Senin, 14 Maret 2016

HISTAMIN


HISTAMIN
Mungkin kita pernah mendengar peristiwa keracunan setelah makan olahan ikan ataupun tentang orang yang alergi terhadap ikan? Dan bagi siapa saja yang gemar makan ikan: pindang, ikan asin, produk olahan ikan tuna atau pun jenis produk olahan ikan lainnya, sangat mungkin pernah mengalami/merasakan adanya rasa gatal terhadap suatu jenis [olahan] ikan yang sedang disantap. DanBismillahirrahmaanirrahiim sedikit share tentang penyebab terjadinya alergi atau adanya rasa gatal/pahit pada ikan yang lebih dikenal dengan nama Histamin  yaitu senyawa yang terdapat pada daging ikan [umumnya dari family scombroid] yang di dalam dagingnya terdapat kadar histidin yang tinggi.  Histamin di dalam daging ikan diproduksi oleh hasil karya enzim yang menyebabkan dan meningkatkan pemecahan histidin dengan melalui proses decarboksilasi (pemotongan gugus karboksil). Meskipun kadar histamin dalam daging ikan sangat bervariasi, namun secara rata-rata untuk ikan dalam family scombroid yang mulai mengalami decompose biasanya mengandung histamin sekitar 10-50 mg/100 gr dan yang tingkat pembusukannya sudah parah sekali maka kadar histaminnya bisa mencapai 1.000 mg/100 gr. 

Gejala keracunan akan muncul apabila kita mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin yang berlebih, yaitu dalam jumlah diatas 70-1000 mg. Adanya kandungan histamin yang tinggi akan mengakibatkan 
muntah-muntah, rasa terbakar pada tenggorokan, bibir bengkak, sakit kepala, kejang, mual, muka dan leher kemerah-merahan, gatal-gatal dan badan lemas. Sekilas gejala keracunan histamin mirip dengan gejala alergi [yang diindikasikan dengan timbulnya rasa mual, pusing, bentol-bentol yang disertain gatal biduren/skin rash], dimana hal tersebut merupakan reaksi penolakan tubuh terhadap zat asing dalam aliran darah] yang dialami oleh orang yang sensitif terhadap ikan atau bahan makanan asal laut. Oleh karena itu biasanya orang sering keliru membedakan gejala keracunan histamin dengan alergi. Sampai saat ini belum pernah dilaporkan adanya kematian akibat keracunan histamin. Meskipun begitu kita harus tetap waspada, karena efek yang ditimbulkannya juga tidak bisa dianggap sepele. Terjadinya gejala keracunan histamin maupun adanya rasa gatal/pahit dari ikan hanya terjadi jika makanan hasil olahan ikan yang dikonsumsi tersebut sudah kadaluarsa atau kualitasnya tidak baik karena komposisi kimiawi [ikan] sudah berubah oleh aktivitas enzim-enzim/mikroorganisme pembusuk dan hal ini hanya akan terjadi ikan yang sudah mulai rusak atau membusuk. 
Berdasarkan penelitian, semua daging ikan yang berwarna gelap mengandung histidin bebas tinggi.  Sebaliknya ikan-ikan berdaging putih, rendah kandungan histidin bebasnya sehngga waktu busuk tidak menghasilkan histamin.  Sedang ikan yang berdaging berwarna medium dapat menghasilkan histamin sampai 10 mg% setelah dibiarkan 48 jam pada suhu 25OC.  Tetapi terdapat anomali pada jenis ikan tuna yang memiliki 2 jenis daging yaitu putih dan yang gelap, justru daging-daging yang putih yang tinggi histaminnya.  Daging yang merah jauh lebih sedikit.  Untuk konsumsi manusia daging merah lebih aman dari daging putihnya itu bila dipandang dari segi histamin.  

Mengapa daging merah justru kecil kandungan histaminnya ? 
Hal itu disebabkan daging merahnya tinggi kandungan TMAO (Trimethyl Amine Oksida) yang berfungsi menghambat proses terbentuknya histamin. Meskipun enzim pemecah karboksil dapat berasal dari daging tubuh ikan sendiri, sebagian besar enzim pemecah tersebut dapat dihasilkan oleh mikroba yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi ikan dari luar, terutama melalui sentuhan tangan yang kotor. Karena itu kadar histamin dalam ikan tuna dapat digunakan sebagai tolok ukur tingkat kontaminasi mikroba [sebelum diolah lebih lanjut]. Dari ratusan jenis bakteri yang telah diteliti ada 3 jenis bakteri yang mampu memproduksi histamin dalam jumlah tinggi dari histidin yaitu :
a.    Proteus morganii
b.    Enterobacteri aerogenes
c.     Clostridium perfringens 

Hampir semua mikroba pembentuk histamin bersifat gram negative dan berbentuk batang, banyak yang berasal dari kontak dengan tangan manusia dan kotoran tinja dan isi usus ikan.  Mikroba dan enzim protease isi perut ikan dapat merembes dari dinding perut ke daging.  Bagian depan tubuh ikan biasanya memiliki kadar histamin paling tinggi, dan terendah di bagian ekor. Ikan-ikan yang telah dibuang jeroannya, rendah kadar histaminnya karena, mikroba usus dan enzim proteolitis yang terdapat dalam rongga perut dapat menembus ke daging.  Pembuangan jeroan pada ikan kecil dianggap kurang praktis.  Untuk menghindari  terjadinya histamin yang tinggi, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan [semoga bisa diaplikasikan dalam sehari-hari] antara lain:

PENGARUH SUHU [ Meningkatnya suhu]
Jumlah histamin yang diproduksi dari histidin, sangat tergantung pada jumlah enzim yang berada di sekitarnya, dan jumlah enzim sangat tergantung pada jumlah bakteri yang hidup dan berkembang biak.  Suhu yang paling baik untuk pertumbuhan mikroba disebut suhu optimum pertumbuhan, sedang suhu terbaik untuk kecepatan reaksi enzim disebut suhu aktivitas optimum. Untuk Proteus morganii suhu optimum aktivitas enzimnya adalah 37OC, sedang suhu optimum pertumbuhan adalah semakin tinggi suhu biasanya semakin cepat reaksi enzimnya, tetapi juga cepat koagulasi dan enzim menjadi inaktif.
Enzim dekarboksilase yang dihasilkan oleh mikroba biasanya sangat peka terhadap suhu yang lebih tinggi dari suhu kamar.  Enzim karboksilase dari Clostridium perfringens kehilangan 25% keaktifannya dalam waktu 10 menit pada suhu 38OC.  Sebagian kegiatan enzim banyak terjadi sebelum tahap precook, selama precook meningkat.
PENGARUH PENANGANAN [Handling tidak tepat]
Ikan-ikan tuna yang tidak segera di-es-kan setlah ditangkap ternyata mempunyai kandungan histamin lebih tinggi dari pada yang dieskan. Yang tidak segera di-es-kan memiliki kadar histamin 2X lipat, Ikan-ikan yang di-es-kan terlambat, sudah tidak memenuhi mutu untuk dikalengkan setelah berumur 5 hari. Karena itu peng-es-an pada ikan [tuna] mutlak sangat perlu, terutama untuk menekan terbentuknya histamin. 
Ikan tuna yang tidak dibekukan dan disimpan pada 0OC akan sudah busuk paling lambat 11 hari.  Sedang ikan yang dibekukan –20OC baru membusuk dalam 15 hari, ikan-ikan beku yang dithawing disimpan pada 0OC akan busuk dalam waktu 12 hari sedang yang dibekukan (sampai) –20OC selama 67 hari akan membusuk dalam waktu 13 hari pada suhu 0OC (thawing). 
Tujuan thawing ialah meningkatkan suhu pusat ikan sehingga mencapai 0OC.  Yang harus diperhatikan saat thawing ikan adalah Waktu yang diperlukan tentu saja tergantung faktor-faktor tersebut diatas serta ukuran ikan.  Semakin lama waktu thawing, semakin tinggi pembentukan kadar histamin. Thawing ikan beku dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu : dengan air yang mengalir, diam (direndam) dan dengan udara (dibiarkan meleleh sendiri) pada suhu kamar. Kadar histamin akan meningkat tergantung cara thawing, waktu thawing, suhu air dan kecepatan aliran air.
Seperti telah diketahui, tuna segar tidak mengandung histamin segar. Histamin terjadi setelah ikan mati dan dibiarkan pada suhu yang cukup tinggi dimana beberapa bakteri dapat tumbuh dan berkembang biak.

Perkiraan [secara sederhana] kadar histamin dapat diperoleh dengan menggunakan skala monograph, yaitu dengan membuat garis yang menghubungkan skala A waktu (jam) dengan skala B suhu (OF). garis tersebut akan memotong skala C kadar histamin (mg/100 gram). Sebagai contoh: bila ikan tuna telah dibiarkan pada suhu 70 OF (42 OC) selama 29 jam maka kadar histaminnya akan mencapai 10 mg/100 gram. Bila dibiarkan 14 jam pada suhu90 OF (54 OC) atau selama 10 jam 100 OF (60 OC) kadar histaminnya juga akan mencapai 10 mg/100 gram. Meskipun kadar histamin tidak selalu sama pada setiap bagian badan , namun produksi kadar histamin tersebut menggambarkan indikasi umum. Biasanya bagian depan ikan lebih tinggi kandungan histaminnya dibanding bagian belakang. Bila ikan tuna sudah mulai membusuk, kandungan histamin rata-rata masih kurang dari 3 mg/100 gram, tetapi kadar histamin bagian depan (belakang kepala ikan) sudah mencapai 1,14 kali lebih besar dari nilai rata-ratanya. Sedang ikan dengan tingkat kebusukan sedang biasanya rata-rata histaminnya telah lebih dari 10 mg/100 gram, sedang bagian depan telah mencapai 1,98 kali lebih besar. Cara prediksi tersebut diperoleh berdasarkan berbagai asumsi yang dianggap mewakili, jadi ada kelemahan-kelemahan yaitu monograph tersebut dibuat dari data-data ikan kecil (4 – 5 pounds) dari satu jenis ikan, dan tiap ikan diinkubasi pada suhu yang tetap. Dari monograph tersebut jelas hubungannya antara suhu dan kebusukan (histamin), semakin tinggi suhu semakin cepat produksi histamin.  Semakin rendah suhu semakin awet dan semakin rendah histamin.
Selain dengan menggunakan monograph, maka bagi konsumen masyarakat pada umumnya juga bisa melakukan deteksi histamin dengan menggunakan uji indera [sensory test] yaitu penglihatan dan perasa untuk mengetahui kadar histamin.  Uji indera ini masih banyak digunakan untuk mendeteksi ikan yang sudah terlalu tinggi kadar histaminnya, yaitu ketika ikan sudah mengalami proses decompose [kemunduran mutu] yang biasa kita kenal dengan istilah ikan [sudah] tidak segar yang bisa dilihat dari ciri-ciri visualnya antara lain: tekstur dagingnya lembek, berbau busuk [bau khas ikan mulai rusak], warna permukaan kulitnya kusam, mata ikan keruh [tidak cemerlang], daging melesek jika ditekan dengan jari, perutnya pecah.

Secara uji indera rasa yaitu dilakukan dengan mencicipi daging ikan, jika terasa pahit atau gatal [yang harusnya tidak ada dalam taste ikan berkualitas baik], maka bisa dikatakan mengandung histamin. Akan tetapi dalam batas kadar histamin yang rendah, penggunaan deteksi uji indera tidak mungkin menjelaskan secara obyektif sehingga sering menimbulkan “debat kusir” karena tingkat kepekaan indra masing-masing orang berbeda. Bisa jadi bagi si A sudah merasakan adanya rasa gatal, namun bagi si B [yang sensitivitas kurang peka] tidak merasakan gatal saat menikmati ikan secara bersamaan. Sehingga untuk hasil yang akurat [umumnya] untuk quality assurance skala produksi harus dilakukan uji histamin secara laboratoris sehingga diperoleh hasil kadar histamin secara kuantitatif [yang lebih obyektif].  Masalah kadar histamin dalam ikan kaleng [tuna] adalah merupakan masalah serius dalam perdagangan international.  

Berbagai negara menetapkan batas maximum (MRL = Maximum Residu Limits) di dalam regulasi perdagangannya. Dan Indonesia mempersyaratkan MRL histamin sebesar 100 mg/100 g [ppm]. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DEMONSTRASI CARA BUDIDAYA CACING SUTERA DESA WUWUR KECAMATAN GABUS Oleh : Riyanto, SP

DEMONSTRASI   CARA BUDIDAYA CACING SUTERA DESA WUWUR KECAMATAN GABUS Oleh : Riyanto, SP BUDIDAYA CACING SUTERA Pendahu...