Lautan
telah lama dikenal sebagai salah satu ekosistem yang paling besar,
paling kompleks dan paling dinamis di dunia. Interaksi antara faktor
fisik, kimia dan biologi yang terjadi di lautan berlangsung sangat cepat
dan terus menerus sehingga amat menentukan kondisi ekosistem yang ada
di lingkungan perairan tersebut. Organisme yang ada harus mampu
beradaptasi, baik secara morfologis maupun fisiologis untuk dapat
bertahan hidup. Selain menjadi habitat bagi organisme, laut juga menjadi
sumber bahan pangan, media transportasi, sumber bahan tambang, sumber
energi, sumber mineral dan obat-obatan yang sangat penting. Adanya
gangguan terhadap lautan dan ekosistemnya baik secara langsung ataupun
tidak langsung akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia.
Salah satu kelompok organisme penyusun ekosistem laut adalah bentos.
Kelompok ini umumnya hidup di dasar perairan dengan melekatkan diri pada
substrat atau membenamkan diri di dalam sedimen. Di perairan sekitar
pantai terutama daerah pelabuhan, banyak ditemukan makrozoobentos yang
hidup melekat pada tiang dermaga, talut penahan abrasi dan bangunan
pemecah ombak. Seringkali, makrozoobentos terutama dari kelompok
Bivalvia hidup menempel (biofouling) pada lunas-lunas kapal.
Menurut Brady et. al (2006), berbagai jenis
tiram, bernakel dan algae yang menempel pada lunas dan baling-baling
kapal akan mengurangi kemampuan manuver kapal dan memperlambat
laju/kecepatan kapal sehingga meningkatkan konsumsi bahan bakar. Hal ini
sangat merugikan pemilik kapal, terutama kapal-kapal berukuran besar
seperti kapal kargo dan tanker yang menghabiskan waktu berbulan-bulan
berlayar di laut lepas. Selain itu, biofouling juga dapat mempercepat
terjadinya korosi pada lunas kapal yang dapat meningkatkan resiko
kebocoran dan mengurangi usia pakai kapal.
Untuk mencegah terjadinya biofouling, sejak
akhir tahun 1960-an telah digunakan cat kapal yang diberi senyawa
antifouling khusus yang dikenal dengan nama Tributyl Tin (TBT).
Senyawa ini sangat efektif membunuh larva maupun hewan penempel dewasa
(Dobson dan Cabridenc, 1990). Penggunaan TBT ini ternyata menimbulkan
dampak negatif bagi ekosistem laut (Walmsley, 2006; Langston, 2006).
Dalam waktu yang tidak lama setelah dimulainya penggunaan TBT sebagai senyawa antifouling, Blaber (1970) dalam Brady et. al.,
(2006), melaporkan bahwa populasi keong Nucella lapillus atau
“dogwhelk” di sepanjang pantai Inggris (UK) mengalami kelainan, di mana
pada hewan betina terbentuk semacam organ penis dan vas deferens.
Beberapa tahun kemudian diketahui bahwa kelainan pada keong tersebut
diakibatkan oleh TBT dan dikenal sebagai Imposex. Hewan betina dan
jantan yang mengalami Imposex tidak dapat bereproduksi sehingga populasi
jenis keong ini di pantai-pantai Inggris menurun secara drastis.
TBT tergolong senyawa yang sangat beracun dan
secara alami sangat sulit diuraikan (resisten). Dengan demikian,
kemungkinan terpaparnya organisme laut yang habitatnya terkontaminasi
oleh TBT akan semakin besar. Bioakumulasi TBT dapat ditemukan di seluruh
jaringan tubuh, organ dan sistem organ dari makrozoobentos yang hidup
di laut. Namun, efek bioakumulasi TBT yang paling berbahaya adalah
kegagalan pada sistem reproduksi karena akan mengakibatkan penurunan
populasi yang diikuti kepunahan spesies dan berujung pada gangguan
ekosistem secara keseluruhan.
Gangguan pada sistem reproduksi seperti
terjadinya imposex akibat bioakumulasi TBT telah banyak diketahui
sehingga menjadi salah satu indikator utama tercemarnya suatu perairan
oleh senyawa organotin. Namun mekanisme fisiologi yang terjadi khususnya
pada sistem reproduksi, sebagian masih menjadi misteri. Berdasarkan hal
tersebut, maka kami mencoba untuk mengkaji efek bioakumulasi TBT
terhadap makrozoobentos khususnya mekanisme fisiologi sistem reproduksi
dari Gastropoda.
Bentos merupakan salah satu kelompok organisme
yang berperan penting dalam ekosistem laut. Berbagai jenis hewan
(zoobentos) dan tumbuhan (fitobentos) yang hidup di dasar perairan
tergolong dalam kelompok organisme ini. Berdasarkan ukurannya, bentos
dibagi menjadi 3 (Mare, 1942; Coull dan Wales 1983 dalam Knox, 2001),
yaitu : mikrobentos (<= 500 µm), meiobentos (500-1000 µm) dan
makrobentos (>=000 µm). Dengan demikian, tumbuhan yang berukuran
besar dan hidup di dasar perairan disebut makrofitobentos dan hewan
berukuran besar yang hidup di dasar perairan di sebut makrozoobentos
(Knox, 2001).
Selain berdasarkan ukurannya, pengelompokan
organisme bentos juga dilakukan berdasarkan tempat hidupnya atau
kemampuan untuk berpindah tempat. Berdasarkan tempat hidupnya, bentos
dibagi menjadi 2, yaitu : jenis bentos yang hidup di permukaan dasar
perairan (epifauna) dan jenis organisme yang hidup dengan mengubur diri
di dalam sedimen atau membuat liang di dasar perairan (infauna).
Sedangkan berdasarkan kemampuan untuk berpindah tempat, hewan bentos
dibagi menjadi 2, yaitu : hewan yang melekat pada substrat (sesil) dan
hewan yang aktif berpindah tempat (motil) (Knox, 2001).
Istilah fouling atau biofouling digunakan
untuk mendeskripsikan pertumbuhan dan akumulasi organisme akuatik yang
hidup pada permukaan benda keras yang dibangun atau dibuat oleh manusia.
Perhatian terhadap biofouling mulai meningkat seiring dengan
disadarinya dampak negatif yang timbul akibat penempelan organisme pada
lunas dan baling-baling kapal, pelampung, pipa, kabel dan bangunan bawah
air lainnya. Sejak pertama kali dibenamkan ke dalam air, permukaan dari
struktur buatan manusia mengalami perubahan seiring waktu akibat dari
pengaruh eksternal yang bervariasi seperti lokasi, musim serta faktor
fisik dan biologi lainnya. Komunitas fouling yang tumbuh pada permukaan
benda buatan manusia yang terbenam juga mengalami proses suksesi hingga
mencapai fase klimaks. Peneliti telah menemukan 2 tahap yang berbeda
dari proses penempelan pada substrat keras. 1). Tahap primer atau tahap
mikrofouling dan 2). Tahap sekunder atau tahap makrofouling (Bortman, et
al. 2003).
Proses fouling pada permukaan substrat keras
(benda buatan manusia) diawali dengan penempelan mikroorganisme terutama
oleh bakteri dan diatom yang tumbuh berlipat kali secara cepat. Bersama
dengan debris dan bahan organik partikulat lainnya, mikroorganisme ini
membentuk lapisan film pada permukaan benda. Tahap ini merupakan tahap
primer dimana mikroorganisme berperan sebagai perintis bagi organisme
penempel berikutnya yang umumnya berukuran lebih besar. Hewan dan
tumbuhan yang selanjutnya menempel pada benda buatan manusia umumnya
berasal dari hewan dan tumbuhan yang secara alami hidup menempel (sesil)
di sekitar lokasi bangunan pada substrat seperti karang dan lain-lain.
Perkembangan komunitas fouling di laut
bergantung pada kemampuan organisme lokal untuk beradaptasi terhadap
kondisi permukaan benda buatan manusia yang menjadi habitat barunya.
Organisme pertama yang menempel pada permukaan benda buatan adalah larva
spesies yang berenang saat benda tersebut terbenam ke dalam air untuk
pertama kalinya. Jenis larva yang ada sangat bergantung pada musim. Di
ketahui, sekitar 2000 jenis hewan dan tumbuhan ditemukan menempel pada
berbagai benda buatan manusia. Namun hanya sekitar 50 – 100 jenis saja
yang umum ditemukan, termasuk bivalvia (tiram dan kerang), bernakel,
anggota phylum Bryozoa, cacing tabung, polychaeta dan tumbuhan dari alga
hijau dan alga coklat (Bortman, et al. 2003).
Pada lunas kapal tanker dan kapal kargo
ditemukan organisme penempel dalam jumlah yang sangat banyak. Pada saat
naik dok, rata-rata biomassa organisme biofouling yang dikerok dari
dinding kapal besar seperti kapal tanker dan kapal kargo dapat mencapai
200 – 400 ton. Tingginya pertumbuhan biofouling ini dipicu oleh
pergerakan kapal yang menghasilkan turbulensi di sekitar lunas kapal.
Adanya turbulensi ini mempercepat sirkulasi arus di sekitar hewan
penempel sehingga makanan berupa plankton yang terbawa arus tersebut
lebih banyak yang mendekat kemudian tersaring oleh organisme penempel
(Railkin, 2005).
Fouling pada lunas kapal mengakibatkan
berkurangnya kecepatan kapal hingga 40 % (Redfield dan Ketchum, 1952
dalam Railkin, 2005). Hal ini menyebabkan naiknya biaya bahan bakar.
Daya hambat bertambah oleh adanya penempelan oleh mikro dan
makrofouling. Dampak yang paling besar diakibatkan oleh makrofouling
yang menyebabkan permukaan kapal menjadi lebih kasar (tidak beraturan)
sehingga meningkatkan nilai daya hambat. Di Russia, berdasarkan stdanar
teknis, kekasaran permukaan lunas kapal tidak boleh melebihi 0.12 mm
hingga 0.15 mm saat kapal dibangun. Kenaikan kekasaran permukaan lunas
kapal sebesar 0,025 mm dapat meningkatkan daya hambat hingga 2,5 % dan
hal ini menyebabkan konsumsi bahan bakar makin meningkat (Gurevich et
al., 1989 dalam Railkin, 2005). Pada beberapa kasus, fouling pada
baling-baling kapal memberikan efek yang lebih drastis terhadap
peningkatan konsumsi bahan bakar dibandingkan dengan biofouling pada
lunas kapal.
Efek negatif lainnya dari biofouling adalah
berkurangnya efektifitas lapisan antifouling. Hal ini diakibatkan oleh
tumbuhnya organisme biofouling terutama dari Phylum Bryozoa yang
membentuk lapisan tebal sehingga menutupi cat yang mengdanung zat
antifouling. Racun yang dikeluarkan oleh organisme tersebut juga akan
mengurangi kemampuan cat antifouling. Selain itu, penempelan oleh
Bryozoa menyebabkan tersedianya substrat bagi organisme lain untuk
menempel pada dinding kapal. Organisme biofouling juga tumbuh pada
jaringan pipa dan memblok lubang pipa tersebut sehingga mempengaruhi
kerja mesin dan manuver kapal. Jenis-jenis organisme yang umumnya tumbuh
di dalam jaringan pipa adalah bivalvia, hydroid, polychaeta, bernacle,
bryozoa dan Ascidians.
Tenggelamnya kapal akibat kegagalan mesin
sering terjadi akibat tertutupnya pipa bahan bakar oleh organisme
biofouling (Bowes 1987 dalam Railkin et al., 2005) . Kondisi di
dalam pipa yang lembab menyebabkan tumbuhnya mikroorganisme terutama
bakteri yang menghasilkan media pertumbuhan yang kental dan kemudian
memblok aliran bahan bakar sehingga mesin kapal mati secara tiba-tiba.
Cuaca buruk dan badai di laut akan menyebabkan kapal tersebut tenggelam.
Efek lain yang berbahaya dari biofouling
adalah penempelan pada sistem pendingin mesin kapal dimana bakteri
memiliki peran utama (Adamson et al.,1984; Charaklis et al. 1984 dalam
Railkin, 2005). Berkembangnya koloni bakteri pada dinding sebelah dalam
dari sistem pendingin mesin kapal akan memicu larva invertebrata untuk
melekat dan mempercepat proses biofouling. Lapisan mikro dan makrofouler
yang terbentuk, bersama dengan sedimen dan bahan yang telah mengalami
perkaratan (korosi) akan berperan sebagai buffer antara air yang berada
di dalam dengan air yang dimasukkan dari laut melalui pompa. Lapisan
biofouler ini akan menahan panas yang seharusnya berpindah ke air laut
yang dipompa tadi sehingga hal ini akan mengurangi efektifitas kerja
dari sistem pendingin mesin kapal. Konsumsi bahan bakar pun lebih besar
sehingga biaya operasional meningkat. Biofouling juga mempercepat proses
perkaratan pada dinding logam dari sistem pendingin mesin kapal
(Railkin 2005).
Semua struktur bangunan dan peralatan yang
berada di laut dan perairan tawar, seperti: pipa minyak, rambu-rambu
navigasi di jalur pelayaran laut, pelampung, penambangan minyak lepas
pantai, berbagai fasilitas pelabuhan dan struktur yang bersifat statis
lainnya tidak lepas dari ancaman biofouling. Hidroid, bernakel, moluska
dan bryozoa umumnya akan menempel pada pipa yang digunakan untuk
mengambil air laut (intake water pipe). Biomassa hidroid yang menempel
dapat mencapai 6 – 10 kg/m2, bernakel dan bivalvia mencapai 9 kg/m2 dan
bryozoa sebesar 2 9 kg/m2. Di daerah temperata, biofouling yang menempel
pada pelampung navigasi dapat mencapai 70 kg/m2 (Yan et al., 1990;
dalam Railkin 2005) dan seringkali menyebabkan tenggelamnya rambu
navigasi tersebut. Biofouling juga sangat berbahaya bagi instalasi
terutama Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang (Usachev, 1990 dalam
Railkin, 2005).
Oganisme penyebab biofouling (fouler) memiliki
kemampuan untuk merusak berbagai jenis material. Hal ini telah diteliti
dengan intensif pada material yang terbuat dari logam, beton dan kayu.
Biokorosi seringkali menjadi penyebab rusaknya bahan material di laut.
Hal ini diakibatkan oleh proses elektrokimia yang terjadi dan aktifitas
biokimiawi dari organisme. Mekanisme perusakan material disebabkan oleh
proses pertumbuhan atau materi yang ada dimakan oleh fouler. Beberapa
fouler terspesialisasi untuk membuat liang pada kayu, jenis yang lain
merusak beton atau bahkan menyerang kerang bernilai ekonomis tinggi yang
sedang dibudidayakan (Railkin, 2005).
Mekanisme korosi bergantung pada heterogenitas
elektrokimiawi organisme dan permukaan logam yang terendam di dalam
larutan elektrolit (air laut) serta proses penyeimbangan kutub anoda dan
katoda (Lyublinskii, 1980 dalam Railkin 2005). Kontak organisme dengan
permukaan logam akan berlangsung secara efektif jika melalui media air
laut (Redfield dan Ketchum, 1952; Ulanovskii dan Gerasimenko, 1963;
Terry dan Edyvean, 1981; Gerchakov dan Udey, 1984; Korovin dan Ledenev,
1990; Lukasheva et al., 1992 dalam Railkin 2005). Mekanisme adhesi yang
spesifik untuk masing-masing organisme, metabolisme dan distribusi logam
umumnya berpengaruh terhadap proses terjadinya korosi. Pada beberapa
kasus, proses adhesi yang kuat pada permukaan logam berlangsung secara
perlahan-lahan dan hal ini menjadikan logam tersebut terlindung dari
korosi. Korosi dapat terjadi secara tersebar (dispersi) atau menyeluruh
(oleh kumpulan organisme sesil yang rapat). Pada kondisi aerobik, agen
yang menjadi medium korosi adalah Thiobakteri dan bakteri heterotrofik
(e.g., Danreyuk et al., 1980; Kwiatkowska dan Wichary, 2001; Kaluzhny
dan Ivanov, 2002 dalam Railkin 2005). Proses korosi yang cepat dari
organisme ini berkaitan dengan proses kimiawi yang melarutkan logam,
beton dan material lainnya (Sdan, 2000 dalam Railkin, 2005). Sebagai
hasilnya, terlihat mikrosite heterogen yang baru dan proses korosi pada
permukaan benda pun berlangsung lebih cepat. Aktifitas oksidasi dari
enzim Thiobakteri sangat tinggi. Laju oksidasi Besi disulfida
beratus-ratus atau beribu-ribu kali lebih tinggi dibdaningkan dengan
oksidasi secara kimiawi (Railkin, 2005).
Destruksi struktur besi di dalam air laut
terkait dengan senyawa sulfur, yang selalu ada dalam air laut dan di
adsorbsi oleh permukaan benda. Reaksi ini melibatkan enzim oksidatif
yang menyebabkan terbentuknya sulfur bebas dan asam sulfur yang
merupakan penyebab utama efek korosi secara mikrobiologis. Mekanisme
Thiobakteri merusak bahan material terjadi melalui proses yang sama.
Bakteri mikrofouler dari genus Achromobacter, Bacillus, Flavobacterium,
Micrococcus, Pseudomonas, dan Vibrio umumnya bersifat heterotrofik
(Gorbenko, 1977 dalam Railkin, 2005). Mekanisme utama dari proses korosi
pada material ini terdiri dari pelepasan eksometabolit yang menciptakan
medium yang agresif pada permukaan benda (Danreyuk et al., 1980; Sdan,
2000; Kwiatkowska dan Wichary, 2001 dalam Railkin, 2005). Eksometabolit
ini berupa asam organik, karbondioksida, hidrogen sulfida, ammonia
peroksida dan enzim-enzim.
Jenis hewan seperti bernakel merusak cat yang
menutupi besi dengan cara bertumbuh di dalam lapisan cat tersebut.
Krustasea muda, dengan cangkang yang tingginya hanya mencapai beberapa
mm dapat merusak 5 lapis cat antifouling yang memiliki ketebalan 0,2 mm
dengan tepi cangkangnya yang tajam (Tarasov, 1961a dalam Railkin, 2005).
Bivalvia dari familia Teredinidae dan Pholadidae tergolong pembor pada
kayu (Nair, 1994 dalam Railkin, 2005). Makanan pokok hewan tersebut
adalah kayu yang dicerna dengan bantuan enzim sellulase (Mann, 1984
dalam Railkin, 2005). Kadang-kadang ditambah dengan substansi yang
mengdanung senyawa Nitrogen yang berasal dari bakteri simbion atau
dengan cara mengabsorbsi asam amino terlarut (Turner, 1984 dalam
Railkin, 2005).
Sejak jaman dahulu, moluska jenis Teredo
navalis dikenal sebagai pembor yang merusak lunas kapal-kapal kayu. Alat
yang digunakan untuk mengebor kayu adalah cangkang yang terdapat pada
bagian depan tubuh. Cangkang tersebut telah mengalami reduksi sehingga
memiliki ukuran yang kecil dan bergerigi tajam pada bagian tepinya yang
berfungsi untuk membuat lubang/liang di dalam kayu. Jenis moluska lain
yang merusak kayu adalah genera genera Bankia, Xylophaga, dan Martesia.
Di pelabuhan, genera ini merusak struktur bangunan dari kayu, kabel
fiber seluloid bahkan merusak beton. Martesia tergolong marga moluska
yang berbahaya karena mampu merusak material kayu yang telah dilapisi
oleh senyawa khusus berupa creosete. Jenis Martesia striata bahkan mampu
mengebor kabel listrik yang sangat terlindung dan bahkan mampu
melarutkan struktur beton sekalipun (Fischer et al. 1984 dalam Railkin,
2005). Kelompok pembor kayu lainnya adalah krustasea dari familia
Limnoriidae dan Chelluridae. Limnoria lignorum ditemukan memakan jamur
mikroskopik dan bakteri heterotrofik yang tumbuh di dalam liang (Boyle
dan Mitchell, 1984 dalam Railkin, 2005). Makanan dari jenis Krustasea
lainnya umumnya relatif sama. Mikroorganisme ini juga hidup dalam
tegumen hewan pembor dan menyebarkan spora ke dalam liang kayu. Dengan
cara ini organisme tersebut “berkebun” fungi dan mikroba. Tidak seperti
Terenid yang mampu merusak kayu secara total hanya dalam beberapa bulan
musim panas, jenis krustasea yang memboring secara cepat relatif jarang
ditemukan. Pada Limnoria, hanya mencapai 2 cm per tahun. Krustasea hanya
membor pada daerah permukaan saja. Dengan perlahan-lahan dalam waktu
beberapa tahun, jenis Krustasea ini akan mampu memboring hingga pada
bagian tengah dari kayu (Railkin, 2005).
Tributyltin (TBT) adalah senyawa organik
turunan dari tetravalent tin. Senyawa ini dicirikan oleh adanya ikatan
kovalen antara atom karbon dengan atom timah dan memiliki rumus umum
(n-C4H9)3 Sn-X (dimana X adalah anion). Kemurnian dari tributyltin oxide
(TBTO) umumnya diatas 96%, sedangkan kelompok Butyltin yang memiliki
konsentrasi lebih rendah adalah senyawa turunan dibutyltin,
tetrabutyltin dan senyawa trialkyltin lainnya (Dobson dan Cabridenc,
1990).
TBT merupakan cairan yang tidak berwarna
dengan bau khas dan kepadatan relatif 1.17 – 1.18. Daya larut dalam air
tergolong sangat rendah berkisar antara <1.0 dan >100
mg/liter, tergantung pada pH, suhu dan anion dalam air (yang menentukan
spesiasi Butyltin). Dalam air laut dengan kondisi normal, TBT dapat
ditemukan dalam 3 bentuk/jenis, yaitu; hidroksida, klorida dan karbonat
yang konsentrasinya berada dalam kesetimbangan. Pada pH 7.0, bentuk yang
dominan adalah Bu3SnOH2+ dan Bu3SnCl, pada pH 8, yang dominan adalah
Bu3SnCl, Bu3SnOH, dan Bu3SnCO3-, sedangkan pada pH di atas 10, bentuk
yang dominan adalah Bu3SnOH dan Bu3SnCO3-.
Senyawa Tributyltin terdaftar sebagai
moluskisida, sebagai antifoulan pada kapal, perahu, karamba, jaring,
pengawet kayu, desinfektan, biosida untuk mesin pendingin, sistem
pendingin pembangkit listrik, pabrik kertas, pabrik fermentasi bir,
pabrik tekstil dan penyamakan kulit. TBT pertama kali dilepaskan ke
pasar dalam bentuk senyawa yang diizinkan. Penggunaan TBT kemudian
berkembang menjadi campuran cat dengan pelarutan yang terkontrol dan
tersedia dalam bentuk matriks ko-polimer. Matriks karet juga ditambahkan
pada cat untuk memperlambat pelepasan TBT ke lingkungan sekitarnya dan
memberikan efek perlindungan yang lebih panjang sebagai cat antifouling
dan moluskisida. TBT tidak digunakan dalam bidang pertanian karena
sifatnya yang sangat toksik bagi tumbuhan (Dobson dan Cabridenc, 1990).
Sebagian besar negara di dunia membatasi
penggunaan cat antifouling yang mengdanung TBT karena memberikan efek
negatif bagi kerang. Aturan yang ditetapkan tiap-tiap negara bervariasi,
namun sebagian besar negara melarang penggunaan cat yang mengdanung TBT
untuk kapal yang berukuran kurang dari 25 meter. Beberapa negara tetap
mengizinkan penggunaan cat ini khusus untuk kapal yang memiliki lunas
dari alumunium. Sebagai tambahan, beberapa aturan hanya terbatas untuk
cat yang memiliki laju pelarutan 4 atau 5 µg/cm2 per hari (Dobson dan
Cabridenc, 1990).
Kandungan TBT yang tinggi di dalam air,
sedimen dan biota telah ditemukan pada lokasi yang dekat dengan
aktifitas kapal terutama di daerah pelabuhan, marina, tempat sdanar
kapal, dok kering, jaring, karamba dan mesin pendingin. Kondisi
pasang-surut dan turbiditas dari air juga mempengaruhi konsentrasi TBT.
Konsentrasi TBT umumnya mencapai 1.58 µg/liter
di air laut dan estuari, 7.1 µg/liter di air tawar, 26.300 µg/kg di
sedimen pantai, 3.700 µg/kg di sedimen air tawar, 6,36 mg/kg di tubuh
bivalvia, 1,92 mg/kg di tubuh gastropoda dan 11 mg/kg di dalam tubuh
ikan. Namun, konsentrasi maksimum ini tidak secara representatif
mewakili keseluruhan kondisi di tiap-tiap negara di dunia karena metode
sampling yang berbeda. Demikian pula data yang lama (1970-1990) sudah
tidak dapat dibdaningkan dengan data yang baru mengingat adanya
perkembangan metode analisis TBT di air, sedimen dan jaringan tubuh
organisme (Dobson dan Cabridenc, 1990).
TBT bersifat toksik pada organisme dan telah
digunakan secara komersial sebagai bakterisida dan algisida. Konsentrasi
TBT yang mengakibatkan efek toksik pada organisme bervariasi menurut
spesies. TBT lebih toksik pada bakteri gram positif (dengan KMI =
konsentrasi minimal inhibitor = 0,2-0,8 mg/L) dibdaningkan dengan gram
negatif (dengan KMI = 3 mg/L). KMI TBTO Asetat untuk jamur adalah :
0,5-1 mg/L dan pada alga hijau Chlorella pyrenoidosa sekitar 0.5 mg/L.
Produktifitas primer komunitas alami alga di perairan tawar akan
berkurang sebesar 50% pada konsentrasi TBTO 3 µg/L. Saat ini kategori
pengamatan dalam bentuk nilai no-observed-effect level (NOEL) untuk 2
jenis alga adalah 18 dan 32 µg/L. Derajat toksisitas untuk
mikroorganisme laut juga bervariasi menurut spesies dan metode studi
yang dilakukan. Namun nilai NOEL sangat sulit untuk ditetapkan tetapi
kemungkinan berkisar di bawah 0,1 µg/L. Konsentrasi Algisidal yang ada
bervariasi antara < 1,5 µg/L hingga > 1000 µg/L untuk
spesies yang berbeda (Dobson dan Cabridenc, 1990).
TBT tergolong senyawa yang sangat sulit
terdegradasi di alam. Namun pada beberapa kondisi lingkungan tertentu,
diketahui bahwa TBT dapat diuraikan menjadi senyawa yang lebih
sederhana. Umumnya TBT lebih cepat terdegradasi pada kondisi lingkungan
yang ekstrim dan berlangsung terus menerus. Adanya kondisi-kondisi
tertentu yang harus dipenuhi oleh faktor lingkungan inilah yang
menyebabkan TBT sangat lambat terurai di alam di samping karakter TBT
itu sendiri yang memiliki daya larut dan sifat lipofilik yang rendah
(Dobson dan Cabridenc, 1990).
Sebagai hasil dari kelarutan dan karakter
lipofilik yang rendah, TBT di adsorbsi ke dalam partikel. Dari sejumlah
TBT yang masuk ke dalam sistem perairan, sekitar 10% hingga 95% dari
senyawa tersebut akan bergabung dengan partikulat melalui proses
adsorbsi. Berkurangnya kandungan TBT dari dalam air bukan disebabkan
oleh proses desorbsi tetapi melalui proses degradasi. Kemampuan adsorbsi
bergantung pada salinitas, faktor fisik lingkungan, ukuran partikel
tersuspensi, jumlah materi tersuspensi, suhu dan ada tidaknya bahan
organik terlarut (Dobson dan Cabridenc, 1990).
Degradasi TBTO terjadi karena pemutusan ikatan
karbon-timah. Hal ini dapat terjadi melalui berbagai mekanisme yang
terjadi secara terus menerus di alam, termasuk mekanisme fisik-kimiawi
(hidrolisis dan fotodegradasi) dan mekanisme biologis (degradasi oleh
mikroorganisme dan metabolisme oleh organisme tingkat tinggi). Proses
hidrolisis senyawa organotin terjadi di bawah kondisi pH yang ekstrim
yang jarang terjadi di alam (Dobson dan Cabridenc, 1990).
Fotodegradasi dibuktikan melalui eksperimen di
laboratorium dimana senyawa TBT di sinari dengan cahaya UV pada panjang
gelombang 300 nm hingga 350 nm. Pada kondisi sebenarnya, fotolisis
terbatas oleh panjang gelombang yang dipancarkan oleh cahaya matahari
dan dibatasi oleh penetrasi gelombang UV yang masuk ke dalam perairan.
Kehadiran bahan yang sensitif terhadap cahaya dapat mempercepat
terjadinya fotodegradasi (Dobson dan Cabridenc, 1990).
Biodegradasi bergantung pada kondisi
lingkungan seperti suhu, oksigenasi, pH, jumlah kandungan mineral, ada
tidaknya materi organik yang mudah terdegradasi untuk membantu
metabolisme, serta kehadiran mikroflora beserta kemampuannya untuk
beradaptasi. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah konsentrasi TBT
dalam keadaan lebih rendah dibdaningkan dengan daya tahan bakteri
terhadap zat toksik (LC) (Dobson dan Cabridenc, 1990).
Sebagaimana pada proses degradasi abiotik,
penguraian TBT secara biotik juga terjadi melalui pemutusan ikatan
Karbon-Timah yang diakibatkan oleh debutilisasi oksidatif yang
berlangsung intensif. Sebagai hasilnya adalah Dibutil yang lebih mudah
terdegradasi dibdaningkan Tributil. Monobutiltin akan mengalami proses
mineralisasi secara lambat. Degradasi anaerobik seringkali terjadi,
namun tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap laju penguraian
Monobutiltin. Berbagai jenis bakteri, algae dan jamur pendegradasi kayu
diketahui memiliki kemampuan untuk mendegradasi TBTO. Waktu paruh TBT di
alam sangat bervariasi dan bergantung pada kondisi lingkungan (Dobson
dan Cabridenc, 1990). Meskipun beberapa oranisme dapat mendegradasi TBT,
namun kerusakan yang ditimbulkan TBT bersifat irreversible (Hyeon Seo
Cho et al 2005).
Moluska memiliki bentuk tubuh simetris
bilateral, rongga dalam tubuh (coelom) umumnya terbagi menjadi 2 ruang,
yaitu: bagian pertama (pericardial chamber) berupa ruang yang berisi
organ hati, gonad, nephridia/ginjal dan bagian kedua (perivisceral
coelom) memuat organ pencernaan seperti usus. Kedua rongga tersebut
membentuk suatu sistem sirkulasi terbuka. Tubuh gastropoda dapat
dibedakan menjadi 3 bagian utama, yaitu: kepala, kaki dan sistem
pencernaan (massa visceral). Kepala terdiri dari berbagai organ sensorik
seperti mata, statocyst (organ yang mengatur keseimbangan) serta
tentakel yang berperan untuk mendeteksi mangsa. Tubuh Gastropoda juga
diselubungi oleh suatu lembaran kulit epidermal-kutikular tebal yang
disebut mantel atau pallium dan memiliki peran yang vital dalam
mengorganisasi tubuh. Mantel mengeluarkan calcareous suatu senyawa yang
sifatnya keras dan digunakan untuk menyusun cangkang dalam, cangkang
luar atau semacam struktur berbentuk lempeng untuk pertahanan diri.
Bagian tubuh lainnya yang berukuran sangat besar adalah sekumpulan otot
yang membentuk kaki perut (ventral foot) (Ghiselin, M. T., 2005).
Di bagian belakang Gastropoda terdapat ruangan
yang terbentuk dari mantel dan massa visceral yang disebut mantel
cavity/pallial cavity. Rongga ini memuat insang atau ctenidium, ginjal
(nephridia), sistem reproduksi dan organ sensorik epitel khusus yang
disebut Osphradia. Air yang masuk ke dalam rongga tersebut akan melalui
ctenidia, ginjal, anus dan lain-lain. Gastropoda memiliki semacam lidah
atau gigi yang disebut gigi radula. Fertilisasi pada gastropoda dapat
terjadi secara eksternal dan internal. Tubuh gastropoda (body wall)
tersusun atas tiga lapisan, yaitu: kutikula, epidermis dan otot.
Kutikula tersusun dari asam amino dan chonchin (sclerotized protein).
Epidermis tersusun dari selapis sel berbentuk kuboid atau kolumnar
dengan banyak silia. (Brusca, 2002).
Organ yang menyusun sistem pencernaan pada
Gastropoda meliputi : mulut, gigi radula, esophagus, lambung, usus,
kelenjar pencernaan dan berakhir di anus . Organ respirasi utama adalah
ctenidium (insang) yang berhubungan langsung dengan sistem peredaran
darah. Pertukaran O2 dan CO2 terjadi melalui ctenidium. Darah yang kaya
akan O2 selanjutnya masuk ke jantung dan diedarkan ke seluruh tubuh.
Sistem ekskresi utama adalah ginjal. Sedangkan sistem reproduksi
meliputi oviduk, gonad , seminal receptacel (tempat berlangsungnya
fertilisasi) pada betina dan vas deferens, penis serta testis pada
jantan (Brusca, 2002).
Kelimpahan dan keanekaragaman jenis gastropoda
merupakan bagian yang sangat penting dari jaring-jaring makanan dimana
gastropoda berperan sebagai herbivor, carnivor, omnivor atau detritivor
(scavenger). Beberapa jenis gastropoda bersifat parasit. Jenis lainnya
terspesialisasi untuk memanfaatkan makanan dari bahan yang keras dan
sulit dicerna seperti kayu dan lain-lain. Jenis gastropoda yang besar
seperti Charonia tritonis sangat berperan dalam mengontrol laju populasi
bintang laut bulu seribu Acanthaster planci yang dapat merusak terumbu
karang (Brusca, 2002).
Sistem reproduksi hewan bentos seperti moluska
umumnya terjadi melalui fertilisasi eksternal. Namun, beberapa spesies
diketahui melakukan pembuahan melalui fertilisasi internal. Moluska
umumnya memiliki sepasang gonad atau sepasang organ reproduksi akan
tetapi hanya satu gonad saja yang berkembang.
Pada gastropoda, salah satu dari sepasang
gonad akan menghilang dan gonad yang lainnya akan menggulung bersama
dengan massa visceral. Saluran gonad selalu berkembang dari nefridium
kanan. Jika nefridium kanan masih berfungsi untuk membawa hasil ekskresi
seperti ditemukan pada ordo Archaeogastropoda, maka saluran gonad
tersebut dikenal dengan nama saluran urogenitalia karena bersama-sama
digunakan untuk mengeluarkan urine dan gamet. Sebagian besar gastropoda
memiliki organ kelamin jantan dan betina yang terpisah (dioecious).
Adapula individu yang bersifat hermafrodit (dimana organ kelamin jantan
dan betina berada dalam satu individu). Namun hanya satu gonad saja
(ovotestis) yang masih tersisa (Brusca, 2002).
Pada kebanyakan gastropoda, sistem reproduksi
terisolasi dimana organ reproduksi betina dilengkapi dengan silia atau
struktur serupa tabung yang membentuk vagina dan oviduk (pallial duct).
Tabung tersebut berkembang ke arah dalam dari dinding mantel dan
berhubungan dengan saluran genital. Oviduk dapat pula terspesialisasi
membentuk kantong penyimpan sperma atau saluran untuk mengeluarkan
telur. Sebuah kantung yang disebut seminal receptacle terletak di
sekitar ovarium pada akhir saluran oviduk. Telur akan dibuahi di kantung
ini sebelum memasuki saluran sekretori oviduk yang panjang. Pada
gastropoda betina, juga ditemukan semacam kantung untuk kopulasi
(copulatory bursa) yang terletak pada akhir saluran oviduk dimana sperma
diterima saat terjadi perkawinan (mating). Sperma yang masuk akan
melalui sebuah saluran sempit bersilia dalam oviduk dan tiba di seminal
receptacle dimana akan terjadi fertilisasi internal. Kelenjar sekretori
pada oviduk mengalami modifikasi membentuk kelenjar yang menghasilkan
albumin dan sebuah kelenjar mukosa. Kebanyakan gastropoda dari Subkelas
Opistobranchia mengeluarkan telur yang telah dibuahi ke lingkungan
perairan dan meletakkannya pada struktur seperti jelly yang terbuat dari
mukopolisakarida atau semacam serabut/benang-benang yang sangat halus
yang dihasilkan oleh kelenjar sekretori (Brusca, 2002).
Pada gastropoda yang memproduksi selubung,
kapsul atau cangkang telur, individu jantan umumnya memiliki penis
sebagai alat untuk mentransfer sperma (spermatofor). Fertilisasi
internal kemudian terjadi sebelum selubung telur terbentuk. Penis
gastropoda berasal dari dinding tubuh yang berkembang memanjang dan
muncul dibelakang tentakel kepala bagian kanan. Saluran genital jantan
disebut vas deferens termasuk kelenjar prostat yang berfungsi
menghasilkan cairan semen (seminal). Pada kebanyakan moluska, daerah
awal dari saluran oviduk berfungsi sebagai tempat untuk menampung atau
menimpan sperma yang disebut juga seminal vesicle (Brusca, 2002).
Hermafrodit simultan dan Hermafrodit
sekuensial umum ditemukan pada gastropoda. Pada saat kopulasi, salah
satu individu berperan sebagai jantan dan individu yang lain sebagai
betina atau kedua individu gastropoda tersebut saling bertukar sperma.
Pada gastropoda yang bersifat sesil seperti limpet, tipe yang sering
ditemukan adalah hermafrodit protandri. Pada Crepidula sp, sejenis
gastropoda yang bersifat hermafrodit, sekelompok individu akan bergerak
naik pada saat musim kawin dan bertumpuk di atas individu lainnya yang
menempel pada substrat. Individu yang berada di atas merupakan jantan
dan yang di bawah merupakan betina. Setiap individu Crepidula sp jantan
tersebut akan menggunakan penisnya yang panjang untuk membuahi betina
yang ada dibawahnya. Peran jantan dan betina ini umumnya terus
berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Jika sekelompok Crepidula sp
jantan hidup dalam komunitas yang terisolasi, maka akan ada beberapa
individu yang mengalami perubahan organ kelamin menjadi betina. Jika
telah mengalami perubahan maka individu tersebut tidak akan dapat
berubah kembali menjadi jantan karena organ reproduksi jantan yang
dimiliki sebelumnya telah mengalami degenerasi (Brusca, 2002).
Reproduksi pada dasarnya merupakan suatu upaya
dari individu atau kelompok organisme untuk beradaptasi terhadap
kondisi lingkungan dalam jangka waktu yang panjang atau untuk
melestarikan spesiesnya. Pada beberapa jenis hewan tingkat rendah yang
berumur pendek, perubahan kondisi lingkungan yang datang dengan
tiba-tiba (ekstrim) seperti peningkatan suhu secara drastis akan
menimbulkan stress. Kondisi tersebut akan merangsang individu yang
tertekan untuk segera bereproduksi (melepaskan gamet) guna melestarikan
spesiesnya. Dengan demikian, faktor lingkungan berperan penting dalam
sistem reproduksi pada organisme laut, termasuk gastropoda. Adanya
kondisi lingkungan yang bervariasi juga menyebabkan timbulnya strategi
yang berbeda-beda dari setiap jenis gastropoda untuk bereproduksi.
Gastropoda memiliki cara bereproduksi yang
bervariasi. Umumnya jantan dan betina terpisah (dioecious) dan terdapat
pada individu yang berbeda. Namun ada pula jenis gastropoda yang
memiliki organ kelamin jantan dan betina sekaligus dalam satu individu.
Fenomena ini disebut hermafrodit (hermaphrodite). Berdasarkan waktu
matangnya gonad, hermaphrodite dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
Hermafrodit Sinkroni (Simultan) di mana sperma dan ovum matang pada saat
yang sama (tanpa memperhatikan apakah individu tersebut dapat membuahi
dirinya sendiri atau tidak) dan Hermafrodit Metagoni
(beriring)/Sekuensial dimana fase jantan dan betina dalam satu individu
terjadi secara berurutan (tidak bersamaan). Berdasarkan awal urutan
jenis kelamin yang muncul, maka Hermafrodit Metagoni dibagi menjadi dua,
yaitu: Hermafrodit Protandri dimana individu gastropoda awalnya
berjenis kelamin jantan kemudian berubah menjadi betina dan Hermafrodit
Protogini dimana individu gastropoda awal mulanya berjenis kelamin
betina kemudian berubah menjadi jantan. Pada gastropoda, Hermafrodit
Protogini lebih umum ditemukan dibdaningkan dengan Hermafrodit Protandri
(Sjafei et al. 1992).
Mekanisme reproduksi lainnya yang kemungkinan
juga ditemukan pada gastropoda adalah Gonochorisme dimana suatu individu
memiliki gonad yang belum terdiferensiasi dengan sempurna sehingga
tidak dapat digolongkan sebagai jantan, betina atau kedua-duanya.
Berdasarkan proses perkembangan gonadnya, gonochorisme dibagi menjadi 2,
yaitu: Gonochorisme berdiferensiasi jika gonad yang awalnya tidak
diketahui jenisnya langsung berubah (berkembang) menjadi testis (jantan)
atau ovum (betina) dan Gonochorisme tidak berdiferensiasi, jika gonad
yang awalnya tidak diketahui jenisnya tersebut terlebih dahulu
berkembang menjadi gonad yang menyerupai ovarium lalu kemudian gonad
tersebut setengahnya berkembang menjadi jantan dan yang setengahnya lagi
berkembang menjadi betina.
Mekanisme reproduksi lainnya yang belum dapat
dipastikan keberadaannya pada gastropoda, namun ditemukan pada ikan dan
serangga adalah Partenogenesis (gynogenesis), yaitu suatu keadaan dimana
terjadi kemunculan individu baru tanpa melalui proses fertilisasi.
Kehadiran individu jantan tidak diperlukan. Namun, jika terjadi
perkawinan, maka sperma tidak terlibat dalam hereditas dan hanya
berfungsi merangsang perkembangan telur saja. Akibatnya individu yang
muncul selalu betina. Materi genetik pada individu yang baru muncul
diwariskan secara langsung dari induknya (Sjafei et al. 1992).
Pada gastropoda sel-sel germinal (sel-sel
kelamin) dibentuk dan berkembang di dalam gonad. Perubahan bentuk dari
sel primordial jantan (spermatogonia) menjadi spermatozoa terjadi di
testis dan disebut spermatogenesis. Mula-mula spermatogonia berubah
bentuk dan berkembang menjadi spermatosit primer. Kemudian membelah
secara meiosis menjadi dua sel anak yang disebut spermatosit sekunder.
Selanjutnya, spermatosit sekunder mengalami pembelahan meiosis yang
kedua membentuk spermatid yang memiliki jumlah kromosom yang haploid.
Sebagaimana halnya dengan spermatogenesis, di
ovarium juga terjadi pembentukan oosit yang berasal dari sel germinal
oogonia dan disebut oogenesis. Oosit akan mengalami proses penimbunan
kuning telur yang nantinya akan menjadi cadangan makanan bagi embrio
yang baru terbentuk. Ovarium juga mengeluarkan hormon steroid estrogen
termasuk 17β-estradiol yang merangsang hati untuk membentuk vitellogenin
yang menjadi prekursor pembentukan kuning telur. Kuning telur akan
dibentuk oleh sel-sel follikel ovarium. Proses pembentukan vitellogenin
disebut vitellogenesis. Menurut Matty (1985), testoteron memicu
perkembangan ciri kelamin sekunder jantan pada hewan betina dan
17β-estradiol memicu perkembangan ciri kelamin sekunder betina pada
hewan jantan. Sedangkan Cammack (2006), menyatakan bahwa enzim CYP19
aromatase merupakan senyawa yang berperan besar dalam mengkonversi
testoteron menjadi estradiol. Mutasi gen CYP19 dapat menyebabkan
defisiensi enzim aromatase yang mengakibatkan kandungan testoteron
meningkat drastis. Hal ini akan menyebabkan pseudohermaphroditisme atau
imposex pada betina.
Bioakumulasi TBT dalam tubuh organisme terjadi
karena sifat TBT yang mudah larut dalam lemak. Faktor Biokonsentrasi
yang mencapai 7000 kali konsentrasi TBT di perairan telah ditemukan
dalam skala laboratorium. Berbagai jenis moluska dan ikan yang memiliki
nilai ekonomis tinggi dan hidup di alam telah dilaporkan terkontaminasi
TBT. Mekanisme masuknya senyawa TBT melalui makanan lebih berpengaruh
terhadap bioakumulasi TBT dalam tubuh organisme dibdaningkan dengan
masuknya senyawa tersebut melalui air. Faktor konsentrasi TBT dalam
tubuh mikroorganisme (antara 100 hingga 30.000 kali) dapat menggambarkan
besarnya konsentrasi senyawa yang masuk melalui proses adsorbsi
dibdaningkan dengan pengambilan langsung melalui dinding sel. Belum ada
bukti yang menunjukkan terjadinya transfer senyawa TBT dari organisme
perairan menuju ke organisme darat melalui rantai makanan.
TBT di absorbsi melalui saluran pencernaan
(20-50% tergantung medianya) dan melalui kulit mamalia (sekitar 10 %).
Pada mamalia, TBT dapat ditransfer dari peredaran darah ibu ke janin
bayi. Absorbsi TBT berlangsung cepat dan disebarkan ke seluruh jaringan
dimana sebagian besar senyawa tersebut akan terakumulasi di hati dan
ginjal. Metabolisme TBT pada mamalia berlangsung cepat dimana metabolit
akan terdeteksi di aliran darah 3 jam dalam waktu 3 jam sejak pemberian
TBT. Studi in vitro menunjukkan bahwa TBT adalah substrat bagi enzim
oksidase yang memiliki berbagai fungsi. Namun enzim ini akan mengalami
hambatan jika konsentrasi TBT terlalu tinggi. Laju penurunan konsentrasi
TBT berbeda-beda pada tiap-tiap jaringan dan pada mamalia waktu paruh
biologis dari konsentrasi TBT berkisar antara 23 hingga 30 hari.
Metabolisme TBT juga ditemukan pada organisme tingkat rendah dengan laju
yang lebih lambat terutama pada Moluska. Dengan demikian kapasitas
bioakumulasi akan lebih besar pada moluska dibdaningkan dengan mamalia.
Senyawa TBT memiliki kemampuan untuk menghambat proses fosforilasi
oksidatif dan mengubah struktur dan fungsi mitokondria. TBT juga
diketahui menghambat proses kalsifikasi cangkang terutama pada tiram
Crassostrea sp (Dobson dan Crabidenc, 1990).
Penelitian tentang distribusi konsentrasi
senyawa organotin seperti butyltin dan phenyltin dalam berbagai jaringan
dan organ dari Keong Gading Babylonia japonica menggunakan GC-FPD di
teluk Yodoe Tottori Jepang telah dilakukan (Horiguchi et al. 2003). Dari
hasil penelitian tersebut diketahui bahwa akumulasi TBT untuk
masing-masing organ menunjukkan nilai yang berbeda. Akumulasi TBT
ditemukan pada ctenidium (insang), osphradium serta jantung dari keong
jantan dan betina. Sedangkan konsentrasi tertinggi dari TPhT
(Triphenyltin) pada keong betina ditemukan di ovarium dan pada jantan
ditemukan di kelenjar pencernaan (Horiguchi et al., 2006).
Berdasarkan jumlah kandungan TBT yang
terakumulasi di tubuh B. japonica lebih dari sepertiga TBT yang
terakumulasi di kelenjar pencernaan, baik pada jantan maupun betina.
Konsentrasi TBT kemudian secara berturut-turut menurun pada testis,
ctenidium (insang), otot dan jantung pada jantan serta otot, ovarium,
ctenidium, dan kepala (termasuk dalam susunan syaraf pusat) pada betina.
Untuk kandungan TphT, sekitar tigaperempat dari total TPhT terakumulasi
di kelenjar pencernaan pada jantan dan satu setengah kali pada betina.
Organ berikutnya yang memiliki akumulasi TPhT yang tinggi adalah gonad
pada jantan dan betina, diikuti oleh otot, ctenidium dan jantung pada
jantan serta otot, oviduk, dan kepala pada betina.
Tingginya akumulasi TBT dan TPhT di kelenjar
pencernaan kemungkinan mengindikasikan adanya proses metabolisme kedua
senyawa tersebut dengan melibatkan beberapa enzim. Kandungan relatif
butyltin dan phenyltin di kelenjar pencernaan dapat digunakan untuk
mengukur kemampuan dari Babylonia japonica dalam memproses TBT dan TPhT.
Rasio TBT terhadap total tributyltin pada kelenjar pencernaan ditemukan
lebih tinggi pada Babylonia japonica dibdaningkan dengan T. clavigera.
Hal ini kemungkinan menunjukkan kemampuan metabolisme yang lebih rendah
dari Babylonia japonica dalam memproses zat tersebut (Horiguchi et al.
2003).
Kemampuan menguraikan TBT berbeda pada
tiap-tiap spesies, sedangkan kemampuan menguraikan TPhT umumnya rendah
pada hampir semua spesies. Dari sisi biologis dan ekologis, waktu paruh
TBT dan TPhT pada T. clavigera berturut-turut berkisar antara 22 hari
dan 347 hari. Waktu paruh biologis diperkirakan antara 50 hari hingga
> 100 hari pada Nucella lapillus bergantung pada kondisi
lingkungan. Kandungan TBT dan TPht yang relatif tinggi pada jaringan
ditemukan dalam sistem reproduksi (ovarium, oviduk, testis) dan kepala
(termasuk sistem syaraf pusat), otot dan jaringan di sekitar mantel
seperti ctenidium, siphon dan jantung. Pola akumulasi yang sama juga
ditemukan pada T. clavigera. Namun, perbedaan pola yang jelas ditemukan
pada Ocinebrina erinacea dimana setengah dari kandungan TBT yang ada
didalam tubuhnya ditemukan pada capsule gldans. Hal ini menunjukkan
adanya perbedaan pola akumulasi senyawa organotin di antara
spesies-spesies gastropoda.
Konsentrasi TBT dan TPhT pada sistem syaraf T.
clavigera relatif tinggi. Namun secara keseluruhan, kandungan seyawa
organotin dalam spesies tersebut tergolong rendah karena ukuran sistem
syaraf dari spesies tersebut relatif kecil . Fakta ini mugkin juga
berlaku untuk Babylonia japonica dalam studi ini. Konsentrasi TBT dan
TPhT yang sama juga ditemukan pada ganglia Buccinum undulatum. Nishikawa
et al. (2004) dalam Horiguchi (2006) mendiskusikan kemungkinan adanya
peran TBT dan TPhT dalam memicu terjadinya imposex pada gastropoda.
Nishikawa et al. (2004) juga menyatakan bahwa pada manusia, senyawa
organotin (TBT dan TPhT) akan berikatan dengan hRXRs (human retinoid X
receptors) dengan afinitas yang tinggi. Injeksi 9-cis asam retinoid
(RA), ligan alami dari hRXRs ke dalam tubuh T. clavigera memicu
timbulnya imposex. Kloning RXR (retinoid X receptors) yang homolog dari
T. clavigera menunjukkan bahwa ikatan ligan RXR dari keong tersebut
sangat mirip dengan RXR vertebrata dimana reseptor tersebut berikatan
dengan 9-cis asam retinoid (RA) dan senyawa organotin. Kanyataan ini
menunjukkan bahwa RXR berperan penting dalam memicu perkembangan imposex
, proses diferensiasi dan pertumbuhan organ genital jantan pada
gastropoda betina.
Selain merusak sistem reproduksi dan sel
syaraf, TBT juga dilaporkan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan organ
tubuh (hyperplasia) dan menimbulkan kerusakan pada material genetik
(DNA) yang ada dalam tubuh keong. Hagger et al, (2006) melaporkan bahwa
dari sampel Nucella lapillus yang diambil dari sebelah barat daya
Inggris, diketahui bahwa DNA dari sebagian besar sampel yang dikumpulkan
mengalami kerusakan akibat kontaminasi TBT.
Mortalitas larva dan juvenil dari Babylonia
japonica kemungkinan berkaitan erat dengan akumulasi TPhT dan TBT dalam
ovarium akibat air laut yang terkontaminasi senyawa organotin tersebut
(Coelho et al. 2001; Inoue et al. 2004; Lapota et al. 1993; Li et al.
1997; Nakayama et al. 2005; Ruiz et al. 1995; Treuner AB, Horiguchi T,
Takiguchi N, Imai T, Morita M, unpublished data dalam Horiguchi et al.
2006).
Tahap planktonik dari Babylonia japonica
diperkirakan berlangsung 4-5 hari (Hamada et al. 1988, 1989 dalam
Horiguchi et.al 2006). Rekruitmen larva veliger dari populasi lain tidak
diketahui. Kegagalan reproduksi keong dewasa akibat imposex menyebabkan
menurunnya populasi B. Japonica dalam beberapa tahun di Jepang. Hal ini
terlihat dari menurunnya jumlah larva yang dihasilkan setiap tahunnya.
Dengan demikian, keberadaan larva yang berenang bebas dalam air selama
masa perkembangan larva merupakan salah satu faktor yang menentukan
dalam kemampuan reproduksi dari keong yang populasinya terkontaminasi
senyawa organotin (Bryan et al. 1986; Gibbs dan Bryan 1986; Gibbs et al.
1988, 1990 1991 dalam Horiguchi et.al 2006).
Berdasarkan survei imposex dan konsentrasi
organotin dalam tubuh Thais clavigera (Horiguchi et al. 1994 dalam
Horiguchi et al. 2006), kontaminasi TBT dan TPhT relatif serius di
sepanjang pantai Prefecture Tottori terutama di Teluk Miho di mana
sampel Babylonia japonica dalam studi ini diambil. Konsentrasi TBT dan
TPhT relatif tinggi dalam ovarium betina. Konsentrasi kedua senyawa
organotin tersebut dalam gonad berkorelasi positif dengan panjang penis
yang tumbuh pada gastropoda betina dari Babylonia japonica sebagaimana
juga ditemukan pada Thais clavigera (Hyeon Seo Cho, et al. 2005 dan
Horiguchi et al. 1994; Shim et al. 2000 dalam Horiguchi et al. 2006)
Eksperimen Laboratorium menunjukkan bahwa TBT
dan TPhT memicu pembentukan imposex pada tubuh Thais clavigera
(Horiguchi et al. 1995, 1997a dalam Horiguchi et al. 2006). Dengan
demikian, kemungkinan imposex pada Babylonia japonica juga dipicu oleh
TBT dan TPhT relatif tinggi. Namun, sulit untuk mengetahui berapa
konsentrasi senyawa organotin yang dibutuhkan untuk memicu timbulnya
gejala imposex tersebut. Gibbs et al (1987) dalam Horiguchi et al.(2006)
menyatakan bahwa konsentrasi TBT (di seluruh tubuh) yang dapat memicu
timbulnya imposex pada Nucella lapillus sekitar 20 ng Sn/g berat kering
yang diperkirakan setara dengan 10-12.5 ng TBT/g berat basah dengan
asumsi bahwa konsentrasi senyawa organotin yang dihitung dalam berat
kering sekitar 4 atau 5 kali lebih besar dari konsentrasi dalam berat
basah. Berdasarkan perhitungan di atas, maka untuk Thais clavigera
diperoleh perkiraan konsentrasi minimal dari senyawa organotin sebesar
10-20 ng/g berat basah yang dapat menimbulkan imposex (Horiguchi et al.
1994 dalam Horiguchi et al. 2006). Untuk Babylonia japonica, karena
keterbatasan eksperimen dan analisis data, maka sensitivitas terhadap
TBT dan TPhT yang dapat menimbulkan imposex masih sulit untuk
diperkirakan atau dibdaningkan dengan jenis lainnya seperti Nucella
lapillus, Ocinebrina erinacea, U. cinerea, dan T. clavigera (Bryan et
al. 1987; Gibbs et al. 1987, 1990, 1991; Horiguchi et al. 1994, 1995
dalam Horiguchi et.al 2006).
Variasi temporal dalam penilaian perkembangan
reproduksi dari Babylonia japonica berbeda antara betina (termasuk
betina yang mengalami imposex) dan jantan.
Musim memijah dari Babylonia japonica
berlangsung antara akhir bulan Juni hingga awal Agustus (Kajikawa et al.
1983 dalam Horiguchi et. al 2006). Pematangan telur pada keong betina
tampaknya mengalami penundaan dibdaningkan dengan pematangan sperma pada
jantan. Adanya penundaan ini ditdanai dengan adanya betina yang belum
mencapai kematangan gonad selama musim pemijahan. Pematangan gonad pada
saat yang sama masih ditemukan pada populasi Babylonia japonica yang
berasal dari perairan Teradomari Prefecture Niigata Jepang. Sedangkan
populasi Babylonia japonica di Tottori tidak menunjukkan adanya
pematangan gonad pada betina. Padahal, populasi keong ini telah lama
dibudidayakan dan memiliki musim pemisahan yang serentak di seluruh
perairan Jepang. Adanya penundaan pematangan gonad ini diduga menjadi
salah satu penyebab menurunnya jumlah telur yang dipijah oleh Babylonia
japonica di bak-bak budidaya dan kemungkinan berkaitan dengan imposex.
Takeda (1979; 1983) dalam Horiguchi et al
(2006) melaporkan bahwa spermatogenesis dan Oogenesis ditemukan pada
salah satu organ hermafrodit gastropoda yang dikebiri terutama gonad
pada siput Limax marginatus betina yang diberi perlakuan dengan hormon
17β-estradiol dan siput jantan jenis yang sama yang diberi testoteron.
Pemberian 17β-estradiol juga merangsang memijahnya telur pada spesies
keong ini. Metabolisme in-vitro dari danrostenedione dan identifikasi
steroid endogen (danrosteron, dehydroepidanrosteron, danrostenedion,
3α-danrostanediol, estron, 17β-estradiol, dan estriol) oleh gas
chromatography–mass spectrometry (GC-MS) telah dilaporkan pada jenis
Helix persa (Le Guellecet al. 1987 dalam Horiguchi et al 2006). Beberapa
steroid (danrosteron, estron, 17β-estradiol, ethinylestradiol, dan
testosteron) juga telah diidentifikasi menggunakan GC-MS pada gonad
Babylonia japonica. Identifikasi estrogen sintetik ethinylestradiol pada
gonad menunjukkan adanya kontaminasi habitat dari Babylonia japonica
(Lu et al 2001 dalam Horiguchi et al 2006).
Penambahan testoteron (danrogen) untuk
mereduksi konsentrasi enzim aromatase pada keong betina yang
terkontaminasi TBT diperkirakan akan memicu terjadinya imposex pada
gastropoda (Gooding 2003 serta Bettin et al. 1996; Matthiessen dan Gibbs
1998; Spooner et al. 1991 dalam Horiguchi et al., 2006). Beberapa
neuropeptida yang dilepaskan oleh ganglia visceral, ganglia serebral
atau kelenjar prostat dari gastropoda seperti Aplysia californica dan
Lymnaea stagnalis adalah merupakan hormon yang merangsang pemijahan,
ovulasi dan pelepasan telur (Chiu et al. 1979; Ebberink et al. 1985
dalam Horiguchi et al 2006).
Féral dan Le Gall (1983) dalam Horiguchi et al
2006, menyatakan bahwa timbulnya imposex yang diakibatkan oleh TBT pada
keong Ocinebrina erinacea mungkin berkaitan dengan pelepasan neural
morphogenic controlling factors. Pernyataan tersebut merupakan hasil
dari penelitian yang dilakukan menggunakan kultur jaringan in vitro dari
jaringan di sekitar penis yang terbentuk pada jenis limpet Crepidula
fornicata yang belum dewasa dan sistem syaraf yang diisolasi dari jantan
atau betina keong O. erinacea pada media yang mengdanung TBT 0,2 µg/L.
Akumulasi TBT dan TPhT pada sistem syaraf pusat dari Haliotis gigantea,
Nucella lapillus dan Thais clavigera (Horiguchi et al 1992; 2003; Bryan
et al. 1993 dalam Horiguchi et al. 2006) dapat memberikan efek toksik
pada sistem neuro-endokrin. Oberdörster dan McClellan-Green (2000; 2002)
dalam Horiguchi et al 2006 melaporkan bahwa pemberian APG Wamide,
sebuah neuropeptida yang dilepaskan oleh ganglia serebral gastropoda
seperti Lymnaea stagnalis yang terkontaminasi TBT pada keong betina
Ilyanassa obsoleta secara signifikan memicu terjadinya imposex.
Sedangkan Gooding et.al. (2003) melaporkan bahwa TBT mereduksi akumulasi
testoteron sebagai ester asam lemak pada Ilyanassa obsoleta sehingga
hal ini diduga menjadi penyebab imosex pada spesies keong tersebut.
Sekitar 150 jenis gastropoda dilaporkan
ditemukan mengalami gejala imposex di seluruh dunia. (Bech 2002a, 2002b;
Fioroni et al. 1991; Horiguchi et al. 1997b; Marshall dan Rajkumar
2003; Sole et al. 1998; ten Hallers-Tjabbes et al. 2003; Terlizzi et al.
2004 dalam Horiguchi et l 2006). Sebagian besar spesies gastropoda
tergolong familia Muricidae seperti : Nucella lapillus, Ocenebra
erinacea, Thais clavigera, Urosalpinx cinerea), Buccinidae (Babylonia
japonica, Buccinum undatum, Neptunea arthritica arthritica), Conidae
(Conus marmoreus bdananus, Virroconus ebraeus), dan Nassariidae
(Ilyanassa obsoleta, Nassarius reticulatus) dari ordo Neogastropoda.
(Fioroni et al. 1991; Horiguchiet al. 1997b dalam Horiguchi et al.,
2006).
Horiguchi et al (1997b) dalam Horiguchi et al
(2006) menyatakan bahwa sekitar 39 jenis gastropoda menunjukkan gejala
imposex (7 mesogastroposa dan 32 jenis neogastropoda). Sebagian besar
menunjukkan kontaminasi senyawa organotin (TBT dan TPhT) yang akut yang
menyebabkan menurunnya populasi gastropoda secara drastis akibat
imposex. Oleh karena itu, gejala imposex dijadikan sebagai bioindikator
adanya pencemaran atau kontaminasi senyawa organotin di suatu perairan.
Penelitian tentang imposex dapat dilakukan dengan melihat penyimpangan
morfologis pada gastropoda maupun dengan menggunakan metode histologis
(Bryan et al. 1986; Gibbs dan Bryan 1986; Gibbs et al. 1988, 1990, 1991;
Horiguchi 2000; Horiguchi et al. 1994, 2000a; Oehlmannet al. 1996;
Schulte-Oehlmann et al. 1997 dalam Horiguchi et al. 2006).
Keong Gading Babylonia japonica
(Neogastropoda: Buccinidae), hidup pada substrat berpasir atau berlumpur
di daerah perairan yang dangkal (dengan kedalaman berkisar 10-20 m)
dari selatan Pulau Hokkaido hingga Kyushu, Jepang. Jenis ini tergolong
pemakan bangkai (scavenger) di ekosistem pantai dan secara tradisional
menjadi spesies target untuk usaha komersial di Jepang. Imposex pada
Babylonia japonica ditemukan pertamakali pada tahun 1970-an dan
berakibat pada penurunan hasil tangkapan secara drastis pada awal tahun
1980-an di seluruh Jepang (Horiguchi dan Shimizu 1992 dalam Horiguchi et
al., 2006). Banyak usaha telah dilakukan untuk memulihkan populasi
keong ini termasuk melakukan pembenihan di bak-bak budidaya (hatchery)
dan pelepasan juvenil ke laut. Sekitar 90 % dari juvenil yang diproduksi
di Jepang berasal dari hatchery di Prefecture Tomari dan Tottori Jepang
Barat. Total hasil tangkapan Babylonia japonica diketahui menurun
drastis sejak tahun 1984, 2 tahun setelah penemuan pertama dari individu
yang menunjukkan gejala imposex.
Hasil penelitian menunjukkan peningkatan
persentase imposex dan persentase rata-rata panjang penis yang ditemukan
pada keong betina (Hamada et al. 1988, 1989; Horiguchi 1998; Kajikawa
1984; Kajikawa et al. 1983 dalam Horiguchi et al 2006). Jumlah kapsul
telur yang keluarkan oleh Babylonia japonica dewasa di hatchery dan
jumlah juvenil yang dilepaskan secara sengaja mengalami penurunan sejak
pertengahan tahun 1980-an. Introduksi Babylonia japonica dewasa dari
Prefecture Niigata pada tahun 1992 untuk menghasilkan benih yang akan
dilepaskan ke alam mengalami kegagalan karena juvenile yang lahir di
bak-bak pemijahan banyak yang mati. Hingga saat ini upaya rehabilitasi
populasi Babylonia japonica tidak pernah dapat mengembalikan populasi
keong tersebut seperti tahun 1970-an sebelum terkena imposex. Tahun
1996, hatchery di Tottori yang digunakan untuk memijahkan juvenil keong
Gading yang akan dilepaskan ke laut ditutup (Horiguchi et al 2006).
Persentase Imposex keong Babylonia japonica
yang dikoleksi antara bulan Desember 1988 hingga November 1989 dan bulan
Juni 1991 berturut-turut sebesar 82,6 % dan 88,9 %. Penis dan vas
deferens ditemukan berkembang dengan baik pada keong betina yang
terkontaminasi TBT. Tidak ada blokade terhadap oviduk akibat
terbentuknya vas deferens pada keong yang mengalami imposex. Hal ini
berbeda dengan simptom imposex yang ditemukan pada Nucella lapillus,
Ocinebrina aciculata, dan Thais clavigera (Gibbs dan Bryan 1986; Gibbs
et al. 1987; Horiguchi et al. 1994; Oehlmann et al. 1996 dalam Horiguchi
et al. 2006).
Bigatti dan Penchaszadeh (2005), melaporkan
bahwa jenis keong laut dangkal Odontocymbiola magellanica (Gmelin, 1791)
yang berasal dari Golfo Nuevo, Golfo San Jose dan Golfo San Matias di
Patagonia, Argentina Selatan diketahui mengalami imposex akibat
kontaminasi TBT. Persentase imposex dilaporkan tertinggi (100%) berasal
dari sampel yang diambil dekat pelabuhan. Makin jauh dari pelabuhan,
persentase individu yang mengalami imposex makin menurun.
Salah satu penyimpangan sistem reproduksi
akibat TBT adalah ditemukannya gonad keong Babylonia japonica betina
yang memproduksi sperma. Hal ini dikenal sebagai ovarian spermatogenesis
(ovotestis). Horiguchi et. al (2006), melaporkan bahwa dari 92 betina
normal dan imposex dari keong Babylonia japonica yang diuji, 6 individu
(1 betina normal dan 5 betina imposex) atau sekitar 6,5 % dari total
populasi yang diuji menunjukkan gejala Ovarian spermatogenesis. Telah
diketahui bahwa sebagian besar gastropoda memiliki kelamin terpisah
(dioecious) dan hanya sedikit yang bersifat hermafrodit dengan gonad
yang memproduksi sperma dan sel telur terus menerus (Fretter 1984; Uki
1989 dalam Horiguchi et al. 2006) dan Iguchi, et al. 2007.
Beberapa anggota ordo Neogastropoda betina
diketahui mengalami fenomena Ovarian spermatogenesis misalnya: Nucella
lapillus, O. aciculata dan Thais clavigera. Sedangkan dari ordo
Archaeogastropoda, betina yang diketahui mengalami ovotestis adalah
Haliotis madaka dan Haliotis gigantea. Kedua jenis abalone ini diketahui
telah terkontaminasi oleh TBT dan TPhT, namun tidak ditemukan adanya
penis yang terbentuk seperti tampak pada gejala imposex (Gibbs et al.
1988; Horiguchi dan Shimizu 1992; Horiguchi et al. 2000b, 2002, 2005;
Oehlmann et al. 1996 dalam Horiguchi et al 2006).
Ovarian spermatogenesis juga sering ditemukan
pada keong Babylonia japonica betina yang normal tanpa pembentukan penis
atau vas deferens. Namun frekuensi kejadian ini relatif rendah (16,7 %
dari populasi yang terpapar TBT dan TPhT). Pembentukan penis dan vas
deferens serta ovarian spermatogenesis pada betina yang terekspose TBT
dan TPhT kemungkinan besar memiliki mekanisme fisiologi yang berbeda
dengan imposex. Ovarian spermatogenesis diduga merupakan penyebab utama
menurunnya kemampuan keong untuk memijah. Hormon steroid yang terkait
dengan reproduksi seperti testoteron dan 17β-estradiol secara fisiologis
adalah merupakan senyawa yang penting dalam pembentukan organ
reproduksi dan pematangan gonad (spermatogenesis dan oogenesis) pada
vertebrata. Hormon steroid yang sama kemungkinan juga mengatur mekanisme
reproduksi pada organisme invertebrata termasuk gastropoda (LeBlanc et
al. 1999 dalam Horiguchi et al. 2006).
Imposex ditandai dengan berkembangnya
ciri-ciri kelamin jantan seperti penis dan vas deferens pada gastropoda
betina dari sub kelas Prosobranchia (Smith, 1971 dalam Meirelles, 2007).
Abnormalitas ini disebabkan oleh terpaparnya hewan tersebut oleh
senyawa organotin (OTs) yang terkandung dalam cat antifouling (Gibbs
& Bryan, 1987; Matthiessen & Gibbs, 1998, dalam
Meirelles, 2007) yang digunakan secara luas di dunia untuk melindungi
kapal dan berbagai struktur berbahan logam (metal) dari ancaman korosi
dan biofouling yang secara drastis meningkatkan konsumsi bahan bakar dan
memperpendek usia pakai kapal. Studi tentang imposex telah digunakan di
beberapa tempat sebagai alat untuk mendeteksi pencemaran oleh senyawa
organotin mengingat sulitnya mendeteksi senyawa tersebut dengan metode
analisis kimia (Oehlmann et al., 1996 dalam Meirelles, 2007). Di Brazil,
imposex telah diamati dari gastropoda familia Muricidae Stramonita
haemastoma (Linnaeus, 1767) (Castro et al., 2000; Ferndanez et al.,
2002; Ferndanez et al., 2005; Castro et al., 2007a,b dalam Meirelles,
2007 ) dan Stramonita rustica (Lamarck, 1822) (Camillo et al., 2004; de
Castro et al., 2004, 2007 dalam Meirelles, 2007) dan pada Olivancillaria
vesica (Gmelin, 1791) (Caetano & Absalão, 2003 dalam Meirelles,
2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Meirelles
(2007) juga menunjukkan adanya indikasi pencemaran oleh senyawa
organotin di Brazil. Penelitian tersebut dilakukan terhadap jenis kerang
Leucozonia nassa. 54 individu (jantan dan betina) dewasa dikumpulkan
secara manual di rataan terumbu Ilha do Japonês, Cabo Frio County, Rio
de Janeiro State, South-east Brazil pada bulan Februari 2004 saat surut
rendah. Hewan yang telah dikoleksi kemudian dimasukkan ke dalam kotak
plastik yang berisi air laut yang diambil dari stasiun yang sama di mana
hewan tersebut diambil dan dibawa ke laboratorium untuk di analisis
lebih lanjut. Sampel kemudian dianestesi dengan menggunakan larutan
magnesium chloride 3.5% (Huet et al., 1995 dalam Meirelles, 2007 ).
Bagian-bagian tubuh terutama jaringan lunak dari sampel kemudian diamati
dengan menggunakan mikroskop binokuler.
Dari hasil pengamatan ditemukan bahwa Individu
Leucozonia nassa yang memiliki oviduk dan penis (mengalami imposex)
umumnya berjenis kelamin betina. Pada jantan yang normal, penis umumnya
panjang dan memiliki pangkal yang besar (panjang penis= 9.4 ±1.0 mm).
Sekitar 98.15% dari seluruh sampel yang dikoleksi berjenis kelamin
betina (N=30). Penis yang ditemukan umumnya lebih kecil dari penis
jantan (dengan panjang penis=5.96 ± 3.15 mm). Pada beberapa kasus
ditemukan pembentukan vas deferens yang lengkap. Salah satu hal yang
paling menarik adalah ditemukannya satu individu betina imposex yang
menunjukkan gejala biphallia (bi= 2, phallus=penis) atau berpenis ganda.
Kedua penis ini berbentuk pipih dan memiliki ukuran yang sama (panjang
penis masing-masing 4.35 dan 4.75 mm). Kasus biphallia-imposex ini
adalah merupakan penemuan pertama yang dipublikasikan untuk spesies
Leucozonia nassa.
Mekanisme imposex pada gastropoda betina dari
Sub-kelas Prosobranchia belum sepenuhnya dipahami. Namun, inhibisi
(penghambatan) sitokrom P450 yang mendukung aktifitas enzim aromatase
(CYP19) (bertanggung jawab dalam mengubah hormon androgen menjadi
estrogen) oleh senyawa organotin diduga berperan sebagai pemicu
mekanisme imposex. Penghambatan (inhibisi) ini menyebabkan meningkatnya
konsentrasi (kandungan) hormon androgen dalam jaringan tubuh (Bettin et
al., 1996 dalam Meirelles, 2007). Pada kasus yang ekstrim dimana
bioakumulasi senyawa organotin dalam tubuh sangat tinggi, terjadi
pembelahan sel tubuh dan pertumbuhan jaringan (proliferasi) yang sangat
cepat yang menyebabkan tersumbatnya (terblokirnya) sistem genital
gastropoda betina. (Gibbs & Bryan, 1987; Gibbs et al., 1987
dalam Meirelles, 2007). Kondisi ini menyebabkan terjadinya sterilisasi
dan kematian pada gastropoda betina akibat akumulasi kapsul (cangkang)
telur dalam organ kapsul atau capsule gland (Gibbs & Bryan,
1986; Gibson & Wilson, 2003 dalam Meirelles, 2007). Kegagalan
proses reproduksi akibat imposex juga ditemukan pada gastropoda dari
jenis Nucella lapillus (Linnaeus, 1758) (familia Muricidae) yang
populasinya menurun drastis sejak tahun 1980-an di selatan Inggris
(Gibbs & Bryan, 1986 dalam Meirelles, 2007) akibat efek imposex
dan terbentuknya intracapsular yang menyebabkan tidak adanya larva yang
menetas dari populasi keong yang sehat (Spence et al., 1990 dalam
Meirelles, 2007). Hal ini perlu diperhatikan oleh ahli konservasi dan
budidaya kerang, mengingat efek imposex yang besar dapat menyebabkan
gastropoda yang mengalami perkembangan intrakapsular (pemblokiran sistem
genital) akan mengalami kepunahan (Gibbs & Bryan, 1986, dalam
Meirelles, 2007).
Pada Nucella lapillus, proses terjadinya
imposex dapat dibagi menjadi 6 tahap yang menunjukkan pertambahan
derajat maskulinisasi (Gibbs et al. 1987; Oehlmann et al. 1991). Dalam
tahap perkembangan individu imposex, terdapat 3 sub-tahap yang berbeda
yang terjadi pada populasi Nucella lapillus di Eropa (Oehlmann et al.
1991). Dari tahap 0, dimana betina normal tidak menunjukkan tanda-tanda
imposex hingga tahap 4 dimana jumlah dan ukuran organ kelamin jantan
bertambah secara gradual tetapi tidak menyebabkan hilangnya kemampuan
untuk bereproduksi (Hagger et al. 2006).
Proses imposex diawali pada tahap 1 yang
ditandai dengan terbentuknya penis oriment (Tahap 1a) atau bagian vas
deferens yang terisolasi (tahap 1b, 1c). Pada tahap 2a. penis oriment
berkembang menjadi saluran pineal, sedangkan pada tahap 2b dan 2c bagian
vas deferens berkembang lebih pesat, penis oriment masih terlihat.
Bagian vas deferens terus tumbuh hingga melewati bagian bawah rongga
mantel pada tahap 3. Pada tahap 4, organ kelamin jantan mulai terbentuk
sempurna dengan vas deferens yang memanjang mulai dari dasar penis
hingga bukaan vagina. Pada tahap 5, oviduk terblok oleh jaringan vas
deferens yang berproliferasi atau oleh perkembangan kelenjar prostat.
Pada tahap 6 proses maskulinisasi telah sempurna.
Beberapa negara seperti Inggris dan Irldania
telah menetapkan peraturan hukum yang melarang penggunaan senyawa
organotin (TBT) pada kapal dan struktur bangunan lainnya yang berukuran
(panjang) kurang dari 25 meter ( Santillo et al., 2000) dan (Evans et
al., 1991; Michin et al., 1995 dalam Meirelles, 2007). Peraturan ini
berhasil mengurangi kandungan TBT dalam ekosistem perairan dan efek
imposex pada Nucella lapillus (dogwhelk) dalam kurun waktu 6 tahun
(Michin et al., 1995 dalam Meirelles, 2007). Studi lain menunjukkan
hasil yang menarik terkait efek imposex, seperti pemaparan 3-MC
(3-methylcholanthrene) (McClellan-Green & Robbins, 2000 dalam
Meirelles, 2007). Senyawa ini berperan menetralisir senyawa organotin
yang menyebabkan rusaknya sistem endokrin pada gastropoda. Pemaparan
senyawa ini dilaporkan memiliki dampak positif bagi organisme laut yang
terkontaminasi TBT, di mana ukuran penis pada jenis Ilyanassa obsoleta
betina berkurang (Say 1982, dalam Meirelles, 2007) dan mengembalikan
kemampuan jenis tersebut untuk memijah (McClellan-Green &
Robbins, 2000 dalam Meirelles, 2007). Masalah utama dari upaya
monitoring terhadap kontaminasi senyawa organotin adalah bagaimana
mengetahui efek dari setiap tingkatan kontaminasi senyawa organotin pada
spesies gastropoda yang menjadi bio-indikator. Dengan kata lain
sensitivitas dari setiap spesies terhadap senyawa organotin (yang
kemungkinan besar berbeda-beda) belum pernah diuji (Camillo et al., 2004
dalam Meirelles, 2007).
