Rabu, 22 Februari 2017

Peranan Ikan Dalam Gizi Manusia


Peranan Ikan Dalam Gizi Manusia
PENDAHULUAN
Ikan membuat kontribusi penting untuk kelangsungan hidup dan kesehatan sebagian besar penduduk dunia. Ikan ini terutama penting di negara berkembang. Di beberapa negara termiskin di Asia (Bangladesh, Kamboja) asupan makan proteinnya sebanyak 75% berasal dari ikan. Seringkali ikan disebut sebagai "makanan kaya untuk orang miskin," ikan menyediakan nutrisi penting, terutama kualitas proteinnya dan lemak (macronutrients), vitamin dan mineral (zat gizi mikro). Kedua, bagi mereka yang terlibat dalam perikanan, budidaya dan perdagangan ikan, ikan merupakan sumber pendapatan yang dapat digunakan untuk membeli barang-barang lainnya makanan tambahan. Dapat dikatakan  ikan memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan sebagai bahan tambahan penting untuk makanan berbahan dasar padi di Asia dan makanan berbahan dasar jagung dan singkong di Afrika, meskipun konsumsi ikan di Afrika sana menurun. M alnutrition masih menjadi masalah di banyak negara. Defisiensi mikronutrien vitamin A, zat besi dan yodium juga menjadi perhatian kesehatan masyarakat di seluruh wilayah  negara berkembang. Akibat masalah ini menyebabkan kekurangan gizi, kemampuan belajar rendah , pertumbuhan yang buruk dan peningkatan penyakit  dan kematian. Pengembangan  program pertanian termasuk budidaya perikanan yang utama adalah supaya masalah gizi dapat dihilangkan dan mengurangi masalah gizi buruk di seluruh dunia.
IKAN DAN macronutrients
Protein
P roteins penting untuk pertumbuhan dan perkembangan, pemeliharaan tubuh dan memperbaiki jaringan yanbg rusak dan untuk produksi enzim dan hormon yang diperlukan untuk proses dalam tubuh. Pada dasarnya  bobot ikan segar, mengandung jumlah protein yang baik, sekitar 18 - 20%, dan berisi semua delapan asam amino esensial termasuk sulfur yang mengandung lisin, metionin, dan sistein.


Lemak
Kandungan lemak ikan bervariasi tergantung pada spesies serta musim tetapi secara umum, ikan memiliki lebih sedikit lemak daripada daging merah. Kandungan lemak berkisar dari 0,2% menjadi 25%. Namun, lemak dari spesies ikan berlemak mengandung asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) yaitu EPA (eicosapentaenoic acid) dan DHA (docosahexaenoic acid) (omega 3 asam lemak) yang penting untuk pertumbuhan yang tepat dari anak-anak dan tidak berhubungan dengan terjadinya penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner. Pada wanita hamil, kehadiran PUFA dalam makanan mereka telah dikaitkan dengan perkembangan otak yang baik pada bayi yang belum lahir. Dalam penelitian lain, omega 3 asam lemak juga telah dikaitkan dengan penurunan risiko kelahiran prematur dan berat lahir rendah. Lemak juga berkontribusi terhadap pasokan energi dan membantu dalam penyerapan yang tepat dari vitamin larut lemak yaitu A, D, E, dan K.

IKAN dan mikronutrien
Vitamin
Ikan merupakan sumber yang kaya vitamin, terutama vitamin A dan D dari spesies lemak, serta thiamin, riboflavin, dan niasin (vitamin B 1 , B 2 dan B 3 ). Vitamin A dari ikan yang lebih mudah tersedia untuk tubuh dibandingkan dari makanan nabati. Vitamin A diperlukan untuk penglihatan normal dan untuk pertumbuhan tulang. Lemak ikan mengandung lebih banyak vitamin A dibandingkan spesies lainnya. Penelitian telah menunjukkan bahwa angka kematian berkurang untuk anak-anak balita dengan vitamin A yang berkecukupan. Pengeringan matahari menghancurkan sebagian besar vitamin A yang tersedia metode pengolahan yang lebih baik diperlukan untuk melestarikan vitamin ini.
V itamin D hadir dalam hati ikan dan minyak sangat penting untuk pertumbuhan tulang karena penting untuk penyerapan dan metabolisme kalsium. Thiamin, niacin, dan riboflavin penting untuk metabolisme energi. Jika dimakan segar, ikan juga mengandung sejumlah kecil vitamin C yang penting untuk penyembuhan yang tepat dari luka, kesehatan normal jaringan tubuh dan membantu dalam penyerapan zat besi dalam tubuh manusia.
Bahan mineral
Bahan mineral yang ada dalam ikan termasuk besi, kalsium, seng, yodium (dari ikan laut), fosfor, selenium, dan fluor. Mineral ini sangat 'bioavailable' yang berarti bahwa mereka dapat dengan mudah diserap oleh tubuh. Besi sangat penting dalam sintesis hemoglobin dalam sel darah merah yang penting untuk mengangkut oksigen ke seluruh bagian tubuh. Kekurangan zat besi dikaitkan dengan anemia, gangguan fungsi otak dan pada bayi berhubungan dengan kemampuan belajar yang buruk dan perilaku yang buruk. Karena perannya dalam sistem kekebalan tubuh, kekurangan yang juga dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi.
Calcium diperlukan untuk tulang yang kuat (pembentukan dan mineralisasi) dan untuk fungsi normal dari otot dan sistem saraf. Hal ini juga penting dalam proses pembekuan darah. Vitamin D diperlukan untuk penyerapan yang tepat. Asupan kalsium, fosfor dan fluor yang tinggi ketika ikan kecil yang dimakan dengan tulang mereka daripada ketika tulang ikan dibuang. Kekurangan kalsium dapat berhubungan dengan rakhitis pada anak-anak dan osteomalacia (pelunakan tulang) pada orang dewasa dan orang tua. Fluor juga penting untuk tulang dan gigi yang kuat.
Z inc diperlukan untuk proses tubuh yang paling seperti itu terjadi bersama-sama dengan protein dalam enzim penting yang diperlukan untuk metabolisme. Seng berperan penting dalam pertumbuhan dan pengembangan serta dalam berfungsinya sistem kekebalan tubuh dan kulit yang sehat. Kekurangan zinc dikaitkan dengan pertumbuhan yang buruk, masalah kulit dan hilangnya rambut di antara masalah lain.
Zat iodine, hadir dalam makanan laut, adalah penting bagi hormon yang mengatur metabolisme tubuh dan pada anak-anak itu diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan mental yang normal. Kekurangan yodium dapat menyebabkan gondok (pembesaran kelenjar tiroid) dan keterbelakangan mental pada anak-anak.

IKAN DAN Makanan generasi muda
Ikan yang lembut, mudah untuk memasak dan lebih mudah dicerna daripada daging sehingga bahkan anak-anak bisa makan ikan, berkontribusi terhadap peningkatan  asupan gizi. Ikan juga dapat digunakan sebagai makanan pelengkap terutama dalam pasta atau bentuk bubuk. Produk ini dapat digunakan untuk memperkaya jagung dan bubur berbasis singkong yang biasanya dikonsumsi oleh anak-anak muda di masyarakat pedesaan, terutama di Afrika. Namun, tantangannya adalah untuk mengembangkan produk perikanan dapat diterima untuk digunakan sebagai makanan pelengkap untuk anak-anak sebagai upaya serupa gagal pada 1980-an dan 1990-an. Anak-anak dapat mengkonsumsi ikan tanpa masalah dan jika dimasak dengan baik mereka bisa mendapatkan keuntungan luar biasa dari ikan kecil yang seperti sumber yang sangat baik dari unsur kalsium dan fluor penting untuk perkembangan tulang dan gigi yang kuat pada yang muda.
IKAN DAN HIV / AIDS
Otoritas Kesehatan dunia memperkirakan bahwa orang yang hidup dengan HIV bertahan hingga delapan tahun lebih lama jika mereka memiliki pola makan, baik bervariasi. Tidak hanya kesehatan secara keseluruhan membaik, tetapi kemanjuran obat antiretroviral tampaknya ditingkatkan. Ikan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap perbaikan gizi mereka yang hidup dengan HIV terutama dalam hal protein berkualitas tinggi dan mikronutrien bahwa ikan memberikan dalam bentuk yang mudah ditemukan.


Kamis, 09 Februari 2017

Cahaya untuk Penangkapan Ikan



Menangkap ikan, adalah kegiatan perburuan seperti halnya menangkap harimau, babi hutan atau hewan-hewan liar lainnya di hutan. Karena sifatnya memburu, menjadikan kegiatan penangkapan ikan mengandung ketidakpastian yang tinggi. Untuk mengurangi ketidakpastian hasil tangkapan ikan tersebut, nelayan sudah sejak lama menggunakan sarana “cahaya” sebagai alat bantu penangkapan ikan.
Sebelum teknologi electrical light berkembang dengan pesat seperti sekarang ini, nelayan-nelayan di berbagai belahan dunia menggunakan cahaya lampu obor sebagai alat bantu penangkapan ikan. Pada awalnya penggunaan lampu sebagai alat bantu penangkapan ikan hanya terbatas pada perikanan tradisional yang terletak di pantai saja, seperti perikanan pukat pantai, sero, dan beberapa alat tangkap bagan lainnya. Namun, seiring dengan berkembangnya kegiatan perikanan tradisional menjadi industri, pemanfaatan cahaya sebagai alat bantu berkembang luas untuk membantu penangkapan ikan pada perikanan purse seine, bagan, stick held deep nets, dan lain-lain.
Penggunaan cahaya listrik dalam kegiatan penangkapan ikan pertama kali dikembangkan di Jepang sekitar tahun 1900, kemudian selanjutnya berkembang ke berbagai belahan dunia. Indonesia sendiri, penggunaan lampu sebagai alat bantu penangkapan ikan tidak diketahui dengan pasti. Diduga, perikanan dengan alat bantu lampu berkembang dari bagian timur perairan Indonesia dan menyebar ke bagian barat Indonesia.
Cahaya Sebagai Alat Bantu Penangkapan Ikan
Pemanfaatan cahaya sebagai alat bantu penangkapan ikan sesungguhnya sangat berkaitan dengan upaya nelayan dalam memahami perilaku ikan dalam merespon perubahan lingkungan yang ada di sekitarnya. Hampir semua ikan menggunakan matanya dalam aktivitas hidupnya, seperti memijah, mencari makan, dan menghindari serangan ikan besar atau binatang pemangsa lainnya. Cahaya merupakan faktor utama bagi ikan dalam rangka mempertahankan hidupnya. Atas dasar pengetahuan tersebut, maka nelayan menggunakan cahaya buatan unttuk mendorong ikan melakukan aktivitas tertentu.
Secara umum, respon ikan terhadap sumber cahaya dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu bersifat phototaxis positif (ikan yang mendekati datangnya arah sumber cahaya) dan bersifat phototaxis negatif (ikan yang menjauhi datangnya arah sumber cahaya).
Ikan-ikan yang bersifat phototaxis positif secara berkelompok akan bereaksi terhadap datangnya cahaya dengan mendatangi arah datangnya cahaya dan berkumpul di sekitar cahaya pada jarak dan rentang waktu yang tertentu. Selain menghindar dari serangan predator (pemangsa), beberapa teori menyebutkan bahwa berkumpulnya ikan disekitar lampu adalah untuk kegiatan mencari makan.
Namun demikian, tingkat gerombolan ikan dan ketertarikan ikan pada sumber cahaya bervariasi antar jenis ikan. Perbedaan tersebut secara umum disebabkan karena perbedaan faktor phylogenetic dan ekologi, selain juga oleh karakteristik fisik sumber cahaya, khususnya tingkat intensitas dan panjang gelombangnya. Hasil kajian beberapa peneliti menyebutkan bahwa, tidak semua jenis cahaya dapat diterima oleh mata ikan. Hanya cahaya yang memiliki panjang gelombang pada interval 400 sampai 750 nanometer yang mampu ditangkap oleh mata ikan.
Pemanfaatan Cahaya
Pemanfaatan cahaya untuk alat bantu penangkapan ikan dilakukan dengan memanfaatkan sifat fisik dari cahaya buatan itu sendiri. Masuknya cahaya ke dalam air, sangat erat hubungannya dengan panjang gelombang yang dipancarkan oleh cahaya tersebut. Semakin besar panjang gelombangnya maka semakin kecil daya tembusnya kedalam perairan.
Faktor lain yang juga menentukan masuknya cahaya ke dalam air adalah absorbsi (penyerapan) cahaya oleh partikel-partikel air, kecerahan, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, musim dan lintang geografis. Dengan adanya berbagai hambatan tersebut, maka nilai iluminasi (lux) suatu sumber cahaya akan menurun dengan semakin meningkatnya jarak dari sumber cahaya tersebut.
Dengan sifat-sifat fisik yang dimiliki oleh cahaya dan kecenderungan tingkah laku ikan dalam merespon adanya cahaya, nelayan kemudian menciptakan cahaya buatan untuk mengelabuhi ikan sehingga melakukan tingkah laku tertentu untuk memudahkan dalam operasi penangkapan ikan. Tingkah laku ikan kaitannya dalam merespon sumber cahaya yang sering dimanfaatkan oleh nelayan adalah kecenderungan ikan untuk berkumpul di sekitar sumber cahaya.
Untuk tujuan menarik ikan dalam luasan yang seluas-luasnya, nelayan biasanya menyalakan lampu yang bercahaya biru pada awal operasi penanggkapannya. Hal ini disebabkan cahaya biru mempunyai panjang gelombang paling pendek dan daya tembus ke dalam perairan relatif paling jauh dibandingkan warna cahaya tampak lainnya, sehingga baik secara vertikal maupun horizontal cahaya tersebut mampu mengkover luasan yang relatif luas dibandingkan sumber cahaya tampak lainnya.
Setelah ikan tertarik mendekati cahaya, ikan-ikan tersebut kemudian dikumpulkan sampai pada jarak jangkauan alat tangkap (catchability area) dengan menggunakan cahaya yang relatif rendah frekuensinya, secara bertahap. Cahaya merah digunakan pada tahap akhir penangkapan ikan.
Berkebalikan dengan cahaya biru, cahaya merah yang mempunyai panjang gelombang yang relatif panjang diantara cahaya tampak, mempunyai daya jelajah yang relatif terbatas. Sehingga, ikan-ikan yang awalnya berada jauh dari sumber cahaya (kapal), dengan berubahnya warna sumber cahaya, ikut mendekat ke arah sumber cahaya sesuai dengan daya tembus cahaya merah. Setelah ikan terkumpul di dekat kapal (area penangkapan alat tangkap), baru kemudian alat tangkap yang sifatnya mengurung gerombolan ikan seperti purse seine, sero atau lift nets dioperasikan dan mengurung gerakan ikan. Dengan dibatasinya gerakan ikan tersebut, maka operasi penangkapan ikan akan lebih mudah dan nilai keberhasilannya lebih tinggi.
Tantangan
Pemanfaatan lampu sebagai alat bantu penangkapan ikan telah berkembang secara cepat sejak ditemukan lampu listrik. Sebagian besar nelayan beranggapan bahwa semakin besar intensitas cahaya yang digunakan maka akan memperbanyak hasil tangkapannya. Tidak jarang nelayan menggunakan lampu yang relatif banyak jumlahnya dengan intensitas yang tinggi dalam operasi penangkapannya. Anggapan tersebut tidak benar, karena masing-masing ikan mempunyai respon terhadap besarnya intensitas cahaya yang berbeda-beda.
Studi terhadap besarnya nilai intensitas cahaya yang mampu menarik ikan pada setiap jenis ikan perlu dilakukan. Hal ini penting, selain agar ikan target tepat berada dalam area penangkapan, juga untuk menghindari pengurasan ikan tangkapan dan pemborosan biaya penangkapan. Sebab tidak jarang, dalam operasi penangkapan ikan dengan alat bantu cahaya ini ikan-ikan yang belum layak ditangkap (belum memijah) atau bahkan masih juvenile ikut tertangkap sebagai hasil tangkapan ikan sampingan. Bila ini dilakukan terus-menerus, maka kerusakan sumberdaya ikan tinggal menunggu waktunya.
Oleh karena itu, banyak sekali kajian-kajian yang telah dilakukan selalu merekomendasikan untuk penghapusan alat tangkap yang menggunakan alat bantu ini. Hal ini disebabkan tingginya tingkat ketidakselektifan alat tangkap yang menggunakan lampu dalam operasi penangkapan ikan. Merupakan pekerjaan besar bagi perekayasa alat penangkapan ikan ke depan untuk membuat alat tangkap yang mampu menseleksi hasil tangkapannya sehingga mengurangi hasil tangkapan sampingan.
Syarat Penangkapan

Selain faktor-faktor diatas, ada beberapa syarat lain yang menentukan keberhasilan suatu operasi penangkapan. Beberapa syarat yang perlu diperhatikan antara lain :
1)  Cahaya yang akan digunakan harus tepat untuk jenis ikan yang akan ditangkap dengan
     mengetahui behavior dari ikan-ikan yang hendak ditangkap terhadap jenis cahaya.
2) Cahaya yang digunakan juga harus mampu menarik ikan pada jarak yang jauh baik vertikal maupun horisontal, untuk syarat ini biasa digunakan cahaya berwarna biru atau hijau.
3)  Ikan-ikan diusahakan untuk berkumpul pada area penangkapan tertentu.
4)  Waktu yang tepat untuk menentukan mulai penangkapan terhadap ikan-ikan yang telah berkumpul, setelah ikan mulai berkumpul diusahakan ikan tetap tenang berada pada area penangkapan sampai batas waktu tertentu sebelum dilakukan penangkapan, untuk itu diusahakan agar ikan tidak melarikan diri atau menyebar.

Selasa, 07 Februari 2017

Menemukan lokasi "Upwelling"




Berbagai fenomena kelautan di belahan dunia terutama di Samudra Atlantik dan Pasifik telah lama mendapat perhatian para ahli oseanografi dari negara-negara maju. Berbekal kepakaran yang berkualitas dunia, sarana riset yang komplet dan canggih, multi-disiplin, multi-institusi, multinegara, dan dukungan dana yang besar, tabir gelap mengenai fenomena kelautan dan beragam jenis biota penghuninya telah banyak terungkap. Salah satu fenomena kelautan yang tetap aktual untuk dipelajari hingga saat ini adalah proses terjadinya upwelling.
Informasi mengenai upwelling di perairan Indonesia sendiri masih amat sangat terbatas, terutama kaitannya dengan proses recruitment ikan. Untuk mengungkap proses upwelling tersebut baik secara mikro maupun makro dan kaitannya dengan jenis-jenis biota yang berasosiasi dalam proses ini diperlukan kajian yang lebih fokus dan serius.
Berbagai parameter telah digunakan oleh para peneliti oseanografi untuk mendeteksi lokasi upwelling di perairan Indonesia. Parameter yang pertama kali digunakan oleh Wyrtki (1958) dan juga Veen (1960) untuk mendeteksi terjadinya upwelling di Laut Banda dan Selat Makassar adalah dengan menggunakan data suhu dan salinitas air.
Dalam perkembangan selanjutnya (sejak tahun 1969) peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI memperluas parameter yang digunakan, tidak hanya terbatas pada suhu dan salinitas, tetapi juga pengukuran aspek kimia air (kadar fosfat, nitrat, dan silikat), aspek biologi (kadar khlorofil, kelimpahan fito-dan zooplankton), serta kelimpahan jenis-jenis ikan pelagis dengan menggunakan acoustic fish finder.
Bahkan, dalam dekade terakhir telah pula digunakan citra satelit Topex/Poseidon, ERS-1, dan ERS-2 oleh BBPT. Namun, alat ini memiliki keterbatasan dalam memberikan informasi spasial di bawah permukaan laut yang hanya dapat diperoleh melalui observasi langsung. Penelitian mengenai upwelling yang telah dilakukan perlu dikembangkan lebih lanjut dengan memadukan data parameter kimia, plankton maupun biologi perikanan agar diperoleh pemahaman tentang proses yang menyebabkan terjadinya upwelling.
Salah satu parameter biologi yang dapat ditawarkan untuk mengungkap fenomena upwelling di perairan dunia yaitu dengan menggunakan bio-indikator zooplankton kopepoda. Jenis-jenis kopepoda tertentu berasosiasi dengan mekanisme upwelling dan memiliki strategi siklus hidup yang khusus yang disesuaikan dalam kondisi normal maupun ekstrem. Jenis kopepoda upwelling ini terdiri dari autochtbonous (lokal) maupun allochtbonous (pendatang).
Lokasi "Upwelling"
Perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh tipe iklim Muson yang terdiri dari musim barat (Desember-Februari), musim peralihan I (Maret-Mei), musim timur (Juni-Agustus), dan musim peralihan II (September-November). Pada gilirannya tipe iklim ini akan berpengaruh terhadap kehidupan, kekayaan jenis, kelimpahan, sebaran biota maupun sifat-sifat dan fenomena oseanografi yang terjadi, misalnya proses upwelling.
Setidak-tidaknya dikenal ada tujuh lokasi upwelling di perairan Indonesia. Sebagian besar lokasi upwelling ini terletak di Wallace area, yaitu suatu kawasan perairan yang dibatasi oleh garis Wallace di bagian barat dan garis Lydekker di bagian timur (Gambar 1).
Daerah ini dikenal memiliki keanekaragaman jenis dan kelimpahan biota yang tinggi, beberapa jenis di antaranya bersifat unik dan endemik, yang merupakan sumbangan besar bagi keanekaragaman biota global. Selain Selat Makassar dan Laut Banda, upwelling juga terjadi di Laut Seram, Laut Maluku, Laut Arafura, dan perairan utara kepala burung dan perairan timur Papua. Satu-satunya lokasi upwelling di luar kawasan Wallacea adalah di perairan selatan Jawa hingga Sumbawa.
Upwelling adalah proses yang terjadi di arus permukaan yang sangat penting bagi produksi biota planktonik ini dapat terjadi pada waktu tertentu (sekurang-kurangnya dalam hitungan minggu). Seperti diketahui arus air tidak hanya bergerak secara mendatar (horizontal), tetapi dalam beberapa sebab dapat pula bergerak secara menegak (vertikal). Fenomena upwelling akan terjadi apabila angin berembus terus-menerus di sepanjang pantai dengan kecepatan 15-25 knot yang menyebabkan massa air pantai yang bersuhu hangat (28Ý-29ÝC) di permukaan bergerak ke arah laut lepas (Ekman transport).
Kekosongan massa air di permukaan ini selanjutnya diisi oleh naiknya massa air yang lebih dingin (25Ý-27ÝC) dari kejelukan antara 50-300 meter dengan kecepatan 1-5 meter per hari yang kaya unsur hara. Tingginya kadar hara, terutama fosfat, nitrat, dan silikat di permukaan dipadukan dengan intensitas cahaya matahari yang tinggi, akan memacu laju fotosintesa, fitoplankton (plankton nabati).
Selanjutnya fitoplankton ini akan dimakan oleh kopepoda dan zooplankton lainnya yang bersifat plankton feeder yang merupakan pakan utama bagi berbagai jenis ikan pelagis kecil. Semua anggota dari fitoplankton tampaknya digunakan sebagai makanan oleh kelompok kopepoda kecuali cyanobacteria yang pada umumnya tidak disukai, kecuali oleh harpacticoid, Microsetella gracilis yang memakan Trichodesmium yang sungguh dibutuhkan sebagai makanannya. Ketika fitoplankton berlimpah isi perut kopepoda penuh dengan kumpulan sel-sel biota ini sehingga tubuhnya tampak berwarna hijau.
Kopepoda merupakan holoplankton dari kelompok krustasea renik, lebih kecil dari udang dan kepiting, umumnya berukuran 0,5-2 mm. Kopepoda berasal dari bahasa Yunani kope, yang berarti dayung dan podos, yang berarti kaki, yang ditujukan untuk bentuk kaki-kaki renangnya yang pipih melebar. Sebagian besar tubuhnya transparan, beberapa di antaranya berwarna kuning telur, biru, ungu, atau hitam.
Beberapa marga lainnya, misalnya Pleurommama dan Oncaea bersifat luminescence. Mereka dapat ditemukan di berbagai habitat dari perairan tawar sampai ketinggian 5.540 m di pegunungan Himalaya hingga samudra luas dari permukaan hingga lapisan-lapisan bathypelagic dengan kedalaman lebih dari 10.000 m. Kisaran distribusi vertikal ini sekitar  dari kisaran maksimum yang mungkin pada permukaan bumi, dari titik terdalam di Palung Mariana ke puncak Mount Everest (20.372 m).
Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa keanekaragaman jenis kopepoda ini lebih besar dari seluruh jenis biota yang ada di laut digabung menjadi satu.
Beberapa jenis kopepoda biasa digunakan sebagai bio-indikator dalam menentukan lokasi upwelling di perairan dunia. Calanus pacificus dan Calanus marshallae merupakan bio-indikator upwelling di perairan lepas pantai California dan Oregon, Amerika Serikat. Dilaporkan bahwa pada saat upwelling sedang berlangsung kelimpahan anakan (kopepodit V) dari jenis ini di permukaan perairan mencapai 26 juta individu per meter kubik, dan kadar fosfat di permukaan air mencapai 2 Ag atom per liter.
Sedangkan Calanus carmatus biasa berasosiasi dengan upwelling di perairan Afrika Utara. Acartia clausi, Acartia longiremis, dan Oithona similis merupakan beberapa jenis kopepoda lainnya yang berasosiasi dengan mekanisme upwelling.
Di perairan Indonesia, dua jenis kopepoda laut dalam yang dikenal sebagai bio-indikator upwelling adalah Calanoides philippinensis dan Rhincalanus nasutus. Pada saat musim upwelling berlangsung, biasanya berawal pada musim timur (Maret-September) stadia dini (nauplius dan kopepodit) dari kedua jenis kopepoda ini sangat melimpah di lapisan permukaan air. Sebaliknya bentuk dewasanya sangat jarang ditemukan.
Mereka menimbun lemak sebanyak mungkin dari fitoplankton, nauplius maupun detritus yang dimakannya untuk pertumbuhan dan cadangan makanan pada saat downwelling. Menjelang berakhirnya musim upwelling, pada saat stok makanan di permukaan mulai menipis, sebagian besar anakan (kopepodit V) dari kedua jenis kopepoda tersebut akan menyelam ke kedalaman 300-500 meter atau lebih.
Di lapisan kedalaman ini, kopepodit V akan beristirahat (resting state), mengurangi metabolisme dan aktivitasnya tanpa makan selama 5-6 bulan dan tetap bertahan sebagai kopepodit V menunggu sampai musim upwelling berikutnya. Ketika musim upwelling tiba kopepodit V ini berenang kembali ke lapisan dekat permukaan untuk menjadi dewasa, kawin dan bertelur. Konsentrasi paling tinggi dari upwelling species, biomassa zooplankton tertinggi dan temperatur air terendah terjadi di bagian barat dan utara Kepulauan Aru.
Strategi mempertahankan siklus hidup yang hampir mirip ditunjukkan oleh Calanus finmarchicus di perairan Atlantik Utara. C finmarchicus adalah omnivora, memakan fitoplankton, krustasea sangat kecil lainnya, dan juga detritus untuk mendapatkan sejumlah besar nitrogen dan fosfor dari sumber ini pada saat blooming di musim semi.
Bahan makanan yang berasal dari jasad hidup alami yang mengandung banyak lemak ini penting sebagai cadangan untuk menyokong hidupnya pada saat menghadapi musim dingin. Pertumbuhan dan reproduksi dari C finmarchicus terjadi pada lapisan samudra ($> 100 meter). Dalam keadaan normal C finmarchicus mempunyai siklus hidup antara 30-50 hari yang meliputi perkembangan enam stadia larva (nauplius I-VI) dan enam stadia juvenil (kopepodit I-VI).
Akan tetapi, dalam keadaan ekstrem (kritis) mereka mengubah strategis siklus hidupnya secara drastis, terutama dalam menghadapi musim dingin yang panjang (masa paceklik). Stadia akhir pra-dewasa (kopepodit V) C finmarchicus akan menyelam dan tinggal dekat dasar atau pada lapisan kedalaman 300-400 meter, mempertahankan hidupnya tetap sebagai kopepodit V tanpa makan selama 6-8 bulan.
Menjelang musim semi kopepodit V dari C finmarchicus ini akan berenang kembali ke lapisan dekat permukaan untuk menjadi dewasa, kawin dan membentuk suatu generasi baru. Di bagian utara dunia yang lebih ekstrem, di Laut Greenland dan Selat Davis, populasi C finmarchicus dalam satu tahun hanya dapat menghasilkan satu generasi saja. Sebaliknya di perairan lebih ke selatan, misalnya pantai timur Amerika Serikat, setidak-tidaknya dalam setahun jenis ini dapat menghasilkan dua generasi.
Konsep lain yang ditawarkan oleh Fleminger (1985) dalam mengamati strategi siklus hidup Calanus pacificus californensis dalam sistem arus California. Pada awal musim gugur hingga musim dingin sebagian besar stadia pra-dewasa (kopepodit V) C p californensis menyelam ke kedalaman 300-400 meter, mengistirahatkan diri tetap dalam stadia kopepodit V dan berpuasa hingga musim dingin berakhir. Menjelang awal musim semi kopepodit V ini berenang ke permukaan untuk menjadi dewasa, sebagian besar persentasenya adalah betina.
Mereka tinggal dekat lapisan permukaan dan menghabiskan musim semi dan musim panas (masa panen) untuk menimbun lemak, tumbuh dan bereproduksi. Setelah musim panas berakhir, kopepodit V dari generasi berikutnya kembali menyelam untuk beristirahat, mengurangi aktivitas dan metabolisme, dan berpuasa sampai musim semi tiba.
Keuntungan dan kerugian
Lokasi upwelling merupakan daerah yang subur dan ideal bagi ikan-ikan pelagis kecil untuk memperoleh pakan, yang pada gilirannya akan dimangsa oleh ikan-ikan yang berukuran besar. Hubungan yang saling berkesinambungan ini menjadikan lokasi upwelling sebagai area yang sangat ideal untuk menangkap ikan (fishing ground).
Lokasi upwelling di perairan lepas pantai California telah lama dikenal sebagai tempat yang baik untuk penangkapan ikan Sardinopsis (dari famili Clupeidae). Tak berbeda jauh di perairan lepas pantai Peru yang menjadi era penangkapan ikan anchovy (dari famili Engraulidae). Di pantai barat Afrika, Sardinella sp. merupakan jenis ikan yang sangat dominan ditangkap.
Meskipun daerah upwelling diakui sebagai tempat yang ideal untuk penangkapan ikan, namun daerah ini juga menjadi tempat peminjahan ikan yang potensial untuk mendukung proses perekrutan ikan tembang, japuh, lemuru (Clupeidae), serta puri atau teri dari kelompok Engraulidae. Proses upwelling akan sangat berguna bagi perekrutan ikan apabila kecepatan angin tidak melebihi 5-6 meter per detik.
Kecepatan angin yang tinggi akan berdampak negatif bagi proses perekrutan. Hal lain yang sangat penting adalah timing (ketepatan atau ketidak tepatan) dalam ketersediaan pakan alami bagi larva ikan tersebut. Maka penangkapan ikan di daerah upwelling harus dipertimbangkan tentang kelestariannya karena penangkapan yang berlebihan (over fishing) akan merugikan secara ekonomi dan biologi.
Pengayaan hara (nutrient enrichment) akibat upwelling juga dapat memicu terjadinya red tide, akibat terjadinya biakan massal populasi fitoplankton tertentu dengan jumlah puluhan juta sel per liter air.
Biakan massal ini dapat merubah warna perairan menjadi merah kecoklatan, hijau kekuningan atau biru kehijauan. Akumulasi konsentrasi dari sel-sel tersebut terletak dari permukaan hingga lapisan kedalaman 2-5 meter.
Secara normatif red tide dapat terjadi karena adanya sumbangan hara dari daratan yang sangat tinggi, perubahan cuaca (El Nino, La Nina?), hujan yang berlebihan, atau kurangnya zooplankton (kopepoda) herbivora yang mengontrol populasi fitoplankton penyebab red tide.
Sedikitnya dikenal ada 20 jenis plankton yang potensial menimbulkan red tide di perairan Indonesia. Pyrodinium bahamense var compressum dan Alexandrium affine merupakan dua jenis plankton penyebab red tide di Teluk Kao dan Teluk Ambon.
Peristiwa red tide menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan dan sumber daya ikan di perairan alami, tambak, serta menghilangnya ikan-ikan dari lokasi penangkapan. Munculnya jenis-jenis plankton red tide akan menimbulkan kematian massal biota laut akibat pengurasan oksigen (anoxious), merusak dan mengganggu sistem pernapasan ikan, dan meracuni lingkungan perairan dan biota laut lainnya.
Sebagai contoh red tide dari Trichodesmium thiebautii (cyanobacteria) di Lampung pada tahun 1991, telah menyebabkan kerugian sekitar Rp 3,5 miliar akibat kematian massal udang windu yang siap panen. Matinya kerang-kerang mutiara di loka budidaya Dobo, Maluku Tenggara, dan kematian ikan sardine di sepanjang Pantai Kuta, Bali, pada tahun 1995, serta kematian massal ikan di perairan Waigeo, Sorong, pada tahun 1996 merupakan beberapa kejadian yang diakibatkan oleh red tide.
Dan, masih banyak lagi kasus-kasus kematian sumber daya ikan akibat red tide di berbagai wilayah perairan Indonesia yang luput dari perhatian.
Di satu sisi, pengayaan nutrien (eutrofikasi) akibat mekanisme upwelling berdampak positif bagi kesuburan suatu perairan dengan terpeliharanya sumber daya perikanan. Di sisi lain, upwelling juga dapat menyebabkan kerugian karena menimbulkan ledakan pertumbuhan (blooming) dari jenis-jenis plankton penyebab red tide.
Pengkajian lebih lanjut mengenai fenomena upwelling dan dampaknya di perairan Indonesia merupakan masalah yang sangat penting, karena masih banyak parameter lainnya yang berhubungan dengan upwelling yang perlu diteliti secara lebih akurat. Pada akhirnya hal ini erat kaitannya dengan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan secara baik dan benar.




Jumat, 03 Februari 2017

Bioteknologi dalam Perikanan



            Bioteknologi adalah penggunaan biokimia, mikrobiologi, dan rekayasa genetika secara terpadu, untuk menghasilkan barang atau lainnya bagi kepentingan manusia. Biokimia mempelajari struktur kimiawi organisme. Rekayasa genetika adalah aplikasi genetik dengan mentransplantasi gen dari satu organisme ke organisme lain. Bioteknologi merupakan salah satu bidang sains di mana benda hidup digunakan untuk menghasilkan produk atau untuk melakukan sesuatu yang berguna untuk manusia. Tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga mikro organisme seperti bakteria telah digunakan untuk menghasilkan kebaikan yang dapat digunakan manusia. Dalam bidang industri perobatan dan pertanian, bioteknologi bantu dalam menghasilkan suplemen makanan, untuk menguji diagnosa penyakit. Bioteknologi boleh digunakan untuk menyelesaikan masalah dan untuk membantu dalam penyelidikan berbagai permasalahan.
            Ciri utama bioteknologi adalah dengan adanya benda biologi berupa mikroba, tumbuhan atau hewan serta adanya pendayagunaan secara teknologi dan industri dan juga produk yang dihasilkan adalah hasil ekstraksi dan pemurnian. Dalam penerapannya sekarang, bioteknologi seringkali dimanfaatkan untuk segala macam kegiatan atau industri-industri. Seperti industri kesehatan, pertanian, peternakan dan juga pertanian. Bioteknologi perikanan (aquatic biotechnology) diartikan sebagai penggunaan organisme (biota) perairan atau bagian dari organisme perairan, seperti sel dan enzim, untuk membuat atau memodifikasi produk, untuk memperbaiki kualitas fauna (hewan) dan flora (tumbuhan), atau untuk mengembangkan organisme guna aplikasi tertentu, termasuk remediasi (perbaikan) lingkungan akibat pencemaran dan kerusakan lainnya.
            Bioteknologi perairan juga mencakup ekstraksi (pengambilan) bahan-bahan alamiah (natural products atau bioactive substances) dari organisme perairan untuk bahan dasar industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, dan lainnya (fullnews.com). Dengan demikian, aplikasi industri bioteknologi perairan secara garis besar mencakup ekstraksi bahan-bahan alamiah untuk membantu dalam penyelidikan berbagai permasalahan.
Bioteknologi di Bidang Perikanan
            Bioteknologi perikanan adalah bioteknologi yang ditekankan khusus pada bidang perikanan. Penerapan bioteknologi dalam bidang perikanan sangat luas, mulai dari rekayasa media budidaya, ikan, hingga pascapanen hasil perikanan. Pemanfaatan mikroba telah terbukti mampu mempertahankan kualitas media budidaya sehingga aman untuk digunakan sebagai media budidaya ikan. Bioteknologi telah menciptakan ikan berkarakter genetis khas yang dihasilkan melalui rekayasa gen. Melalui rekayasa gen, dapat diciptakan ikan yang tumbuh cepat, warnanya menarik, dagingnya tebal, tahan penyakit dan sebagainya. Pada tahap pascapanen hasil perikanan, bioteknologi mampu mengubah ikan melalui proses transformasi biologi hingga dihasilkan produk yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Sudah sejak abad 11, manusia sebetulnya menggunakan prinsip dasar ini. Pembuatan pangan seperti peda, kecap ikan, terasi ikan merupakan hasil bioteknologi. Ketahanan pangan merupakan isu global yang sekarang sedang ramai dibicarakan. Alasannya jelas, pada tahun 2033 populasi manusia di dunia akan mencapai sektar 12 miliar jiwa. Sebagian besar penduduk tersebut ada di benua Asia. Berdasarkan hal tersebut, diperkirakan pada tahun 2010 kebutuhan pangan penduduk Asia akan melampaui persediaan yang ada. Kondisi ini membuat Negara Indonesia harus bekerjakeras memenuhi kebutuhan pangannya, sehingga peristiwa kelangkaan pangan di atas tidak perlu dialami. Langkah pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan sudah mulai terlihat, salah satu komitmennya adalah meningkatkan produksi ikan menjadi tiga kali lipat dari periode sebelumnya.
            Salah satu penyebab rendahnya produksi perikanan Indonesia adalah kemampuan mengolahnya. Sekitar 20-25 persen produk perikanan tidak dapat dimanfaatkan karena tidak diolah atau mengalami pembusukan. Ini berarti satu juta ton ikan terbuang percuma. Beberapa kendala dialami oleh pengusaha pengolah hasil perikanan untuk menekan persentase ikan yang tidak dapat dimanfaatkan. Kendala tersebut mulai dari kondisi bahan baku, teknologi pengolahan, sumberdaya manusia dan tingkat konsumsi ikan. Bioteknologi pengolahan hasil perikanan (BPHP) merupakan cabang dari bioteknologi pangan yang sudah lama diterapkan oleh masyarakat Indonesia untuk mengolah hasil perikanan. Beberapa produk yang telah dihasilkan masyarakat melalui penerapan bioteknologi antara lain peda, kecap ikan, bekasem, bekasang, terasi dan silase. Meskipun mereka tidak memahami prinsip ilmiah yang mendasarinya, para pengolah ikan telah memanfaatkan bioteknologi selama berabad-abad untuk membuat pangan berbahan baku ikan.Secara garis besarnya BPHP adalah salah satu teknologi untuk mengolah hasil perikanan menggunakan jasa mahluk hidup, yaitu mikroba. Salah satu sifat mikroba yang menjadi dasar penggunaan BPHP adalah kemampuannya merombak senyawa kompleks menjadi senyawa lebih sederhana, sehingga dihasilkan pangan berbentuk padat, semi padat dan cair.
            Mikroba memiliki kemampuan merombak senyawa kompleks (protein, lemak dan karbohidrat) menjadi senyawa lebih sederhana (asam amino, asam lemak dan glukosa). Perombakan demikian telah merombak hasil perikanan menjadi pangan yang aman dikonsumsi manusia. Apabila tidak segera dihentikan, mikroba akan merombak senyawa sederhana tersebut menjadi ammonia, hidrogen sulfida, keton dan alkohol. Perubahan tersebut menjadikan pangan tersebut tidak layak lagi dikonsumsi.
Bentuk Penerapan Bioteknologi di Bidang Perikanan
            Bioteknologi perikanan adalah bioteknologi yang ditekankan khusus pada bidang perikanan. Penerapan bioteknologi dalam bidang perikanan sangat luas, mulai dari rekayasa media budidaya, ikan, hingga pascapanen hasil perikanan. Pemanfaatan mikroba telah terbukti mampu mempertahankan kualitas media budidaya sehingga aman untuk digunakan sebagai media budidaya ikan. Bioteknologi telah menciptakan ikan berkarakter genetis khas yang dihasilkan melalui rekayasa gen. Melalui rekayasa gen, dapat diciptakan ikan yang tumbuh cepat, warnanya menarik, dagingnya tebal, tahan penyakit dan sebagainya.
            Pada tahap pascapanen hasil perikanan, bioteknologi mampu mengubah ikan melalui proses transformasi biologi hingga dihasilkan produk yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Sudah sejak abad 11, manusia sebetulnya menggunakan prinsip dasar ini. Pembuatan pangan seperti peda, kecap ikan, terasi ikan merupakan hasil bioteknologi.
Bioteknologi pada Rekayasa Genetika Ikan
       Genetika merupakan salah satu ilmu dasar yang penting untuk menjelaskan berbagai pola pewarisan gen dalam populasi, genetik fenotip kualitatif dan kuantitatif yang mengekspresikan sifat unggul dan landasan teori dasar dari program seleksi ataupun program persilangan antara spesies atau famili. Gen dan kromosom ikan direkayasa untuk dimanfaatkan keterkaitannya dengan seleksi fenotip kuantitatif dan fenotip kualitatif bagi teknik breeding ikan untuk mendapatkan sifat-sifat superior yang diwariskan dari induk dengan seleksi gen unggul kepada keturunannya.
       Dalam arti luas, modifikasi genetik merujuk pada perubahan genetik organism yang tidak ditemukan di alam, termasuk hibrida (keturunan orang tua dari spesies yang berbeda atau sub-spesies). Pengembangan ikan transgenik dimana para ilmuwan menggunakan teknik DNA rekombinan untuk memasukkan materi genetik dari satu organisme ke dalam genom ikan atau organisme air lainnya. Berkembanganya kemampuan memodifikasi hewan secara genetic mengakibatkan pesatnya penelitian tentang rekayasa genetic organisme akuatik (genetically modified organism).
Hewan air, terutama ikan tumbuh dalam sistem akuakultur, menarik perhatian penelitian yang signifikan karena dua alasan utama. Pertama, ikan bertelur dalam jumlah besar dan telur yang lebih mudah dimanipulasi, sehingga memudahkan bagi para ilmuwan untuk memasukkan DNA baru ke dalam telur ikan. Kedua, budidaya merupakan salah satu sektor yang memproduksi makanan tercepat tumbuh secara global, menunjukkan meningkatnya permintaan produk akuakultur. Sejak tahun 1984, budidaya komersial telah berkembang pada tingkat tahunan hampir 10 persen, dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan 3 persen untuk daging ternak dan tingkat 1,6 persen pertumbuhan untuk penangkapan. Sementara pertumbuhan telah terkonsentrasi di Asia, perikanan budidaya juga merupakan salah satu sektor yang paling cepat berkembang dengan total nilai produk yang dijual meningkat dari $ 45.000.000 pada tahun 1974 menjadi lebih dari $ 978.000.000 pada tahun 1998 . Bahkan, budidaya komersial memproduksi hampir semua ikan lele dan ikan trout serta sekitar satu-setengah dari udang dan salmon di Amerika Serikat.
1.     Pembenihan Selektif
                   Pembenihan selektif, yang merupakan pembenihan ikan secara tradisional, pertama kali dikembangkan pada ikan mas ribuan tahun yang lalu. Namun sampai sekarang pembenihan selektif hanya diterapkan pada ikan untuk konsumsi seperti ikan nila, catfish, dantrout sehingga masih banyak ikan budidaya yang pembenihannya seperti di perairan umum. Program pembenihan secara selektif telah memberikan peningkatan hasil dan pendapatan yang setabil contohnya terdapat peningkatan tingkat pertumbuhan 5‑20% pada ikan budidaya seperti Salmon, Nila dan catfish.
1.     Manipulasi
                   Manipulasi pada bentuk kromosom merupakan teknik yang bisa digunakan untuk menghasilkan organisme ‘triploid’ yaitu organisme dengan tiga bentuk kromosom dimana biasanya suatu organisme Cuma memiliki dua bentuk. Triploid umumnya tidak bisa bereproduksi sehingga ada pemikiran bahwa energi yang dimiliki akan sepenuhnya digunakan untuk meningkatkan perkembangan suatu organisme walaupun belum ada bukti yang menguatkan pemikiran tersebut. Keuntungan triploid lebih terlihat pada fungsi sterilitasnya meskipun tidak mencapai 100%. Contohnya, tiram triploid tidak dapat memproduksi gonad sehingga dapat dipasarkan sepanjang tahun. Hal ini disebabkan produksi gamet (sel kelamin, ovum atau telur pada betina dan sperma pada jantan) membuat tiram yang matang gonad memiliki rasa yang tidak enak.
1.     Budidaya Sejenis (monosex culture)
                   Dalam budidaya perikanan, budidaya sejenis (monosex culture) biasanya lebih menguntungkan dari pada budidaya lainnya. Sebagai contoh, Ikan sturgeon betina menghasilkan caviar, ikan nila jantan tumbuh lebih cepat daripada betina, ikan salmon dan trout betina lebih cepat tumbuh daripada ikan jantan. Produksi ikan secara monosek memberikan banyak keuntungan dan dapat dilakukan dengan cara memanipulasi perkembangan gamet dan embrio. Pemanipulasian dilakukan dalam bentuk denaturalisasi DNA sel kelamin yang dilanjutkan dengan manipulasi bentuk kromosom atau sex reversal menggunakan hormone dan tindakan pembenihan. Penggunaan hormon yang tepat dengan ketat dapat merubah sifat fenotip kelamin ikan. Contohnya, secara genetik ikan nila jantan akan berubah secara fisik menjadi betina dengan pemberian hormone estrogen. Ikan‑ikan jantan ini dikawinkan dengan ikan jantan alami untuk menghasilkan semua anakan ikan nila jantan yang tumbuh lebihcepat dan dapat menghindari perkawinan yang tidak diinginkan yang biasa terjadi pada budidaya nila secara multi‑sex. Pada budidaya ikan nila multi‑sex, perkawinan ikan‑ikan berukuran kecil sering terjadi dan menyebabkan kepadatan yang berlebih. Beberapa anakan jantan dari proses ini memiliki dua kromosom jantan sehingga dapat dijadikansebagai induk untuk pembenihan selanjutnya. Manfaat besar dari teknik ini yaitu semua populasi jantan bisa diproduksi untuk generasi seterusnya tanpa menggunakan hormon (Bocek, 2010 : 3-6).
1.     Hibridasi
Hibridasi merupakan bioteknologi genetik yang semakin mudah dilakukan dengan berkembangnya teknik pembenihan buatan seperti penggunaan kelenjar hipopisa atau hormon lainnya yang merangsang perkembangan gamet dan mendorong pemijahan (pengeluaran telur ikan). Hibridasi bisa digunakan juga untuk menghasilkan anakan satu jenis kelamin (Hibridasi pada ikan nila Nile dan Nila biru)(Ayoola, S.O dan Idowo, A.A., 2008).
1.     Hipofisa
Hipofisasi adalah proses penyuntikan ekstrak kelenjar hipofisa kepada ikan untuk merangsang kematangan gonad. Praktikum ini mengajarkan cara mengambil kelenjar hipofisa pada ikan Mas, Ikan Lele dan Ikan Patin. Contohnya pada ikan Lele.Kepala Ikan Lele dipotong mulai dari mulutnya.Semua bagian mulut, insang dan aborensen organ dibuang hingga hanya menyisakan tulang tempurung kepalanya.Tulang yang melindungi rongga otak dikerok dari bagian dalam kepala hingga otaknya terlihat.Otak dikeluarkan dengan bantuan tusuk gigi.Prosedur terakhir adalah mengeluarkan kelenjar hipofisa dengan bantuan tusuk gigi.Kelenjar hipofisa memiliki bentuk bulat dan berwarna putih.
1.     Perkembangan Teknologi Transgenik
Rekayasa genetik merupakan sebuah istilah yang samar dan pengertiannya menjadi hampir mirip dengan transgenik (transfer gen) seperti ikan trangenik atau Modifikasi Organisme secara Genetik (GMOs). Teknologi ini sedang berkembang dengan cepat dan memungkinkan merubah gen‑gen species yang memiliki keterikatan yang jauh; contohnya, sebuah gen yang menghasilkan protein antibeku telah ditransfer dari ikan laut yang tahan dingin ke buah strawberry. Transfer gen pada ikan biasanya mencakup gen yang menghasilkan hormon pertumbuhan dan hal ini telah dibuktikan dengan peningkatan tingkat pertumbuhan yang tinggi pada ikan mas, catfish, salmom, ikan nila, mudloach,dan trout. Gen anti‑beku yang diterapkan pada tanaman juga diterapkan pada ikan salmon dengan harapan dapat memperluas pembudidayaan ikan tersebut. Produksi protein gen ini tidak cukup untuk memperluas jangkauan ikan salmon di perairan dingin tetapi gen ini memungkinkan salmon untuk terus berkembang selama musim dingin dimana ikan salmon non‑transgenik (Zohar, 2013 : 32-38).
TEKNIK TRANSFER GEN
1.     Mikroinjeksi
Teknik mikroinjeksi yang dikembangakan dari teknik produksi tikus transgenik merupakan teknik yang umum digunakan dalam introduksi gen pada ikan. Gen yang akan diintroduksi disuntikan ke sel mengunakan gelas pipet yang sangat kecil (diameter ujung jarum sekitar 0,05–0,15 mm). Pekerjaan ini dilakukan di bawah mikroskop dengan bantuan sebuah mikromani-pulator pengatur gerak jarum suntik dan volume larutan DNA yang akan disuntikkan. Namun demikian, terdapat dua masalah dalam pengaplikasian teknik ini pada ikan (Yoshizaki 1998).Masalah pertama adalah inti telur ikan yang telah dibuahi relatif sulit diidentifikasi dimikroskop karena ukurannya kecil dan volume sitoplasma besar (Hacket 1993). Korion telur sangat keras dan sulit ditembus oleh mikropipet merupakan masalah kedua yang dihadapi pada kan.
Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, beberapa cara telah dikembangkan untuk beberapa spesies berbeda. Beberapa peneliti menyuntikan gen ke inti telur medaka yang belum matang. Telur yang belum matang tersebut diinkubasi secara in vitro. Pada fase ini inti telur (disebut sebagai germinal vesicle) sudah kelihatan dan akan matang secara spontan dengan cara in vitro. Sebagai tambahan, telur medaka sangat keras setelah dibuahi sehingga penyuntikan pada saat tersebut dengan korion yang lembut akan lebih mudah. Akan tetapi, induksi pematangan telur secara in vitro memerlukan prosedur yang rumit dan membutuhkan waktu relatif lama pada spesies tertentu. Oleh karena itu, kelompok peneliti lain membuat ikan transgenik dengan cara menyuntikkan gen dengan jumlah copy yang banyak ke sitiplansma telur yang telah dibuahi sebagai alternatif penyuntikan ke inti telur.
2.     Elektroforesis
Metode lain yang juga popular digunakan dalam pembuatan ikan transgenik adalah elektroforesis. Prinsip metode ini adalah membuat reparable-holes pada membran sel dengan bantuan aliran listrik yang bergetar (electric pulse).Sel disuspensikan dalam larutan DNA, dan larutan ini dapat masuk ke sel melalui lubang yang telah terbentuk. Pada awalnya, metoda ini dikembangkan untuk kultur sel; namun demikian teknik ini dapat juga diaplikasikan untuk telur dan sperma ikan. Teknik eletroforesis telah digunakan dalam beberapa spesies ekonomis penting seperti channel catfish, carp (Powers et al. 1992), dan salmon (Sin et al. 1993; Symonds et al. 1994). Powers et al. (1992) memproduksi ikan transgenic channel catfish dan carp dengan melakukan elektroforesis mengguna-kan telur yang telah dibuahi. Dalam beberapa kasus, tingkat kelangsungan hidup dan transformasi yang diperoleh dengan elektroforesis tidak setinggi dengan level yang diperoleh dengan teknik mikroinjeksi. Baru-baru ini, laboratorium kami telah mengembangkan teknik elektroforesis ini untuk memperoleh hasil yang lebih baik dengan menggunakan sperma yang telah direhidrasi (Kang et al. 1999). Pertama-tama sperma ikan mas dihidrasi dalam larutan hiperosmotik dan dilanjutkan dengan rehidrasi dengan larutan hyposmotik yang mengandung DNA untuk mengembalikan tekanan osmotic cairan seminal ke kondisi awal. Elektroforesis dilakukan pada saat proses rehidrasi. Tingkat keber-hasilan transfer yang dianalisis menggunakan ikan umur 30 hari adalah sekitar 66%, sedangkan teknik elektro-foresis yang biasa pada kondisi isotonic hanya 20%. Hasil ini menunjukkan bahwa elektroforesis selama rehidrasi dapat meningkatkan penyerapan DNAyang juga berarti meningkatkan frekuensi transfer gen. Meskipun teknik ini belum sempurna, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa cara ini cukup efektif. Penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk mendapatkan tingkat keberhasilan yang lebih baik dengan metode ini.
3.     Metode Alternatif
Kedua metode transfer gen yang dipaparkan di atas telah digunakan secara rutin pada ikan. Akan tetapi akan menghadapi masalah bila menggunakan ikan yang perkembangan embrionya terjadi di dalam tubuh induknya seperti pada gapi, platy dan swordtail. Juga, umumnya spesies Crustasea yang penting untuk akuakultur seperti udang dan lobster tidak melepaskan telurnya yang baru terbuahi. Akibatnya, transfer gen tidak bisa dilakukan dengan cara mikroinjeksi atau elektroforesis. Alternatif metode transfer gen untuk spesies seperti itu telah dikembangakan oleh Burns et al. (1993) dengan menggunakan bantuan sebuah vektor yang dikenal sebagai replication-defective pantropic retroviral. Vektor ini telah menunjukkan hasil yang efektif dalam menginfeksi sel lines ikan, kadal air, kodok (Xenopus) dan nyamuk (Burns et al., 1993, 1994; Matsubara et al. 1996), dan telur ikan yang baru dibuahi seperti medaka, zebra dan kerang, Mulina lateralis (Burns et al. 1993; Lin et al. 1994; Lu at al. 1996, 1997), dan sukses menghasilkan transgen. Baru-baru ini juga Sarmasiket al. (2001) telah berhasil memproduksi ikan transgenik dengan menyuntukan vektor tersebut ke daerah sekitar gonad ikan gapi (Poecilia lucidai) dan crayfish (Procambarus clarkii). Lu et al. (2002) juga berhasil membuat ikan silver sea bream transgenik dengan menyuntikkan cDNA (hormone pertumbuhan ikan rainbow trout dengan promoter ikan mas -actin) yang dicampurkan dengan liposom ke gonad ikan, dan cara ini disebut sebagai “testis-mediated gene transfer”. Hasil yang diperoleh dengan cara ini relatif sama dengan hasil yang diperoleh dengan cara elektroforesis (Lu et al. 2002) (Alimuddin dkk, 2003: 42-43)
2.2.2 Bioteknologi pada Media Budidaya Ikan (Pra panen)
                 Bioteknologi merupakan kajian ilmu tentang kehidupan makhluk hidup yang bersandar pada kemampuan dari kemajuan teknologi dimana memadukan pengetahuan alam khususnya makhluk hidup dengan teknologi. Dan bioteknologi perikanan merupakan perpaduan kemajuan teknologi dengan kehidupan makhluk hidup dalam sektor perikanan dimanaperanananya sanagat luas dimulai dari reakayasa media budaidaya perikanan hingga sampai pada pasca panen hasil perikanan. Dari bioteknologi perikanan dapat memudahkan manusia dalam memproduksi hasil perikanan menjadi lebih efektif dan efisien terlihat dalam hal seperti budidaya perikanan, pengolahan dan pemanfaatan limbah, pengolahan hasil perikanan, dan lain sebagainya, dalam arti sempitnya bioteknologi perikanan merupakan ilmu yang dibutuhkan di setiap rantai produksi dari hulu ke hilir. Media dari bioteknologi perikanan salah satunya berupa mikroba yang telah terbukti mempertahankan kualitas media budidaya sehingga aman untuk digunakan sebagai media budidaya ikan. Pada tahap pasca panen hasil perikanan, bioteknologi mampu mengubah ikan melalui proses transformasi biologi sehingga menghasilkan produk yang aman untuk dikonsumsi dan sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan memenuhi kebutuhan hidup manusia. Contoh contoh produk dalam bidang perikanan yang dihasilkan melalui konsep dan prinsip bioteknologi dengam menggunakan mikroba. Seperti peda, kecap ikan dan terasi ikan. Mikroba mempunyai peranan khusus dalam kinerja hasil dari bioteknologi perikanan itu sendiri. Produk perikanan yang memanfaatkan mikroba sebagai agen bioteknologi adalah probiotik yang dapat dijadikan sebagai suplemen makhluk hidup. Tentunya banyak jenis probiotik yang digunakan. Probiotik membantu atau berperan mengurai zat makanan menjadi lebih sederhana sehingga mudah dicerna.
Probiotik sendiri adalah biakan mikroba menguntungkan yang diberikan sebagai suplemen makanan yang mempunyai pengaruh menguntungkan pada kesehatan mahluk hidup, baik manusia, binatang dan tumbuhan. Mikroflora yang digolongkan sebagai probiotik adalah mikroba yang memiliki sifat menguntungkan. Contoh mikroba yang termasuk probiotik antara lain Lactobacilli dan Bifidobacteria.
Dalam perikanan probiotik menghasilkan komposisi zat makanan yang lebih sederhana (asam amino, asam lemak, gula-gula sederhana, vitamin dan mineral organik),probiotik juga digunakan untuk produk perikanan seperti terasi, bekasam, vaksin untuk ikan, pakan ikan, dll.
 Berikut peranan mikroba tersebut :
1.     Penghancur limbah organik,
Dalamsegi ekologis perairan limbah merupakan faktor penghambat dalam dunia perikanan, terlebih lagi itu merupakan limbah yang sulit dilakukan oleh tangan manusia itu sendiri. Mikroba dalam hal ini, dapat menjadi dekomposer positif dengan mengurai  limbah menjadi bahan yang ramah lingkungan.
1.     Recycling hara
Di dunia perikanan hara merupakan nutrien dan dalam rantai makanan, hara merupakan faktor primer dalam kelangsungan produktivitas rantai produksi perikanan. Namun, hara dapat menjadi zat yang sangat beracun apabila dalam kuantitas yang sangat banyak dan beresiko menyebabkandepletion oxygen (penurunan kadar oksigen) di perairan. Mikroba dalam hal ini dapat membantu percepatan unsur hara ini untuk mendaur ulang hara tersebut menjadi energi fosil walaupun membutuhkan waktu yang sangat panjang, namun proses ini tidak lepas dari peranan mikroba tersebut.
1.     Merangsang pertumbuhan
Dalam budidaya terutama, mikroba dapat merangsang pertumbuhan untuk cepat tumbuh dan berkembang menjadi potensi produksi yang sangat besar.Dengan memberikan mikroba diharapkan komoditas perikanan mampu cepat tumbuh dan bereproduksi dengan hasil yang diharapkan.
1.     Biokontrol pathogen
Mikroba dalam hal ini banyak berperan dalam pengolahan hasil perikanan dimana hasil perikanan pasca panen yang menjadi keresahan masyarakat dalam hal pendistribusian hasil perikanan mereka karena sifat alami dari produk/komoditas perikanan sendiri yang cepat busuk, namun bioteknologi hal ini menjawab keresahan masyarakat dengan mendatangkan mikroba sebagai kompetitor dari bakteri patogen tersebut sehingga pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri dapat terkontrol dan diredam kuantitasnya dengan mengisolasi bakteri patogen, agar outputnya produk perikanan dapat tahan lama dan pendistribusiannya dapat lebih lancar terlebih lagi yaitu sehat dan higienis.
Rekayasa yang dilakukan oleh manusia untuk memanfaatkan mikroba sebagaiagen bioteknologi yaitu:
Dengan menggunakan teknik transgenik pada ikan yang telah dimulai dengan mengintroduksi gen tertentu kepada organisme hidup lainnya. serta mengamati fungsinya secara in vitro. Dalam teknik ini, gen asing hasil isolasi di injeksi secara makro ke dalam telur untuk memproduksi telur ikan yang mengandung gen asing tersebut. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan ikan transgenik, yaitu:
o    Isolasi gen (clone DNA) yang akan diinjeksi pada telur.
o    Identifikasi gen pada anak ikan yang telah mendapatkan injeksi gen asing tadi.
o    Keragaman dari turunan ikan yang diinjeksi gen asing tersebut.
Kedua adalah terasi ikan, mikroorganisme yang berperan dalam proses pembuatan terasi yaitu bakteri Lactobacillus dan bakteri mesofil. Mikroorganisme dimanfaatkan untuk mengubah laktosa menjadi asam laktat, Mikroorganisme digunakan  pada saat pematangan yaitu dalam proses pembentukan aroma khas terasi.
2.2.3 Produk bioteknologi pasca panen
Produk perikanan yang memanfaatkan mikroba sebagai agen bioteknologi dan peranannya dalam produksi pasca panen anatar lain:
1.     Terasi
Proses pembuatan terasi dilakukan secara fermentasi. Selama fermentasi protein dihidrolisis menjadi turunan-turunannya, seperti pepton, pe[tida dan asam-asam amino. Fermentasi juga menghasilkan ammonia yang menyebabkan terasi berbau merangsang.Di dalam masakan, terasi digunakan sebagai penyedap dan menimbulkan cita rasa.Adapun proses pembutaan terasi adalah sebagai berikut:
1.     Udang rebon atau ikan teri dicuci hingga bersih, kemudian dijemur sampai kering dibawah sinar matahari. Penjemuran dilakukan selama 2-3 hari.
2.     Bahan tersebut kemudian dicampur dengan garam sebanyak 13% fan tepung sambil diremas-remas. Pada terasi bermutu rendah sering ditambahkan bahan-bahan lain supaya volumenya meningkat.
3.     Kedalam campuran ini dtambahkan sedikit air dan diaduk terus menerus sampai membentuk adonan yang kompak dan padat. Adonan ini kemudian dijemur dalam bentuk lempengan-lempangan kecil selama 3-4 hari.
4.     Setelah selesei masa penjemuran, lempengan-lempengan adonan tadi dirtumbuk halus dan diberi sedikit air sampai membentuk adonan yang menggumpal dan kokoh. Adonan tersebut dibungkus dengan dun pisang kering/plastik
2.     Peda
Peda merupakan produk fermentasi dengan bahan baku ikan. Pada umumnya dibuat untuk ikan yang berkadar lemak tinggi. Selama atau pada waktu fermentasi akan terjadi perubahan kimia antara lain proses reaksi pada lemak yang memberikan cita rasa khas. Jenis ikan yang dapat diolah menjadi ikan peda antara ain ikan Kembung, ikan Layang, Selar, ikan Mas, Tawes dan ikan Mujair. Tetapi ternyata hasil yang paling memuaskan adalah ikan Kembung, baik Kembung betina maupun jantan. Sedangkan untuk jenis ikan lainnya memiliki cita rasa yang masih kalah dengan ikan Kembung bila diolah menjadi peda. Berdasarkan pembuatannya dikenal dua jenis peda, yaitu peda putih dan peda merah.Perbedaan tersebut dikarenakan bahan baku yang digunakan.
3.     Bekasam
Bahan baku yang digunakan untuk membuat bekasam pada umumnya adalah ikan air tawar. Proses pengolahan ini umumnya menggunakan bahan-bahan tambahan untuk berhasilnya fermentasi misalnya sumber karbohidrat, dan berjalan anaerobik, karbohidrat tersebut akan diuraikan menjadi gula sederhana dan selanjutnya menjadi alkohol dan asam, basil fermentasi inilah yang akan menjadi bahan pengawet ikan dan juga memberi rasa dan aroma khas. Karbohidrat yang ditambahkan pada umumnya nasi, beras sangrai dan tape ketan.
4.     Petis
Petis merupakan produk mirip kecap, tetapi umumnya lebih kental, dibuat dari pemakatan air rebusan ikan dalam pembuatan pindang atau pembuatan ebi.Petis merupakan bahan makanan yang umunya digunakan sebagai perangsang makanan (bumbu masak) yang sedap, bergizi dan mempunyai nilai yang lebih tinggi.
5.     Kecap ikan
Kecap ikan adalah kecap yang terbuat dari ikan. Adapun proses pembutannya adalah sebagai berikut:
Proses pembuatan Kecap Ikan
1.     Pengolahan ikan segar
Dipilih ikan yang segar yang dapat diperoleh dari berbagai jenis ikan sehingga dapat menggunakan hasil tangkapan yang bernilai ekonomis rendah, daya simpan lama, memiliki cita rasa dan aroma yang enak.
2.     Pencucian dan penyortiran
Dalam tahap ini dilakukan pencucian dan pemisahan antara ikan berukuran besar dan kecil.
1.     Bila menggunakan ikan ukuran  sedang  dan besar,  ikan harus disiangi untuk membuang jeroan, insang dan penghilangan tulang-tulang.  Kemudian ikan dicuci, dibelah dan dipotong-potong berukuran 3-4 cm.
2.     Bila  menggunakan  ikan  berukuran  kecil  (teri)  ikan  cukup  dicuci  dan ditiriskan
3.     Penyusunan  dalam Fermentor
o    Kecap No. 1
      Dasar wadah fermentor ditaburi dengan garam yang telah ditumbuk halus setinggi 0,25 cm, kemudian  ikan  disusun membentuk  satu  lapisan.Di atas  lapisan  ini  ditaburi  lagi  garam  setinggi  0,25  cm  secara  merata, kemudian diatasnya disusun lagi satu lapis ikan. Demikian  seterusnya sampai wadah  penuh.  Garam yang digunakan  adalah  20 % dari  berat ikan karena pada proses penggaraman pada pengolahan ikan akan menyebabkan hilangnya protein ikan sebesar 5% tergantung pada kadar garam dan lama penggaraman, untuk itu dianjurkan garam yang ditambahkan tidak melebihi 40 bagian dari berat ikan artinya pada proses ini setiap 1 kg ikan membutuhkan 200 g garam halus.
o    Kecap No. 2
Ikan-ikan yang belum hancur, dapat ditambahkan garam 5% dari berat ikan semula. Kemudian Dilakukan perlakuan yang sama seperti pada fermentasi kecap no 1.
4.     Penutupan fermentor dan diberi pemberat
Wadah ditutup rapat ini berfungsi agar udara dari luar tidak masuk. Karena ketersediaaan oksigen harus diatur selama proses fermentasi. Hal ini berhubungan dengan sifat mikroorganisme yang digunakan. Untuk bakteri-bakteri penghasil asam tidak membutuhkan oksigen selama proses fermentasi berlangsung.
5.     Proses fermentasi
Disimpan (difermentasi) selama 3-6 bulan. Selama proses fermentasi terjadi hidrolisis jaringan ikan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Peran enzim-enzim ini adalah sebagai pemecah ikatan polipeptida-polipeptida menjadi ikatan yang lebih sederhana.Mikroorganisme yang berkembang selama fermentasi ikan tidak diketahui sepenuhnya.Walaupun demikian diperkirakan jenis-jenis bakteri asam laktat seperti Laucosotic mesenterides, Pediococccus cerevisiae dan Lactobacillus plantarum berkembang.Beberapa jenis khamir juga diperkirakan ikut berkembang dalam fermentasi.
6.     Penyaringan
Setelah  masa  fermentsi  tersebut,  saluran  cairan  pada  bagian  wadah dibuka,  dan ciran yang keluar ditampung  melalui kain saring (2 lapis). Penyaringan berfungsi agar mendapatkan kecap ikan yang jernih bebas dari ampas dan kotoran lainnya.
7.     Pembotolan dan pasteurisasi
Kecap  yang  masih  panas  segera  dimasukkan  ke  dalam  botol,  kemudian ditutup rapat dan diberi label. Proses pasterisasidapat dilakukan dengan cara pemanasan botol. Pasterisasi berfungsi untuk membunuh kuman atau bakteri dari luar yang dapat merusak kualitas kecap ikan (Rahman, 2014)
            Semua produk-produk diatas merupakan hasil fermentasi. Fermentasi merupakan suatu cara pengolahan melalui proses memanfaatkan penguraian senyawa dari bahan-bahan protein kompleks. Protein kompleks tersebut terdapat dalam tubuh ikan yang diubah menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana dengan bantuan enzim yang berasal dari tubuh ikan atau mikroorganisme serta berlangsung dalam keadaan yang terkontrol atau diatur.
Cara fermentasi pada dasarnya hanya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1.     Proses fermentasi yang memungkinkan terjadinya penguraian atau transformasi yang nantinya akan mampu menghasilkan suatu produk dengan bentuk dan sifat yang sama sekali berbeda (berubah) darikeadaan awalnya. Misalnya saja dalam pengolahan terasi, kecap ikan dan ikan peda.
2.     Proses fermentasi yang menghasilkan senyawa-senyawa, secara nyata akan memiliki kemampuan atau daya awet dalam produk yang diolah tersebut, misalnya dalam pembuatan ikan peda. Proses fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses penguraian secara biologis atau semibiologis terhadap senyawa-senyawa komplek terutama protein menjadi senyawasenyawa yang lebih sederhana dalam keadaan terkontrol. Selama proses fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-asam amino dan peptida, kemudian asam-asam amino akan terurai lebih lanjut menjadi komponen-komponen lain yang berperan dalam pembentukan cita rasa produk.
Proses fermentasi ikan yang merupakan proses biologis atau semibiologis padaprinsipnya dapat dibedakan atas empat golongan, yaitu sebagai berikut :
1.     Fermentasi menggunakan kadar garam tinggi, misalnya dalam pembuatan peda, kecap ikan, terasi dan bekasem.Fermentasi garam dapat dibedakan dengan dua cara, yaitu :
2.     Fermentasi dengan cara penggaraman kering, biasanya dilakukan terhadap ikanikan yang mempunyai kandungan lemakrendah.
3.     Fermentasi dengan cara penggaraman basah, yaitu merendam di dalam larutan garam dan cara tersebut biasanya dilakuka terhadap ikan-ikan berlemak tinggi.
4.     Fermentasi menggunakan asam-asam organik, misalnya dalam pembuatan silase ikan dengan cara menambahkan asam-asam propionat dan format.
5.     Fermentasi menggunakan asam-asam mineral, misalnya dalam pembuatan silase ikan menggunakan asam-asam kuat.
6.     Fermentasi menggunakan bakteri, misalnya dalam pembuatan bekasem dan chao teri.
Produk fermentasi yang menggunakan kadar garam tinggi mengakibatkan rasa asin, sehingga sumber protein yang diambil hanya sedikit.Fermentasi menggunakan asam organic belum popular dikalangan nelayan.Cara pengolahan dengan menggunakan prinsip fermentasi yang paling mudah dilakukan adalah proses fermentasi menggunakan bakteri asam laktat.
2.3 Manfaat dan Efek Samping Bioteknologi di Bidang Perikanan
2.3.1 Manfaat
            Bioteknologi telah menciptakan ikan berkarakter genetis khas yang dihasilkan melalui rekayasa gen. Melalui rekayasa gen, dapat diciptakan ikan yang tumbuh cepat, warnanya menarik, dagingnya tebal, tahan penyakit dan sebagainya. Pada tahap pascapanen hasil perikanan, bioteknologi mampu mengubah ikan melalui proses transformasi biologi hingga dihasilkan produk yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Sudah sejak abad 11, manusia sebetulnya menggunakan prinsip dasar ini. Pembuatan pangan seperti peda, kecap ikan, terasi ikan merupakan hasil bioteknologi.
            Ketahanan pangan merupakan isu global yang sekarang sedang ramai dibicarakan. Alasannya jelas, pada tahun 2033 populasi manusia di dunia akan mencapai sektar 12 miliar jiwa. Sebagian besar penduduk tersebut adal di benua Asia. Berdasarkan hal tersebut, diperkirakan pada tahun 2010 kebutuhan pangan penduduk Asia akan melampaui persediaan yang ada.
            Kondisi ini membuat Negara Indonesia harus bekerjakeras memenuhi kebutuhan pangannya, sehingga peristiwa kelangkaan pangan di atas tidak perlu dialami. Langkah pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan sudah mulai terlihat, salah satu komitmennya adalah meningkatkan produksi ikan menjadi tiga kali lipat dari periode sebelumnya.
2.3.2 Dampak negatif
Dalam bidang perikanan, kebutuhan adanya penerapan teknologi sangat dinantikan, mengingat adanya penangkapan ikan yang melebihi potensi lestari (over fishing), banyaknya terumbu karang yang rusak dan dengan adanya peningkatan konsumsi ikan.Menteri Kelautan dan Perikanan, Sarwono mengakui adanya kebutuhan penerapan teknologi, tetapi beliau juga mengakui adanya ketakutan pada dampak penerapan teknologi tinggi.
Penelitian bioteknologi dalam bidang perikanan, di utamakan pada tiga kelompok, yaitu: akuakultur, pemanfaatan produksi alam dan prosesing bahan makanan yang bernilai ekonomi tinggi. Pengembangan bioteknologi di bidang akuakultur meliputi seleksi, hibridasi, rekayasa kromosom dan pendekatan biologi molekuler seperti transgenik sangat dibutuhkan untuk menyediakan benih dan induk ikan.
Pada akuakultur, program peningkatan sistem kekebalan ikan telah dilakukan dengan menggunakan vaksin, imunostimulan, probiotik dan  bioremediasi. Vaksin dapat memacu produksi antibiotik spesifik dan hanya efektif untuk mencegah satu patogen tertentu. Imunostimulan merupakan teknik meningkatkan kekebalan yang non spesifik, misalnya  lipopolysaccharide dan B-glucan yang telah diterapkan untuk ikan dan udang di Indonesia. Probiotik diaplikasikan pada pakan atau dalam lingkungan perairan budidaya sebagai penyeimbang mikroba dalam pencernaan dan lingkungan perairan.
Pada tahun 1980 penelitian transgenik pada ikan telah dimulai dengan mengintroduksi gen tertentu kepada organisme hidup lainnya serta mengamati fungsinya secara in vitro. Dalam teknik ini, gen asing hasil isolasi diinjeksi secara makro ke dalam telur untuk memproduksi galur ikan yang mengandung gen asing tersebut. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan ikan transgenik, yaitu: 1) isolasi gen (clone DNA) yang akan diinjeksi pada telur, 2) identifikasi gen pada anak ikan yang  telah mendapatkan injeksi gen asing tadi,  dan 3) keragaman dari turunan ikan yang diinjeksi gen asing tersebut (Shandy, 2012)
Bioteknologi telah banyak menghasilkan produk untuk meningkatkan kesejahteraanrakyat.Namun, perlu diperhatikan juga dampak negatif dari produk-produk tersebut.Berikut dampak negatif yang mungkin diakibatkan dari produk bioteknologi.
1.     Alergi
            Gen asing yang disisipkan pada organisme yang menjadi makanan manusia dapat menyebabkan alergi pada individu tertentu. Untuk mencegahnya, perlu dilakukan pengujian dalam jangka waktu yang lama.Hal ini dilakukan untuk memastikan ada tidaknya dampak atau efek negatif dari produk tersebut.Selain itu, produk yang mengandung organisme hasil rekayasa genetika harus diberi label dengan jelas guna memberi informasi kepada konsumen mengenai produk yang dikonsumsi.
2.     Hilangnya Plasma Nutfah
            Plasma nutfah atau keanekaragaman makhluk hidup dapat musnah akibat dari perkembangan bioteknologi karena hanya mempertahankan organisme yang unggul saja. Sedangkan organisme tidak unggul akan punah. Hilangnya plasma nutfah dapat ditanggulangi dengan cara melakukan pemeliharaan berbagai jenis hewan dan tumbuhan di suatu situs konservasi tertentu
3.     Rusaknya Ekosistem
            Gangguan terhadap kondisi normal lingkungan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Contohnya adalah tanaman kapas Bt dapat membunuh hama ulat yang memakannya. Namun kapas Bt juga berpotensi menyebabkan larva kupu-kupu lain matiyang merupakan organisme nontarget.


DEMONSTRASI CARA BUDIDAYA CACING SUTERA DESA WUWUR KECAMATAN GABUS Oleh : Riyanto, SP

DEMONSTRASI   CARA BUDIDAYA CACING SUTERA DESA WUWUR KECAMATAN GABUS Oleh : Riyanto, SP BUDIDAYA CACING SUTERA Pendahu...