Berbagai fenomena kelautan di belahan dunia terutama di Samudra Atlantik dan Pasifik telah lama mendapat perhatian para ahli oseanografi dari negara-negara maju. Berbekal kepakaran yang berkualitas dunia, sarana riset yang komplet dan canggih, multi-disiplin, multi-institusi, multinegara, dan dukungan dana yang besar, tabir gelap mengenai fenomena kelautan dan beragam jenis biota penghuninya telah banyak terungkap. Salah satu fenomena kelautan yang tetap aktual untuk dipelajari hingga saat ini adalah proses terjadinya upwelling.
Informasi mengenai upwelling di perairan Indonesia sendiri masih amat sangat terbatas, terutama kaitannya dengan proses recruitment ikan. Untuk mengungkap proses upwelling tersebut baik secara mikro maupun makro dan kaitannya dengan jenis-jenis biota yang berasosiasi dalam proses ini diperlukan kajian yang lebih fokus dan serius.
Berbagai parameter telah digunakan oleh para peneliti oseanografi untuk mendeteksi lokasi upwelling di perairan Indonesia. Parameter yang pertama kali digunakan oleh Wyrtki (1958) dan juga Veen (1960) untuk mendeteksi terjadinya upwelling di Laut Banda dan Selat Makassar adalah dengan menggunakan data suhu dan salinitas air.
Dalam perkembangan selanjutnya (sejak tahun 1969) peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI memperluas parameter yang digunakan, tidak hanya terbatas pada suhu dan salinitas, tetapi juga pengukuran aspek kimia air (kadar fosfat, nitrat, dan silikat), aspek biologi (kadar khlorofil, kelimpahan fito-dan zooplankton), serta kelimpahan jenis-jenis ikan pelagis dengan menggunakan acoustic fish finder.
Bahkan, dalam dekade terakhir telah pula digunakan citra satelit Topex/Poseidon, ERS-1, dan ERS-2 oleh BBPT. Namun, alat ini memiliki keterbatasan dalam memberikan informasi spasial di bawah permukaan laut yang hanya dapat diperoleh melalui observasi langsung. Penelitian mengenai upwelling yang telah dilakukan perlu dikembangkan lebih lanjut dengan memadukan data parameter kimia, plankton maupun biologi perikanan agar diperoleh pemahaman tentang proses yang menyebabkan terjadinya upwelling.
Salah satu parameter biologi yang dapat ditawarkan untuk mengungkap fenomena upwelling di perairan dunia yaitu dengan menggunakan bio-indikator zooplankton kopepoda. Jenis-jenis kopepoda tertentu berasosiasi dengan mekanisme upwelling dan memiliki strategi siklus hidup yang khusus yang disesuaikan dalam kondisi normal maupun ekstrem. Jenis kopepoda upwelling ini terdiri dari autochtbonous (lokal) maupun allochtbonous (pendatang).
Lokasi "Upwelling"
Perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh tipe iklim Muson yang terdiri dari musim barat (Desember-Februari), musim peralihan I (Maret-Mei), musim timur (Juni-Agustus), dan musim peralihan II (September-November). Pada gilirannya tipe iklim ini akan berpengaruh terhadap kehidupan, kekayaan jenis, kelimpahan, sebaran biota maupun sifat-sifat dan fenomena oseanografi yang terjadi, misalnya proses upwelling.
Setidak-tidaknya dikenal ada tujuh lokasi upwelling di perairan Indonesia. Sebagian besar lokasi upwelling ini terletak di Wallace area, yaitu suatu kawasan perairan yang dibatasi oleh garis Wallace di bagian barat dan garis Lydekker di bagian timur (Gambar 1).
Daerah ini dikenal memiliki keanekaragaman jenis dan kelimpahan biota yang tinggi, beberapa jenis di antaranya bersifat unik dan endemik, yang merupakan sumbangan besar bagi keanekaragaman biota global. Selain Selat Makassar dan Laut Banda, upwelling juga terjadi di Laut Seram, Laut Maluku, Laut Arafura, dan perairan utara kepala burung dan perairan timur Papua. Satu-satunya lokasi upwelling di luar kawasan Wallacea adalah di perairan selatan Jawa hingga Sumbawa.