KESIMPULAN
Dari hasil studi literatur dan bahan pustaka
tentang efek bioakumulasi Tributyltin (TBT) terhadap sistem reproduksi
gastropoda, maka dapat disimpulkan bahwa bioakumulasi TBT menimbulkan
berbagai gangguan pada sistem reproduksi sehingga keong yang mengalami
gangguan tidak dapat menghasilkan gonad, bertelur, dan bahkan memijah.
Imposex pada sistem reproduksi merupakan respon yang paling khas dan
paling spesifik dari gastropoda terhadap kontaminasi TBT. Meskipun
bagian lain dari gastropoda seperti hati, jantung, ctenidium dan saluran
pencernaan juga mengandung akumulasi TBT yang tinggi, namun hanya
sistem reproduksi saja yang menunjukkan efek/respon yang jelas dan nyata
sehingga digunakan sebagai bioindikator pencemaran TBT. Hingga saat
ini, mekanisme imposex pada gastropoda akibat kontaminasi TBT belum
dapat dipastikan, karena respon yang ditunjukkan oleh hewan yang
diteliti terhadap paparan TBT berbeda-beda bergantung pada jenisnya.
Adapun beberapa respon (efek) yang timbul akibat kontaminasi TBT adalah :
- Imposex. Gangguan ini ditandai dengan terbentuknya ciri-ciri kelamin jantan seperti penis dan vas deferens pada gastropoda betina dari Sub kelas Prosobranchia. Mekanisme imposex pada gastropoda betina dari Sub-kelas Prosobranchia belum sepenuhnya dipahami. Namun, inhibisi (penghambatan) sitokrom P-450 yang mendukung aktifitas enzim aromatase (CYP19) (bertanggung jawab dalam mengubah hormon androgen menjadi estrogen) oleh senyawa organotin diduga berperan sebagai pemicu mekanisme imposex. Gangguan lain yang timbul adalah tertundanya pematangan gonad pada betina sehingga saat musim kawin tiba sangat sedikit juvenil yang terbentuk.
- Ovarian spermatogenesis, merupakan salah satu penyimpangan sistem reproduksi yang dipicu oleh TBT dimana gonad keong Babylonia japonica betina memiliki kemampuan untuk memproduksi sperma. Meskipun secara alami ovarian spermatogenesis dapat ditemukan pada berbagai jenis keong, namun hal tersebut termasuk jarang terjadi. Adanya kontaminasi TBT menyebabkan meningkatnya persentase keong betina yang mengalami efek ini sehingga menurunkan kemampuan untuk bereproduksi.
- Imposex-Biphallia, merupakan salah satu jenis imposex yang ditandai dengan terbentuknya penis ganda pada keong betina. Timbulnya efek ini diduga sebagai akibat dari paparan TBT yang tinggi. Salah satu jenis keong yang dilaporkan menderita efek ini adalah Leucozonia nassa.
- Imposex- Intrakapsular. Pada kasus yang ekstrim dimana bioakumulasi senyawa organotin dalam tubuh sangat tinggi, terjadi pembelahan sel tubuh dan pertumbuhan jaringan (proliferasi) yang sangat cepat yang menyebabkan tersumbatnya (terblokirnya) sistem genital gastropoda betina. Kondisi ini menyebabkan terjadinya sterilisasi dan kematian pada gastropoda betina akibat akumulasi kapsul (cangkang) telur dalam organ kapsul atau capsule gland.
- Sedangkan beberapa mekanisme yang diperkirakan terjadi pada gastropoda yang mengalami imposex adalah :
- Penolakan TBT oleh betina yang kemudian dilepaskan oleh ganglia cerebro- pleural sebagai faktor retrogesif bagi pertumbuhan penis (Feral dan Legal 1983).
- Inhibisi (penghambatan) aromatase (Bettin et al. 1996)
- Inhibisi Ekskresi Testoteron ( Ronis dan Mason, 1996)
- Promosi APGW Amida sebagai faktor morfogenetik penis (Oberdorster dan Mc Clellan-Green, 2000)
- Reduksi Ester Asam Lemak Testoteron (Gooding, 2003)
- Retinoid X Receptor (Nishikawa et al. 2004).
- Kerusakan DNA yang menimbulkan gangguan pada sistem endokrin sehingga memicu pertumbuhan hiperplasmik pada gastropoda (Hagger et al. 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Bigatti, Gregorio. dan Pablo E. Penchaszadeh.
2005. Imposex in Odontocymbiola magellanica. (Caenogastropoda;
Volutidae) in Patagonia. Communicaciones de La Sociedad Malacologica del
Uruguay. Vol. 9 (88: 371-375).
Birnbaum, Linda S. dan Suzanne E. Fenton.
2003. Cancer dan Developmental Exposure to Endocrine Disruptors.
Research Review. Journal of Environmental Health Perspectives. Volume
111 (4: 389-394) April 2003.
Bortman, Marci., Peter Brimblecombe, Mary Ann
Cunningham, William P. Cunningham, dan William Freedman, (Editor).2003.
Environmental Encyclopedia 3rd Edition. Volume I (A-M). Thomson-Gale
Publishers. Detroit. USA. 1641 pp + XXIX.
Brady, Bruce, et al. 2006. Imposex Frequency.
Marine dan Freshwater Resources Institute (MAFRI),Victoria. Website:
http://www.ozcoasts.org.au/indicators/ imposex_ frequency.jsp (diakses
Tanggal : 20 November 2008).
Brusca, Richard. C. 2002. The Invertebrates 2nd Edition. Chapter 20 Mollusca. John Wiley dan Sons. New York. USA. 890 p + XXIV
Cammack, R dan General Editors. 2006. Oxford
Dictionary of Biochemistry dan Moleculer Biology. Oxford University
Press. Inc. New York. 722 p + xv.
Castro, Ítalo Braga, Carlos A. O. Meirelles,
Helena Matthews-Cascon dan Marcos Antonio Ferndanez. 2004. Thais
(Stramonita) rustica (Lamarck, 1822) (Mollusca: Gastropoda: Thaididae), A
Potential Bioindicator of Contamination by Organotin Northeast Brazil.
Brazilian Journal of Oceanography, 52 (2) : 135 – 139, 2004.
Dobson, S. dan Cabridenc, R. 1990. Tributyltin
Compounds. Environmental Healt Criteria 116. International Programme on
Chemical Safety (IPCS). UNDP-ILO-WHO. 179 pages. Website:
http://www.inchem.org/documents/ehc/ehc/ehc116.htm. (diakses Tanggal :
20 November 2008).
Ghiselin. Michael T., 2005. Anatomy of
Gastropods. Microsoft ® Encarta® 2006. © 1993-2005 Microsoft
Corporation. All rights reserved.
Gooding, Meredith P., Vickie S. Wilson, Leroy
C. Folmar, Dragoslav T. Marcovich, dan Gerald A. LeBlanc. 2003. The
Biocide Tributyltin Reduces the Accumulation of Testosterone as Fatty
Acid Esters in the Mud Snail (Ilyanassa obsoleta). Research Article.
Journal of Environmental Health Perspectives. Volume 111 (4: 426-430)
April 2003.
Hagger, Josephine A., Michael H. Depledge,
Jörg Oehlmann, Susan Jobling, dan Tamara S. Galloway. 2006. Is There a
Causal Association between Genotoxicity dan the Imposex Effect?.
Monograph. Journal of Environmental Health Perspectives. Volume : 114
(Supplement 1 : 20-26) April 2006.
Horiguchi, Toshihiro, Hyeon-Seo Cho, Hiroaki
Shiraishi, Mitsuhiro Kojima, Miyuki Kaya, Masatoshi Morita, dan Makoto
Shimizu. 2001. Contamination by Organotin (Tributyltin dan Triphenyltin)
Compounds from Antifouling Paints dan Endocrine Disruption in Marine
Gastropods. Riken Review (Focused on New Trends in Bio-Trace Elements
Research) No. 35 May 2001.
Horiguchi, Toshihiro., Mitsuhiro Kojima,
Fumihiko Hamada, Akira Kajikawa, Hiroaki Shiraishi, Masatoshi Morita,
dan Makoto Shimizu. 2006. Impact of Tributyltin dan Triphenyltin on
Ivory Shell (Babylonia japonica) Populations. Monograph. Journal of
Environmental Health Perspectives. Volume : 114 (Supplement 1 : 13-19)
April 2006.
Hyeon Seo Cho, Soon Woo Seo dan Toshihiro
Horiguchi. 2005. Less Recovery from Imposex dan Organotin Pollution in
the Rock Shell, Thais clavigera in Korea. Abstract. Symposium 13.
Pollutant Response In Marine Organisms (PRIMO). Organized by
Environmental dan Life Sciences Department, Eastern Piedmont University.
Alessdanria Italy, June 19-22, 2005.
Iguchi, et al. 2007. Hypotheses on Induction
Mechanism of Imposex Caused by TBT in Gastropods. Powerpoint
Presentation from the Internet.
Knox, George A., 2001. The Ecology of Seashores. CRC Press. Boca Raton. 557 p + viii
Langston, William J. (Editor). 2006.
Tributyltin Pollution On a Global Scale. An Overview of Relevant dan
Recent Research: Impacts dan Issues. WWF UK. Godalming, Surrey. United
Kingdom. 48 pp.
Matty, A. J. 1985. Fish Endocrinology. Timber Press. Portldan Oregon USA. 267 p + xi.
Meirelles, Carlos A. O. Ítalo B. Castro dan
Jully C.L. Pinheiro. 2007. A first record of biphallia in imposexed
female of Leucozonia nassa (Caenogastropoda: Fasciolariidae). Published
on-line: July 2nd, 2007. Journal of the Marine Biological Association
(JMBA 2) of the United Kingdom.
Railkin, Alexdaner I., Tatiana A. Ganf dan
Oleg G. Manylov (Translator). 2005. Marine Biofouling. Colonization
Processes dan Defences. CRC Press dan Taylor-Francis Boca Raton. 303 pp +
VII.
Santillo, David, Paul Johnston dan William J.
Langston. 2000. Tributyltin (TBT) Antifoulants : A Tale of Ships, Snails
dan Imposex. Late Lessons from Early Warnings: The Precautionary
Principle 1896–2000. p: 135-148.
Sjafei, Djadja. S., M. F. Rahardjo, Ridwan
Affandi, Murniarti Brojo, Sulistiono. 1992. Fisiologi Ikan II.
Reproduksi Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut
Pertanian Bogor. Jawa Barat.
Strand, Jacob. 2003. Imposex Gastropods as
Biomarkers for detect Tributyltin (TBT) Contamination. Website:
http://www.dmu.dk/NR/rdonlyres/ (diakses Tanggal : 20 November 2008).
Walmsley, S. 2006.
TBT from Antifouling Paint is still Endangering Marine Life
(WWF-Evisa). Website:
http://www.speciation.net/Public/News/2006/10/11/2445 .html (diakses
Tanggal : 20 November 2008).
Sumber : http://staff.unila.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar