleh karena itu, formula pakan harus dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi sesuatu yang murah, seperti mengurangi ketergantungan bahan baku impor dengan memanfaatkan ketersediaan bahan baku lokal.   

b.  Alternatif penggunaan bahan pengganti tepung ikan Dalam pembuatan pakan,  tepung ikan merupakan bahan yang paling banyak digunakan. Peningkatan produksi hasil budidaya yang diikuti dengan penurunan produksi tepung ikan, diperlukan adanya alternatif pengganti sumber protein tersebut. Harga tepung ikan semakin mahal dan ketersediaan semakin langka sebagai akibat dari kebutuhan tepung ikan meningkat serta kompetisi dengan produksi sektor pakan lain.  Di negara-negara Asia misalnya, kebutuhan  produk perikanan cenderung meningkat seiring dengan peningkatan populasi penduduk yang pada gilirannya ketersediaan tepung ikan semakin menurun. 
Untuk beberapa spesies akuakultur, penggunaan bahan nabati dan limbah hasil pengolahan (by-product) sebaiknya digunakan untuk menghasilkan pakan yang murah. Beberapa diantaranya menjadi sumber bahan baku potensial oleh karena kadar protein yang tinggi serta kandungan abu yang rendah seperti pada tepung daging. Demikian pula halnya dengan bahan baku berupa biji-bijian dan kacangkacangan. Penerapan bioteknologi memungkinkan untuk memperoleh bahan baku dengan kadar nutrisi yang cukup baik.
c. Penggunaan pakan supplemen Pakan komersial disamping lebih mahal, juga mengandung nutrien yang melebihi dari apa yang dibutuhkan oleh ikan. Pakan tersebut diformulasikan tanpa mempertimbangkan padat tebar serta ketersediaan pakan alami di tambak. Konsep penggunaan pakan tambahan berarti masih terdapat ketergantungan terhadap sediaan pakan yang tumbuh secara alami di tambak atau kolam untuk mensuplai sebagian nutrien yang diperlukan oleh kultivan.  Produktivitas alami dari suatu media budidaya semakin penting, dan pemahaman lebih jauh di bidang ini dapat membantu terciptanya sistem pemberian pakan yang efisien.
d. Integrasi antara pakan, pengelolaan pakan dan kesadaran lingkungan

Sisa pakan dan hasil metabolik lainnya merupakan sumber polutan utama pada suatu sistem produksi budidaya. Oleh karena itu, pakan yang dibuat hendaknya ramah lingkungan (environment-friendly). Komposisi nutrisi, keseimbangan nutrien, tingkat kecernaan, dan  kestabilan pakan merupakan faktor yang dapat berpengaruh terhadap kualitas air media budidaya.                        

II. PENGELOLAAN PAKAN 
Pakan merupakan salah satu aspek penting dalam setiap aktivitas budidaya akuatik.  Pakan merupakan faktor produksi terbesar dan mencapa 50% atau lebih dari total biaya operasional, sehingga perlu dikelola dengan baik agar dapat digunakan secara efisien bagi kultivan. Program pemberian pakan yang baik sangat diperlukan untuk memperoleh hasil maksimal dalam kegiatan budidaya udang maupun ikan.
Beberapa hal penting perlu diperhatikan selama pemberian pakan pada hewan budidaya, antara lain : 1. Pakan berkualitas merupakan hasil formulasi dengan menyediakan nutrien sesuai dengan kebutuhan kultivan yang akan dipelihara, diproduksi dengan kualitas baik dimana nutrien yang ada dapat tercerna secara maksimal; 2. Gunakan pakan yang attraktif, palatabilitas tinggi, serta size/ukuran yang sesuai dengan hewan yang dipelihara; 3. Pertahankan kualitas pakan melalui penyimpanan dan penangan yang baik dan benar; 4. Berikan pakan pada kultivan dengan jumlah dan frekuensi yang tepat sesuai dengan jumlah dan ukuran populasi; 5. Distribusikan pakan secara merata pada media budidaya (tambak, kolam dsb) sehingga semua udang mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pakan; 6. Lakukan pngaturan pakan berdasarkan kualitas air dan nafsu makan udang.   

2.1 Prosentase Pakan (Feeding rate) Pakan yang diberikan selama periode budidaya berlangsung sangat sulit untuk dikontrol secara tepat baik jumlah maupun waktu. Oleh karena itu pengaturan jumlah pakan senantiasa dilakukan sesuai dengan tingkat nafsu makan, pertumbuhan dan mortalitas udang. Jika pakan diberikan terlalu sedikit dapat berakibat pertumbuhan lambat, bahkan memicu kanibalisme terutama pada pemeliharaan dengan kepadatan tinggi. Demikian pula sebaliknya, pemberian pakan berlebih dapat menimbulkan masalah. Selain sebagai limbah, sisa pakan dapat menyebabkan penurunan mutu air di tambak. 
Seberapa besar jumlah pakan yang dikonsumsi oleh udang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : jenis pakan, ukuran udang, suhu air, padat tebar, cuaca, kualitas air dan status kesehatan udang itu sendiri. Faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan guna memaksimalkan penggunaan pakan bagi kultivan.
Suhu misalnya, mempunyai efek nyata terhadap konsumsi pakan dan pertumbuhan. Pada udang vannamei, konsumsi pakan mencapai optimal pada suhu 27-31 C. Suhu di atas atau di bawah kisaran tersebut menyebabkan konsumsi pakan menurun. Akiyama dan Chwang (1989) merekomendasikan persentase pakan berdasarkan berat udang (Tabel 1) sebagai berikut.        
10 
Tabel 1.  Persentase pakan yang diberikan berdasarkan berat udang. Ukuran udang (g) Sebagai Pakan Tambahan Sebagai Pakan Lengkap 0-3 10%-4% 15%-8% 3-15 4%-2,5% 8%-4% 15-40 2,5%-2% 4%-2%  Untuk menghitung jumlah pakan harian yang diberikan pada kultivan adalah dengan mengalikan total biomas udang dengan persentase pakan sesuai dengan berat udang seperti tercantum pada Tabel di atas. 
Total biomas = jumlah populasi udang x berat individu rata-rata 
Penentuan berat individu diupayakan seakurat mungkin untuk menghindari kesalahan dalam penentuan jumlah pakan harian. Hal ini dilakukan dengan melakukan sampling pertumbuhan tiap 10-14 hari sekali. Jumlah sampel minimal 30 ekor. Tetapi jika variasi ukuran terlalu besar, maka jumlah sampel ditingkatkan dua kali lipat. Untuk hasil yang lebih baik seharusnya udang ditimbang satu per satu. Sebagai alat bantu untuk memonitor respon pakan dapat digunakan anco. Jumlah anco sekitar 4-6 buah  yang dipasang pada sisi tambak. Jumlah pakan yang dimasukkan ke dalam anco sebanyak 1,5-2% dari jumlah pakan yang akan diberikan. Sejumlah pakan tersebut harus habis dalam waktu 1-1,5 jam (udang ukuran besar) dan 2 jam untuk udang berukuran kurang dari 4 gram. Jika pakan di anco  habis dalam waktu lebih singkat, maka jumlah pakan berikutnya dapat ditingkatkan hingga 5%. Demikian pula sebaliknya, jika dalam waktu 1-2 jam  pakan belum habis, maka diputuskan untuk mengurangi jumlah pakan pada pemberian berikutnya.  
11 
2.2 Frekuensi Pemberian Pakan Frekuensi pakan ditentukan berdasarkan tingkat kestabilan pakan dalam air dan laju konsumsi pakan oleh udang.  Pemberian pakan lebih sering dapat memperbaiki rasio konversi pakan, serta mengurangi jumlah nutrien yang hilang (leaching). Pada stadia benih, frekuensi pakan lebih sering oleh karena laju metabolisme pada saat itu sangat tinggi. Idealnya, udang stadia post larva  diberi pakan setiap 2-3 jam sekali (12-8 kali sehari). Seiring dengan pertumbuhan udang di tambak, maka frekuensi pakan dapat dikurangi dan umumnya maksimum 6 kali selama 24 jam. 
2.3 Rasio Konversi Pakan (FCR) FCR merupakan salah satu indikator seberapa jauh pakan yang diberikan dapat dimanfaatkan oleh udang untuk mendukung pertumbuhan dan sintasan. FCR menggambarkan jumlah pakan yang diperlukan untuk menaikkan 1 kg berat udang.  Semakin rendah nilai FCR, maka pakan digunakan semakin efisien. Umumnya nilai FCR kurng dari 2 masih dinyatakan baik. FCR yang tinggi kemungkinan  disebabkn oleh beberapa faktor, seperti : over feeding, defisiensi nutrien tertentu, kualitas air yang buruk. Faktor-faktor tersebut perlu terus dimonitor, sehingga program pemberian pakan lebih efisien. 
2.4 Attraktabilitas dan Palatabilitas   Formulasi pakan dengan nutrisi seimbang akan sia-sia jika tidak dapat dikonsumsi oleh udang. Attraktabilitas dan palatabilitas (cita rasa) pakan menjadi penting untuk setiap pakan yang dihasilkan. Pada saat pakan diberikan,  attraktan (asam amino) dari pakan lepas ke air  dan dideteksi oleh kemoreceptor yang menyebar di seluruh tubuh udang. Udang makan atas dasar penciuman dan bukan penglihatan, sehingga pakan harus mengandung attraktan yang baik sehingga
12 
mudah dikenali oleh udang. Pada saat udang mulai mengambil pakan, palatabilitas (cita rasa)  menjadi penting dan menentukan apakah pakan yang diberikan ditelan atau tidak.  Attraktan umumnya berasal dari bahan-bahan hewani (tepung ikan, tepung udang, tepung cumi dsb) dan sudah tersedia dalam pakan. Namun dalam prakteknya, nafsu makan udang sering dipacu dengan menambahkan attraktan dari luar seperti penggunaan silase ikan, silase biomas artemia dan sebagainya.  
2.5 Penyimpanan Pakan Salah aspek penting dalam  pengolaan pakan adalah aspek penyimpanan.  Pakan termasuk produk yang mudah rusak, sehingga perlu disimpan dan ditangani dengan baik untuk menghindari terjadinya hilangnya nutrien tertentu, terjadinya bau tengik, dan tumbuhnya jamur. Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama penyimpanan pakan adalah sebagai berikut :
1. Pakan harus disimpan ditempat yang kering, dingin dan berventilasi 2. Pakan disimpan di atas rak papan dan jangan simpan di atas lantai secara langsung 3. Pakan harus terhindar dari sinar matahari langsung 4. Pakan jangan disimpan lebih dari tiga bulan 5. Pakan yang sudah rusak jangan digunakan.        
13 
III. PENGELOLAAN PAKAN DAN LINGKUNGAN 
Budidaya udang merupakan salah satu industri besar (Rosenberry, 1999 dalam Burford dan Williams, 2001) dengan tingkat produksi sekitar 30 % dari total suplai udang dunia (Browdy, 1998).  Tingginya produksi tersebut adalah sebagai konsekuensi dari padat tebar tinggi  yang didukung oleh pemberian pakan buatan dalam pemenuhan kebutuhan energi. Oleh karenanya tidak mengherankan pada tahun 1990an, 75 % produksi udang dunia menggunakan pakan buatan dan sejak itu pakan menjadi faktor produksi terbesar.  Terlebih lagi dengan kecenderungan peningkatan produksi udang hasil budidaya, maka kebutuhan pakan pun juga pasti meningkat. Briggs et. al., (2004) laju pertumbuhan tahunan dari hasil budidaya udang mencapai 6,8 % antara tahun 1999-2000 dan mengalami penurunan sekitar 0,9% selama tahun 2002.  Hal ini dipicu oleh penurunan mutu lingkungan budidaya dan terjadinya serangan penyakit.
Terkait dengan lingkungan pemeliharaan, air dan sedimen tambak keduanya saling berinteraksi secara terus menenus dan mempengaruhi lingkungan budidaya (Gambar 1). Sedimen tambak selanjutnya dapat dipilah menjadi dua bagian besar yaitu dasar dan pematang tambak serta akumulasi sedimen (sludge yang terkumpul selama pemeliharaan).  Sedimen ini bersumber dari sisa pakan, feses, aliran air masuk, plankton yang mati, serta erosi. Komponen tersebut perlu dikelola dengan baik sehingga tidak menimbulkan residu bahan organik yang berlebihan atau pada tingkat yang dapat merusak lingkungan budidaya. Avnimelech et al., (2004), akumulasi bahan organik yang berlebih menjadi pemicu kondisi lingkungan yang anaerob, tingginya kebutuhan oksigen di sedimen, terjadinya penurunan mutu lingkungan yang pada akhirnya berdampak pada respon pertumbuhan kultivan yang rendah. 
14 
Di Thailand misalnya, sistem budidaya udang intensif pada mulanya dilakukan dengan padat tebar tinggi (50-100 ekor/m2); produksi tinggi (6-12 ton/ha/MT), FCR tinggi (1.8->2.0), serta sistem pergantian air yang lebih banyak (5-10%  per hari hingga panen). Pengelolaan air dilakukan dengan cara kombinasi antara penggantian air baru dan pengelolaan fitoplankton melalui pengamatan warna air. Bahkan pergantian air sangat sering terutama pada separuh waktu pemeliharaan terakhir.    
Gambar 1.Pengelolaan budidaya udang intensif dan interaksi kualitas air (Smith dan Briggs, 1998)
Akumulasi sedimen mulai disadari semakin besar pengaruhnya terhadap aktivitas budidaya, sehingga perlu pengelolaan sebelum siklus berikutnya berlangsung.. Dari beberapa pengalaman, diketahui bahwa jika sedimen yang menumpuk tidak dipindahkan atau dihilangkan dari dasar tambak, akan berakibat fatal pada kualitas air terutama pada awal pemeliharaan.  Akan tetapi cara ini tidak berlangsung lama seiring dengan kenyataan bahwa daerah pantai dan estuarin telah
15 
mengalami kerusakan atau penurunan mutu air, sehingga aktivitas budidaya dilakukan dengan sistem pergantian air yang terbatas atau sedikit. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa sistem pergantian air secara langsung menjadi pemicu serangan penyakit.  Terbukti bahwa penyakit viral seperti yellowhead melalui perantaraan air, sedangkan whitespot melalui perantaraan krustase yang masuk pada saat pergantian air dilakukan.
Terlepas dari keberadaan patogen atau carrier, penciptaan kondisi lingkungan prima dalam budidaya perlu dilakukan. Faktor-faktor terkait dengan masalah tersebut perlu diidentifikasi guna pengelolaan lingkungan budidaya yang lebih baik. Salah satu diantaranya yang sangat penting adalah keberadaan pakan buatan dan implikasinya bagi media budidaya selama pemeliharaan. Hal ini didasarkan pada beberapa hal seperti : (1) pakan merupakan faktor produksi yang cukup mahal pada sistem budidaya semi intensif dan intensif (Posadas, 1988 dalam Millamena dan Trino, 1997); dan (2)  pakan merupakan input terbesar yang dapat mempengaruhi akumulasi bahan organik di sedimen dan kualitas air tambak (Boyd, 1993) sehingga potensi sebagai sumber polutan jika tidak dikelolah dengan baik akibat kandungan N dan P yang tinggi (Jackson et al., 2003). 
3.1 Akumulasi Nutrien dan Bahan Organik di Dasar Tambak
Ikan dan udang dapat mengakumulasi nutrien dari pakan yang diberikan berkisar 5-40% (Tabel 2).  Dari data yang ada diketahui bahwa rerata nutrien yang dapat tertahan dalam tubuh ikan dan udang adalah 13 % carbon, 29 % nitrogen, dan 16 % posfor. Rendahnya jumlah karbon sebagai konsekuensi dari banyaknya fraksi karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data ini menunjukkan rendahnya retensi nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti nitrogen (75%) dan posfor (80%) terakumulasi di dasar tambak.
16 
Tabel 2.  Estimasi karbon, nitrogen dan posfor dalam tubuh ikan dan udang yang dinyatakan dalam persentase total budget nutrien (nutrien yang ditambahkan dalam bentuk pakan dan pupuk)a. (Avnimelech dan Ritvo, 2003).  
 a  input organik karbon melalui produktivitas primer tidak diperhitungkan  b  Kalkulasi didasarkan pada jumlah C, N, dan P pada saat panen (FCR) c  17% pada padat tebar rendah (1 Pl/m2) dan 34,6% untuk penebaran 30 Pl/m2
Komponen organik pada akumulasi sedimen merupakan campuran antara kandungan organik tanah dasar dan material berupa detritus. Detritus merupakan komponen sedimen yang bersumber dari plankton, feses udang dan sisa pakan. Dengan demikian, karakter dari akumulasi sedimen sangat ditentukan oleh intensitas budidaya yang diterapkan, kandungan organik tanah dasar, dan penerapan sistem pergantian air. Secara umum, masalah yang dihadapi pada tanah dasar dan akumulasi sedimen tambak adalah akumulasi bahan organik yang berlebih dan pada akhirnya
17 
akan melepaskan amoniak dan senyawa sulfur organik. Bahkan pada kondisi bahan organik sangat tinggi dan tanah asam dapat berupa hidrogen sulfida. Dengan demikian, untuk siklus pemeliharaan berikutnya (terutama sistem semi intensif dan intensif), pembersihan sedimen sangat diperlukan. Jika tidak, maka sedimen ini akan melepaskan bahan organik yang cenderung menstimulasi perkembangan fitoplankton secara pesat terutama pada bulan pertama pemeliharaan. Avnimelech dan Ritvo (2003) menyatakan bahwa jumlah nutrien untuk setiap 1 cm lapisan dasar tambak setara dengan 10 kali lipat atau lebih untuk kedalaman tambak 1 meter (Tabel 3).  
Tabel 3.  Konsentrasi komponen kimia pada dasar tambak dan kolom air (Avnimelech dan Ritvo, 2003). Komponen Unit Kisaran konsentrasi   Air tambak Dasar tambak Berat Kering % 10-3-10-1 20-80 Bahan organik Mg/kg 10-100 10.000-200.000 Total N Mg/kg 1-10 1000-20.000 Total  N-amonia Ppm 0.1-10 1-1000 Total  P Ppm 0.01-1 1000-20.000 
3.2 Budget Nutrien dan Padatan (solid) di Tambak
Sebuah contoh kasus tentang budget nutrien dan padatan di tambak melalui  studi yang telah dilakukan  oleh Briggs dan Smith (1994 dalam Smith dan Briggs, 1998) pada tambak dengan tekstur liat. Budget ditentukan berdasarkan bahan padatan, partikel bahan organik, nitrogen dan posfor (Gambar 2).  Dalam studinya, digunakan tiga jenis tambak  yaitu : tambak umur satu tahun, dua tahun dengan
18 
kepadatan tebar berkisar 50-60ekor/m2, serta tambak umur satu tahun dengan padat tebar tinggi (80-100 ekor/m2).  Hal mendasar yang penting dipahami dari Gambar 2 di bawah ini adalah nilai prosentase yang ditampilkan bukan menjadi ukuran akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah proporsi jumlah dari setiap fungsi (aliran air masuk, pupuk, kapur, pakan dsb).  Kondisi demikian dapat menjadi acuan dalam pengelolaan lingkungan budidaya udang.      
Gambar 2.  Budget nutrien dan total padatan di tambak (Smith dan Briggs, 1998). 
Pada Gambar 2 diketahui bahwa erosi tambak merupakan sumber terbesar baik bahan padatan (88-93%) maupun bahan organik (40-60%) di tambak. Demikian pula halnya dengan komponen pakan memberikan kontribusi bahan organik yang cukup signifikan (31-50%) meskipun kontribusi padatan relatif kecil (4-7%) terhadap
19 
lingkungan budidaya. Ini penting oleh karena pakan juga menjadi indikator tentang kontribusi kotoran yang dihasilkan oleh udang. Pada tambak sistem ekstensif, aliran air masuk (influent water)  merupakan sumber sedimen terbesar, namun demikian pada sistem intensif kontribusinya hanya berkisar 2-3 %.  Sedangkan kontribusi bahan organik dari aliran air masuk cukup signifikan (7-13%), tetapi tetap lebih rendah bila dibandingkan dengan komponen pakan dan erosi tambak.  Tambak merupakan media sedimentasi yang cukup efektif sehingga akumulasi sedimen di tambak dapat mencapai 91-94%.  Sekitar 58-70% dari sedimen tersebut akan mengendap sebagai bahan organik di dasar tambak. Pergantian air secara rutin akan menghasilkan 4% bahan padatan yang terbuang dan 3 % pada saat panen. Bahan padatan yang terbuang tersebut mengandung bahan organik masing-masing 13 dan 9%. Sebaliknya pada udang itu sendiri, kontribusi padatan dan bahan organik sangat sedikit yaitu masing-masing sebesar 0.7% dan 6.1%. Data tersebut di atas menunjukkan bahwa faktor penting dalam budget nutrien dan padatan pada suatu tambak adalah karakter tanah tambak.  Pada tanah mangrove, kandungan organik dapat mencapai 2-3 kali lipat  dari tanah liat (contoh : tanah sawah). Sebaliknya, pada tanah berpasir  kandungan organiknya sangat sedikit. Tanah yang demikian, seringkali dijumpai bahwa penumbuhan awal fitoplankton sangat sulit bahkan seringkali dijumpai adanya kematian massal. Pada tanah berpasir, kondisi terberat adalah rembesan yang tinggi menyebabkan bahan organik akan masuk ke dalam matrix tanah dimana dekomposisi anaerob dapat terjadi. Setelah satu atau dua siklus musim tanam, gagal produksi dapat terjadi sebagai akibat dari kemunduran mutu dasar tambak. Seperti diketahui bahwa pakan merupakan sumber organik terbesar kedua setelah erosi dasar tambak. Pakan tersebut sangat potensial untuk menimbulkan
20 
masalah jika  tidak dikelolah dengan baik. Hal ini disebabkan oleh karena aktivitas budidaya banyak bergantung pada ketersediaan pakan tambahan. Namun ironisnya, jumlah pakan yang diberikan untuk mendukung petumbuhan kultivan hanya sedikit yang terasimilasikan (Tabel 4). Dari sejumlah pakan yang diberikan, hanya 18-27% nitrogen dan 6-11% carbon yang dapat diasimilasikan dalam tubuh udang. Artinya, terdapat sejumlah nitrogen dan carbon yang dapat menjadi limbah nutrien. Sebagian dari padanya dapat dikonversi menjadi biomas plankton, menguap ke udara atau tertahan di sedimen. Nitrogen tersedia dalam pakan dalam jumlah yang cukup tinggi, oleh karena kebutuhan protein bagi udang cukup tinggi yaitu sekitar 27-60% (Tabel 5). Namun demikian, sebagian besar (78 %) hanya terbuang ke tambak atau sedikit yang terasimilasi dalam tubuh udang (Gambar 3) sehingga menjadi bahan pupuk yang sangat mahal untuk menstimulasi pertumbuhan plankton dan berbagai komunitas mikrobial. Burford dan Williams (2001), rendahnya retensi nitrogen dalam bentuk biomass udang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : formulasi kurang optimal dan kualitas bahan baku, kelebihan pakan, serta rendahnya stabilitas pakan di air.          
21 
Tabel 4.  Komposisi pakan, assimilasi nutrien dan jumlah yang hilang ke lingkungan (Smith dan Stewart, 1996 dalam Smith dan Briggs, 1998). 
Nutrien Proksimat analisis (%BK) Komposisi (g/kg BK)
Assimilasi pada FCR  1.65-2.40a  Pakan Udang  (g/kg assimilasi) % non- Assimilasi Protein Lemak Abu Serat Karbohidrat Berat kering Nitrogen Posfor Carbon 45,4±2,6 6,1±0,5 12,8±0,8 3,1±0,4 23,0±2,4 90,3±1,1 7,08±0,59 1,34±0,20 43,16±1,71 54,2±2,5 4,9±0,5 19,3±0,8 2,3±0,2 19,3±1,5 24,6±1,2 11,50±0,18 1,19±0,15 41,2±1,3 454 61 128 31 23 - 70,8 13,4 43,16 61,2-89,4 5,5-8,1 21,8-31,9 2,6-3,8 21,8-31,9 - 13,0-19,0 1,3-2,0 46,5-67,9 80,3-86,5 86,7-90,9 75,1-83,0 87,8-91,6 86,2-90,5 - 73,2-81,6 85,3-90,0 84,3-89,2  a(1 kg pakan kering pada FCR 1,65-2,40 menghasilkan 113-165 g kering udang)        
22 
Tabel 5.   Kebutuhan protein dalam pakan pada berbagai jenis udang (Lim and Akiyama, 1995, Guillaume 1997 dalam Tacon 2002).
Species Kebutuhan protein (%) 
Penaeus japonicus P. brasiliensis P. monodon P. aztecus P. merguensis P. indicus P. setiferus P. stylirostris P. penicillatus P. cailorniensis P. kerathurus P. vannamei P. duorarum Metapeneus monoceros M. macleayi  
40-60 45-55 35-50 29-51 34-50 40-43 28-32 30-35 22-27 >44 >40 >30 30 55 27 
Lingkungan pemeliharaan (seperti salinitas) juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap efisiensi penggunaan pakan. Shiau (1998) melaporkan bahwa udang windu yang dipelihara pada salinitas yang lebih rendah menunjukan eksresi amoniak yang lebih besar dari pada yang dipelihara pada salinitas yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan adanya penggunaan protein sebagai sumber energi
23 
bukan lemak pada media pemeliharaan berkadar garam  rendah.  Sedangkan  nitrogen yang dihasilkan dari erosi tambak (konstributor bahan padatan terbesar di tambak) hanya sekitar 16%. Sumber -N lainnya adalah dari aliran  air masuk (4%) dan pemupukan, curah hujan, post larvae sejumlah sejumlah 2%. Jumlah N yang mengendap di dasar tambak (24%), udang yang dipanen (18%), dan air buangan (27%). Selebihnya (30% N) diasumsikan lepas ke atmosfir sebagai N2 atau amonia. Tingginya kandungan N hasil buangan akan berdampak pada badan air lainnya (receiving water).  Hal ini akan berlangsung secara cepat seiring dengan meningkatnya jumlah buangan limbah ke lingkungan dan mengakibatkan terjadinya penurunan mutu air (Martin et al., 1998).          
  Gambar 3. Budget nitrogen (N) di tambak (Smith dan Briggs, 1998). Pada budidaya dengan sistem terbuka (open system), pergantian air tidak menghasilkan buangan –N yang signifikan (17%) (Tabel 12). Artinya, unsur N tetap tersedia dan terakumulasi seiring dengan meningkatnya jumlah pakan yang diberikan.  Keterlambatan dalam pergantian air akan menimbulkan masalah seperti blooming fitoplankton dan pada akhirnya mengakibatkan stres pada udang.  
24 
Tabel   6.   Jumlah nutrien yang terbuang sebagai hasil dari pergantian air tambak (Smith dan Briggs, 1998).  
Adapun bentuk –N dari suatu proses budidaya dengan pemberian pakan buatan dapat dilihat pada Gambar 4. Pada dasarnya ada tiga sumber–N terlarut sebagai hasil dari proses pemberian pakan, yaitu : ekskresi insang, leaching dari pakan, dan leaching dari feses. Bentuk –N dari pakan berupa amina-amina primer terlarut (dissolved primary amines, DPA, 23%), sedang –N yang dihasilkan dari proses leaching  pada feces terdapat dalam bentuk urea.
25   
 Gambar 4.  Model ekskresi –N (mmol m-2 d-1) dari insang, pakan, dan feses udang dalam kolom air tambak (assumsi biomass 500 g/m2, pemberian pakan 4 x sehari, suhu air 28 C, dan asumsi sisa pakan 10%; Burford dan Williams, 2001). 
Urea ini dapat digunakan oleh komunitas mikroba tambak secara cepat, sedangkan organik –N terlarut yang dihasilkan dari proses leaching pakan kurang efektif dimanfaatkan oleh bakteria dan hanya terakumulasi di dasar tambak.Baik pakan maupun feses keduanya secara signifikan berpengaruh terhadap kualitas air tambak khususnya dalam mengakumulasi DON (Dissolved organik N) dan stimulasi pertumbuhan mikrobia. Oleh karenanya, sebagai upaya untuk mengurangi buangan limbah dari tambak perlu dihindari adanya over feeding dan berupaya meningkatkan retensi nutrien dalam tubuh ikan dan udang. Selain kandungan –N, pakan merupakan sumber posfor terbesar di tambak (Gambar 5). Dari gambar tersebut diketahui bahwa kebanyakan posfor terakumulasi di tambak, sehingga sekali lagi sangat penting untuk mengolah limbah dasar tambak baik selama pemeliharaan maupun setelah pemeliharaan berlangsung. 
26 
3.3 Alternatif Solusi Pengelolaan Limbah pada Sedimen Tambak Burford et al., (2001) dalam Jackson et al., (2003) menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan pengelolaan limbah nitrogen di tambak, yaitu :  1. Perbaikan formulasi dan  pengelolaan pakan 2. Perbaikan proses nitrogen di tambak 3. Perbaikan sistem desain dan manajemen limbah di tambak        
Gambar 5.  Budget posfor di tambak (Smith dan Briggs, 1998). 
3.4 Perbaikan Formulasi dan Pengelolaan Pakan
Formulasi pakan dibuat melalui penggunaan berbagai bahan baku guna menghasilkan nutrien dan energi yang sesuai bagi kultivan yang dipelihara. Jumlah dan jenis bahan yang digunakan disesuaikan dengan jumlah nutrien yang dikandungnya. Namun demikian faktor berupa kecernaan bahan dan harga turut menentukan dalam pembuatan suatu ransum atau formula pakan. Pakan udang khususnya, memerlukan protein yang cukup tinggi dalam pakannya. Hal ini berarti bahwa kandungan N dalam pakan cukup tinggi seperti dijelaskan sebelumnya. Peningkatan kecernaan pakan dan retensi/asimilasi dalam tubuh udang perlu dilakukan. Jika tidak, sumber N tersebut akan lepas ke lingkungan dan pada
27 
akhirnya berpegaruh terhadap mutu air tambak. Oleh karenanya, sebelum membuat suatu formulasi, faktor kandungan nutrien dan tingkat kecernaan bahan sangat diperlukan.  Pada kenyataannya, bahan hewani memiliki tingkat kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan nabati. Tidak mengherankan jika dalam pembuatan pakan udang penggunaan bahan hewani banyak digunakan seperti tepung ikan, tepung kepala udang, tepung cumi, dsb. Disamping itu, faktor lain adalah bahan hewani memiliki profil asam amino yang lengkap serta mengandung zat attraktan (Tacon, 1993). Ketergantungan terhadap penggunaan tepung ikan dalam suatu formulasi pakan cukup tinggi (Lim, 1994), bahkan sebagai sumber protein hewani, kontribusi protein lebih dominan yaitu sekitar 60% (Goddard, 1996). Hal ini menyebabkan penggunaan tepung ikan menjadi issu penting saat ini oleh karena kelangkaan sumberdaya serta kompetisi penggunaan dengan sektor lain seperti peternakan. Terkait dengan masalah tersebut, kajian formulasi untuk beberapa species diarahkan pada pencarian bahan baku pengganti tepung ikan. Upaya ini tidak hanya dimaksudkan untuk mengatasi kelangkaan sumberdaya, tetapi sekaligus menciptakan pakan dengan harga murah (sumber protein cukup mahal) serta ramah lingkungan. Penggunaan growth enhancer (GE) dalam pakan banyak diaplikasikan dengan tujuan meningkatkan asimilasi nutrien dalam tubuh ikan maupun udang.  Sebagai contoh adalah penggunaan cumi-cumi, hidrolisis udang kecil (krill) dan beberapa jenis ikan. Hasil percobaan (Cordova-Murueta, et al., 2003) menunjukkan bahwa penggunaan ketiga sumber  GH tersebut dalam pakan udang menunjukkan respon pertumbuhan  yang baik meskipun dalam jumlah relatif sedikit. Aspek lain adalah pengelolaan pakan secara umum terutama yang terkait dengan jumlah dan frekuensi pemberian. Jumlah pakan harian yang diberikan meningkat seiring dengan bertambahnya lama pemeliharaan. Faktor terpenting
28 
dalam hal ini adalah estimasi biomass harian dan laju pertumbuhan (SGR) seperti ditunjukkan pada formula berikut ini :   
 Wt = Wo x (1 + SGR/100)t       ....................  (1)  SGR = ln(Wt/Wo)/t x 100   ....................   (2)  JPt   =  Wt x F    ......................................   (3) dimana :    Wt =  Biomass pada hari ke-t (g) Wo =  Biomass awal (hari ke-0; g) SGR =  Laju pertumbuhan spesifik (%/h) JPt =  Jumlah pakan pada hari ke-t (g) F =  Prosentase pemberian pakan (%)   t =  Lama pemeliharaan (hari) 
Nilai SGR dapat diketahui melalui  pertumbuhan udang secara normal yang diamati secara periodik. Setelah penentuan jumlah pakan harian, masalah berikut adalah berapa kali pakan diaplikasikan. Frekuensi pemberian pakan dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan pakan bagi udang. Pakan memiliki kestabilan yang terbatas dalam air, sehingga dalam waktu relatif singkat diharapkan dikonsumsi oleh udang. Pakan yang terlalu lama di dasar tambak, selain dapat melepaskan nutrien tertentu (leaching), juga mudah hancur sehingga sulit untuk ditangkap oleh udang. Suatu percobaan telah dilakukan oleh Smith et. al., (2002) dengan simulasi pemeliharaan udang (berat awal 5,6 g/ekor) di bak kapasitas 2500 liter. Ada empat perlakuan frekuensi pemberian pakan, yaitu : 3; 4; 5; dan 6 kali sehari. Dari hasil percobaan dilaporkan bahwa frekuensi pemberian pakan lebih dari 3 kali sehari tidak menguntungkan selama pakan itu memiliki kandungan nutrisi yang cukup serta kestabilan dalam air yang tinggi.  Dalam percobaan ini, lama pakan dalam air untuk
29 
semua perlakuan adalah sama yaitu 12 jam.  Kajian ini perlu verifikasi di lapangan, mengingat aplikasi pakan di tambak seringkali diberikan dengan frekuensi lebih dari tiga kali sehari. 
3.5 Perbaikan Proses- N di Tambak Penggunaan bakteri remedian sudah umum digunakan guna mengurangi kadar amonia, bahan organik dan selanjutnya memperbaiki akumulasi sedimen di tambak. Disamping itu, penambahan sumber karbon (gula, molases, dsb) umum digunakan dengan maksud untuk merubah komoditas bakteri di tambak sehingga meningkatkan aktivitas bakteri heterotropik yang berperan untuk mereduksi amoniak. Namun demikian, yang menjadi masalah adalah dalam bentuk apa amonia direduksi dan apakah berlangsung lama? (Smith dan Briggs, 1998). Liu dan Han (2004) telah melakukan kajian pengolahan limbah hasil pemeliharaan larva udang. Dari hasil percobaan diketahui bahwa penambahan bakteri remedian (Bacillus subtilis) dan nutrin berupa glukosa dan atau posfat sangat signifikan terhadap penurunan kadar bahan organik terlarut (DOM) dan total amonia nitrogen (TAN).      Strategi lain yang dapat dilakukan guna mengurangi inorganik N di tambak adalah dengan cara manipulasi C/N rasio melalui penambahan materi yang mengandung carbon (carbonaceus material). Pada prinsipnya, penambahan sumber karbon di sedimen adalah sebagai sumber makanan bakteri guna menghasilkan energi bagi pertumbuhannya. Selama proses pertumbuhan, berarti terjadi pembentukan sel-sel baru dalam bentuk protein seperti ditunjukkan dalam diagram berikut  (Avnimelech, 1999) : Aktivasi suspensi di tambak (Gambar 6) merupakan salah satu alternatif untuk menjadi biofilter. Hal ini telah berkembang pada budidaya ikan nila. Prinsip yang sama digunakan pada budidaya udang intensif di Belize. Metode ini didasarkan pada kenyataan bahwa pada budidaya sistem intensif aerasi dan pencampuran air terjadi
30 
terus menerus, sebagai bagian integral dari operasional budidaya. Proses pencampuran dan pengaerasian merupakan wujud sebagaian besar dari sistem produksi berbasis bioteknologi. Dengan aktivasi suspensi ini terjadi populasi bakteri yang sangat padat pada kondisi optimal, dan selanjutnya digunakan untuk mengolah limbah dan menjamin terciptanya kondisi budidaya yang aman bagi ikan, skaligus mendaur ulang pakan dalam sistem budidaya.            
Gambar 6.  Skema aktivasi suspensi di tambak. Pemeliharan dan pengelolaan limbah berlangsung dalam wadah yang sama (Avnimelech, 2000). 
Organik C            CO 2          energi            assimilasi C dalam sel-sel mikrobial 
Untuk sistesa protoplasma mikrobial secara optimal memerlukan C/N rasio sebesar 10 : 1 (Worne, 1992).  Rasio ini terkait erat dengan komposisi karbon dan nitrogen masing-masing sebesar 50% dan 10 % berat kering dengan efisiensi assimilasi karbon sekitar 5-10% (Boyd,1995). Hari et al., (2004) telah melakukan percobaan pembesaran udang (P. monodon) skala laboratoris dan skala massal di
31 
tambak tentang pengaruh penambahan sumber karbon. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan karbohidrat (tepung tapioka) secara signifikan menurunkan TAN dan meningkatkan populasi bakteri heterotropik baik di kolom air maupun di sedimen. Kajian selanjutnya (Avnimelech, 1999) memformulasikan secara detail bahwa untuk mengimmobilisasi 1 kg TAN diperlukan 20 kg karbon. 
3.6 Perbaikan Desain dan Manajemen Limbah di Tambak Baik teori, eksperimen secara laboratoris dan data lapangan menunjukkan bahwa kondisi dasar tambak sangat penting dalam mendukung keberhasilan produksi udang.  Hal mendasar dalam hal ini adalah bagaimana meminimalkan penutupan dasar tambak oleh sludge. Ada dua cara secara simultan untuk mengontrol sedimen di tambak, yaitu : (1) aerator: yang mengarahkan limbah organik pada daerah atau zona tertentu di dasar tambak sehingga bagian tambak lainnya tetap bersih dari akumulasi sedimen; dan (2) adanya daerah untuk menangkap sediment di dasar tambak. Terlepas dari cara tersebut, (Avnimelech dan Ritvo, 2003) menjelaskan bahwa hal penting dan umum dilakukan unuk perbaikan kondisi dasar tambak adalah melalui perlakuan tanah dasar antar siklus pemeliharaan, baik dengan pengeringan atau dengan mengangkat lapisan sedimen. Lebih lanjut Boyd dan Pippopinyo (1994), kadar air dan pH optimum untuk proses respirasi dasar tambak adalah masing-masing 12-20% dan 7,5-8,0.  
3.7 Aplikasi Probiotik dan Feed Additive Alasan penggunaan probiotik (Poernomo, 2004) adalah sebagai berikut :  Dalam budidaya udang intensif ( kepadatan tebar ( 30 - 40 PL/m2 untuk udang windu atau 80-100 PL/m2 udang vanamei, penimbunan kotoran    (faeces udang, sisa pakan dan bangkai plankton) didasar cukup cepat selama   pembesaran udang ( 2,5 - >3,0 kg TS/kg udang)  .
32 
 Kotoran ini walaupun di bersihkan setiap hari masih banyak tertimbun didalam tambak.  Dalam waktu pembesaran udang selama minimum 4 bulan terjadi proses pembusukan terutama dalam kondisi anaerob yang menghasilkan gas beracun ( H2S, NH3, NO2, dll ) yang sangat bahaya bagi udang yang dipelihara. Udang bisa stress dan lebih peka terhadap penyakit dengan dampak akhir kegagalan budidaya.  Air sumber banyak terkontaminasi dengan virus dan bakteri pathogen.  Pengaruh negatif dari hasil pembusukan kotoran ( bahan organik ) tersebut dapat  diantisipasi dengan penggunaan ProBiotik secara tepat ( jenis dan cara aplikasi ).  Penggunaan ProBiotik dapat meningkatkan mutu dan kesehatan lingkungan dan bahan pangan. Salah satu faktor kunci dalam memilih jenis probiotik yang digunakan adalah probiotik tersebut sudah mendapatkan legalitas melalui pengujian secara saintifik. Hal ini penting oleh karena sekarang ini jenis probiotik yang beredar di pasaran sangat banyak sehingga selektifitas sangat diperlukan untuk efisiensi faktor produksi. Hal yang sama juga berlaku pada aplikasi jenis dan jumlah feed additive. Perlu disadari bahwa udang memiliki pola makan yang berbeda dibandingkan dengan ikan. Sistem makan dengan menggigit makanan secara sedikit demi sedikit memungkinkan adanya pelepasan nutrien (termasuk feed additive yang ditambahkan) ke dalam media budidaya. Dengan demikian karakteristik bahan additive harus diketahui.     
33 

DEMONSTRASI CARA BUDIDAYA CACING SUTERA DESA WUWUR KECAMATAN GABUS Oleh : Riyanto, SP

DEMONSTRASI   CARA BUDIDAYA CACING SUTERA DESA WUWUR KECAMATAN GABUS Oleh : Riyanto, SP BUDIDAYA CACING SUTERA Pendahu...