Upwelling adalah proses yang terjadi di arus permukaan yang sangat penting bagi produksi biota planktonik ini dapat terjadi pada waktu tertentu (sekurang-kurangnya dalam hitungan minggu). Seperti diketahui arus air tidak hanya bergerak secara mendatar (horizontal), tetapi dalam beberapa sebab dapat pula bergerak secara menegak (vertikal). Fenomena upwelling akan terjadi apabila angin berembus terus-menerus di sepanjang pantai dengan kecepatan 15-25 knot yang menyebabkan massa air pantai yang bersuhu hangat (28Ý-29ÝC) di permukaan bergerak ke arah laut lepas (Ekman transport).
Kekosongan massa air di permukaan ini selanjutnya diisi oleh naiknya massa air yang lebih dingin (25Ý-27ÝC) dari kejelukan antara 50-300 meter dengan kecepatan 1-5 meter per hari yang kaya unsur hara. Tingginya kadar hara, terutama fosfat, nitrat, dan silikat di permukaan dipadukan dengan intensitas cahaya matahari yang tinggi, akan memacu laju fotosintesa, fitoplankton (plankton nabati).
Selanjutnya fitoplankton ini akan dimakan oleh kopepoda dan zooplankton lainnya yang bersifat plankton feeder yang merupakan pakan utama bagi berbagai jenis ikan pelagis kecil. Semua anggota dari fitoplankton tampaknya digunakan sebagai makanan oleh kelompok kopepoda kecuali cyanobacteria yang pada umumnya tidak disukai, kecuali oleh harpacticoid, Microsetella gracilis yang memakan Trichodesmium yang sungguh dibutuhkan sebagai makanannya. Ketika fitoplankton berlimpah isi perut kopepoda penuh dengan kumpulan sel-sel biota ini sehingga tubuhnya tampak berwarna hijau.
Kopepoda merupakan holoplankton dari kelompok krustasea renik, lebih kecil dari udang dan kepiting, umumnya berukuran 0,5-2 mm. Kopepoda berasal dari bahasa Yunani kope, yang berarti dayung dan podos, yang berarti kaki, yang ditujukan untuk bentuk kaki-kaki renangnya yang pipih melebar. Sebagian besar tubuhnya transparan, beberapa di antaranya berwarna kuning telur, biru, ungu, atau hitam.
Beberapa marga lainnya, misalnya Pleurommama dan Oncaea bersifat luminescence. Mereka dapat ditemukan di berbagai habitat dari perairan tawar sampai ketinggian 5.540 m di pegunungan Himalaya hingga samudra luas dari permukaan hingga lapisan-lapisan bathypelagic dengan kedalaman lebih dari 10.000 m. Kisaran distribusi vertikal ini sekitar dari kisaran maksimum yang mungkin pada permukaan bumi, dari titik terdalam di Palung Mariana ke puncak Mount Everest (20.372 m).
Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa keanekaragaman jenis kopepoda ini lebih besar dari seluruh jenis biota yang ada di laut digabung menjadi satu.
Beberapa jenis kopepoda biasa digunakan sebagai bio-indikator dalam menentukan lokasi upwelling di perairan dunia. Calanus pacificus dan Calanus marshallae merupakan bio-indikator upwelling di perairan lepas pantai California dan Oregon, Amerika Serikat. Dilaporkan bahwa pada saat upwelling sedang berlangsung kelimpahan anakan (kopepodit V) dari jenis ini di permukaan perairan mencapai 26 juta individu per meter kubik, dan kadar fosfat di permukaan air mencapai 2 Ag atom per liter.
Sedangkan Calanus carmatus biasa berasosiasi dengan upwelling di perairan Afrika Utara. Acartia clausi, Acartia longiremis, dan Oithona similis merupakan beberapa jenis kopepoda lainnya yang berasosiasi dengan mekanisme upwelling.
Di perairan Indonesia, dua jenis kopepoda laut dalam yang dikenal sebagai bio-indikator upwelling adalah Calanoides philippinensis dan Rhincalanus nasutus. Pada saat musim upwelling berlangsung, biasanya berawal pada musim timur (Maret-September) stadia dini (nauplius dan kopepodit) dari kedua jenis kopepoda ini sangat melimpah di lapisan permukaan air. Sebaliknya bentuk dewasanya sangat jarang ditemukan.
Mereka menimbun lemak sebanyak mungkin dari fitoplankton, nauplius maupun detritus yang dimakannya untuk pertumbuhan dan cadangan makanan pada saat downwelling. Menjelang berakhirnya musim upwelling, pada saat stok makanan di permukaan mulai menipis, sebagian besar anakan (kopepodit V) dari kedua jenis kopepoda tersebut akan menyelam ke kedalaman 300-500 meter atau lebih.
Di lapisan kedalaman ini, kopepodit V akan beristirahat (resting state), mengurangi metabolisme dan aktivitasnya tanpa makan selama 5-6 bulan dan tetap bertahan sebagai kopepodit V menunggu sampai musim upwelling berikutnya. Ketika musim upwelling tiba kopepodit V ini berenang kembali ke lapisan dekat permukaan untuk menjadi dewasa, kawin dan bertelur. Konsentrasi paling tinggi dari upwelling species, biomassa zooplankton tertinggi dan temperatur air terendah terjadi di bagian barat dan utara Kepulauan Aru.
Strategi mempertahankan siklus hidup yang hampir mirip ditunjukkan oleh Calanus finmarchicus di perairan Atlantik Utara. C finmarchicus adalah omnivora, memakan fitoplankton, krustasea sangat kecil lainnya, dan juga detritus untuk mendapatkan sejumlah besar nitrogen dan fosfor dari sumber ini pada saat blooming di musim semi.
Bahan makanan yang berasal dari jasad hidup alami yang mengandung banyak lemak ini penting sebagai cadangan untuk menyokong hidupnya pada saat menghadapi musim dingin. Pertumbuhan dan reproduksi dari C finmarchicus terjadi pada lapisan samudra ($> 100 meter). Dalam keadaan normal C finmarchicus mempunyai siklus hidup antara 30-50 hari yang meliputi perkembangan enam stadia larva (nauplius I-VI) dan enam stadia juvenil (kopepodit I-VI).
Akan tetapi, dalam keadaan ekstrem (kritis) mereka mengubah strategis siklus hidupnya secara drastis, terutama dalam menghadapi musim dingin yang panjang (masa paceklik). Stadia akhir pra-dewasa (kopepodit V) C finmarchicus akan menyelam dan tinggal dekat dasar atau pada lapisan kedalaman 300-400 meter, mempertahankan hidupnya tetap sebagai kopepodit V tanpa makan selama 6-8 bulan.
Menjelang musim semi kopepodit V dari C finmarchicus ini akan berenang kembali ke lapisan dekat permukaan untuk menjadi dewasa, kawin dan membentuk suatu generasi baru. Di bagian utara dunia yang lebih ekstrem, di Laut Greenland dan Selat Davis, populasi C finmarchicus dalam satu tahun hanya dapat menghasilkan satu generasi saja. Sebaliknya di perairan lebih ke selatan, misalnya pantai timur Amerika Serikat, setidak-tidaknya dalam setahun jenis ini dapat menghasilkan dua generasi.
Konsep lain yang ditawarkan oleh Fleminger (1985) dalam mengamati strategi siklus hidup Calanus pacificus californensis dalam sistem arus California. Pada awal musim gugur hingga musim dingin sebagian besar stadia pra-dewasa (kopepodit V) C p californensis menyelam ke kedalaman 300-400 meter, mengistirahatkan diri tetap dalam stadia kopepodit V dan berpuasa hingga musim dingin berakhir. Menjelang awal musim semi kopepodit V ini berenang ke permukaan untuk menjadi dewasa, sebagian besar persentasenya adalah betina.
Mereka tinggal dekat lapisan permukaan dan menghabiskan musim semi dan musim panas (masa panen) untuk menimbun lemak, tumbuh dan bereproduksi. Setelah musim panas berakhir, kopepodit V dari generasi berikutnya kembali menyelam untuk beristirahat, mengurangi aktivitas dan metabolisme, dan berpuasa sampai musim semi tiba.
Keuntungan dan kerugian
Lokasi upwelling merupakan daerah yang subur dan ideal bagi ikan-ikan pelagis kecil untuk memperoleh pakan, yang pada gilirannya akan dimangsa oleh ikan-ikan yang berukuran besar. Hubungan yang saling berkesinambungan ini menjadikan lokasi upwelling sebagai area yang sangat ideal untuk menangkap ikan (fishing ground).
Lokasi upwelling di perairan lepas pantai California telah lama dikenal sebagai tempat yang baik untuk penangkapan ikan Sardinopsis (dari famili Clupeidae). Tak berbeda jauh di perairan lepas pantai Peru yang menjadi era penangkapan ikan anchovy (dari famili Engraulidae). Di pantai barat Afrika, Sardinella sp. merupakan jenis ikan yang sangat dominan ditangkap.
Meskipun daerah upwelling diakui sebagai tempat yang ideal untuk penangkapan ikan, namun daerah ini juga menjadi tempat peminjahan ikan yang potensial untuk mendukung proses perekrutan ikan tembang, japuh, lemuru (Clupeidae), serta puri atau teri dari kelompok Engraulidae. Proses upwelling akan sangat berguna bagi perekrutan ikan apabila kecepatan angin tidak melebihi 5-6 meter per detik.
Kecepatan angin yang tinggi akan berdampak negatif bagi proses perekrutan. Hal lain yang sangat penting adalah timing (ketepatan atau ketidak tepatan) dalam ketersediaan pakan alami bagi larva ikan tersebut. Maka penangkapan ikan di daerah upwelling harus dipertimbangkan tentang kelestariannya karena penangkapan yang berlebihan (over fishing) akan merugikan secara ekonomi dan biologi.
Pengayaan hara (nutrient enrichment) akibat upwelling juga dapat memicu terjadinya red tide, akibat terjadinya biakan massal populasi fitoplankton tertentu dengan jumlah puluhan juta sel per liter air.
Biakan massal ini dapat merubah warna perairan menjadi merah kecoklatan, hijau kekuningan atau biru kehijauan. Akumulasi konsentrasi dari sel-sel tersebut terletak dari permukaan hingga lapisan kedalaman 2-5 meter.
Secara normatif red tide dapat terjadi karena adanya sumbangan hara dari daratan yang sangat tinggi, perubahan cuaca (El Nino, La Nina?), hujan yang berlebihan, atau kurangnya zooplankton (kopepoda) herbivora yang mengontrol populasi fitoplankton penyebab red tide.
Sedikitnya dikenal ada 20 jenis plankton yang potensial menimbulkan red tide di perairan Indonesia. Pyrodinium bahamense var compressum dan Alexandrium affine merupakan dua jenis plankton penyebab red tide di Teluk Kao dan Teluk Ambon.
Peristiwa red tide menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan dan sumber daya ikan di perairan alami, tambak, serta menghilangnya ikan-ikan dari lokasi penangkapan. Munculnya jenis-jenis plankton red tide akan menimbulkan kematian massal biota laut akibat pengurasan oksigen (anoxious), merusak dan mengganggu sistem pernapasan ikan, dan meracuni lingkungan perairan dan biota laut lainnya.
Sebagai contoh red tide dari Trichodesmium thiebautii (cyanobacteria) di Lampung pada tahun 1991, telah menyebabkan kerugian sekitar Rp 3,5 miliar akibat kematian massal udang windu yang siap panen. Matinya kerang-kerang mutiara di loka budidaya Dobo, Maluku Tenggara, dan kematian ikan sardine di sepanjang Pantai Kuta, Bali, pada tahun 1995, serta kematian massal ikan di perairan Waigeo, Sorong, pada tahun 1996 merupakan beberapa kejadian yang diakibatkan oleh red tide.
Dan, masih banyak lagi kasus-kasus kematian sumber daya ikan akibat red tide di berbagai wilayah perairan Indonesia yang luput dari perhatian.
Di satu sisi, pengayaan nutrien (eutrofikasi) akibat mekanisme upwelling berdampak positif bagi kesuburan suatu perairan dengan terpeliharanya sumber daya perikanan. Di sisi lain, upwelling juga dapat menyebabkan kerugian karena menimbulkan ledakan pertumbuhan (blooming) dari jenis-jenis plankton penyebab red tide.
Pengkajian lebih lanjut mengenai fenomena upwelling dan dampaknya di perairan Indonesia merupakan masalah yang sangat penting, karena masih banyak parameter lainnya yang berhubungan dengan upwelling yang perlu diteliti secara lebih akurat. Pada akhirnya hal ini erat kaitannya dengan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan secara baik dan benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar