Daphnia sp
Daphnia adalah filum Arthropoda yang
hidup secara umum di perairan tawar. Spesies-spesies dari genus Daphnia ditemukan
mulai dari daerah tropis hingga arktik dengan berbagai ukuran habitat mulai
dari kolam kecil hingga danau luas. Dari lima puluh spesies genus ini di
seluruh dunia, hanya enam spesies yang secara normal dapat ditemukan di daerah
tropika. Salah satunya adalah spesies Daphnia magna (Delbaere &
Dhert, 1996)
Menurut Pennak (1989), klasifikasi Daphnia
magna adalah sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Branchiopoda
Subkelas : Diplostraca
Ordo : Cladocera
Subordo : Eucladocera
Famili : Daphnidae
Subfamili : Daphnoidea
Genus : Daphnia
Spesies : Daphnia magna
1.2 Morfologi Daphnia magna
Pembagian segmen tubuh Daphnia hampir
tidak terlihat. Kepala menyatu, dengan bentuk membungkuk ke arah tubuh bagian
bawah terlihat dengan jelas melalui lekukan yang jelas. Pada beberapa spesies
sebagian besar anggota tubuh tertutup oleh carapace, dengan enam pasang
kaki semu yang berada pada rongga perut. Bagian tubuh yang paling terlihat
adalah mata, antenna dan sepasang seta. Pada beberapa jenis Daphnia, bagian
carapace nya tembus cahaya dan tampak dengan jelas melalui mikroskop
bagian dalam tubuhnya.
Beberapa Daphnia memakan
crustacean dan rotifer kecil, tapi sebagian besar adalah filter feeder,
memakan algae uniselular dan berbagai macam detritus organik termasuk protista
dan bakteri. Daphnia juga memakan beberapa jenis ragi, tetapi hanya di
lingkungan terkontrol seperti laboratorium. Pertumbuhannya dapat dikontrol
dengan mudah dengan pemberian ragi. Partikel makanan yang tersaring kemudian dibentuk
menjadi bolus yang akan turun melalui rongga pencernaan sampai penuh dan
melalui anus ditempatkan di bagian ujung rongga pencernaan. Sepasang kaki
pertama dan kedua digunakan untuk membentuk arus kecil saat mengeluarkan
partikel makanan yang tidak mampu terserap. Organ Daphnia untuk berenang
didukung oleh antenna kedua yang ukurannya lebih besar. Gerakan antenna ini
sangat berpengaruh untuk gerakan melawan arus (Waterman, 1960).
1.3 Reproduksi
Mekanisme reproduksi Daphnia
adalah dengan cara parthenogenesis. Satu atau lebih individu muda dirawat
dengan menempel pada tubuh induk. Daphnia yang baru menetas harus
melakukan pergantian kulit (molting) beberapa kali sebelum tumbuh jadi
dewasa sekitar satu pekan setelah menetas. Siklus hidup Daphnia sp.
yaitu telur, anak, remaja dan dewasa. Pertambahan ukuran terjadi sesaat setelah
telur menetas di dalam ruang pengeraman. Daphnia sp. dewasa berukuran
2,5 mm, anak pertama sebesar 0,8 mm dihasilkan secara parthenogenesis. Daphnia
sp. mulai menghasilkan anak pertama kali pada umur 4-6 hari. Adapun umur
yang dapat dicapainya 12 hari. Setiap satu atau dua hari sekali, Daphnia sp.
akan beranak 29 ekor, individu yang baru menetas sudah sama secara anatomi
dengan individu dewasa (Gambar 2). Proses reproduksi ini akan berlanjut jika
kondisi lingkungannya mendukung pertumbuhan. Jika kondisi tidak ideal baru akan
dihasilkan individu jantan agar terjadi reproduksi seksual (Waterman, 1960).
Daphnia jantan lebih kecil ukurannya dibandingkan yang betina. Pada
individu jantan terdapat organ tambahan pada bagian abdominal untuk memeluk
betina dari belakang dan membuka carapacae betina, kemudian spermateka
masuk dan membuahi sel telur. Telur yang telah dibuahi kemudian akan dilindungi
lapisan yang bernama ephipium untuk mencegah dari ancaman lingkungan sampai
kondisi ideal untuk menetas (Mokoginta, 2003).
2 Bacillus subtilis
Bacillus
subtilis
Bakteri ini adalah jenis bakteri
yang umum ditemukan di tanah, air, udara dan materi tumbuhan yang
terdekomposisi. Termasuk kelompok bakteri gram positif, aerobik, mampu
membentuk endospora. B. subtilis memiliki kemampuan memproduksi
antibiotik dalam bentuk lipopeptida, salah satunya adalah iturin. Iturin
membantu B. subtilis berkompetisi dengan mikroorganisme lain dengan cara
membunuh mikroorganisme lain atau menurunkan tingkat pertumbuhannya. Iturin
juga memiliki aktivitas fungisida terhadap pathogen( Buchanan, 1975).
Berikut adalah klasifikasi B.
subtilis: (Madigan, 2005)
Kingdom:Bacteria
Phylum:Firmicutes
Class:Bacilli
Order:Bacillales
Family:Bacillaceae
Genus:Bacillus
Species: B. subtilis
Pada beberapa penelitian ditemukan
bahwa penambahan B.subtilis perairan dapat meningkatkan kualitas
perairan dengan mengurangi konsentrasi CO2 perairan. Penggunaan
B. subtilis pada tambak udang
menunjukkan bahwa B. subtilis mampu meningkatkan kesintasan larva udang
windu dan mencegah dari penyakit vibriosis akibat Vibrio harveyi. Selain
itu B.subtilis secara alami bersimbiosis pada saluran pencernaan udang
windu (P.Kungvankij, 1985).
B. subtilis memerlukan kondisi optimum untuk tumbuh. Berikut adalah
kondisi fisika kimia air optimum bagi bakteri ini (Graumann, 2007) :
- DO : bakteri ini adalah jenis aerob obligat, makin
tinggi DO maka makin baik untuk pertumbuhan optimalnya. Minimal ialah pada
kisaran 2 mg/L
- Suhu : suhu optimal untuk tumbuh bagi B. subtilis adalah
antara 25 – 350C
- pH : pH optimal antara 7 – 8.
Ammonium juga memiliki pengaruh
terhadap B. subtilis yaitu dapat meminimalisasi kanibalisme antar
bakteri B. subtilis (Nandy & Venkatesh, 2008).
3 Bakteri Nitrifikasi
Menurut Ward (1996), bakteri
nitrifikasi adalah termasuk kelompok kemoautotrof yang tumbuh dengan
memanfaatkan senyawa nitrogen anorganik. Banyak spesies bakteri ini memiliki
sistem membran internal dimana terdapat enzim kunci dalam proses nitrifikasi.
Enzim tersebut antara lain ammonia monooksigenase (mengoksidasi ammonia menjadi
hidroksilamin) dan nitrit oksireduktase (mengoksidasi nitrit menjadi nitrat).
Berikut adalah klasifikasi bakteri nitrifikasi : (Holt et.al, 1994)
Kingdom : Prokariotae
Divisi : Bacteria
Famili : Nitrobacteraceae
Genus : Nitrosomonas dan Nitrobacter
Nitrosomonas
Bakteri nitrifikasi tersebar di
tanah dan air. Ditemukan dalam lingkungan yang terdapat ammonia (daerah banyak
terjadi dekomposisi protein/saluran air buangan). Nitrifikasi secara alami
merupakan hasil proses aktivitas dari dua kelompok organisme, yaitu kelompok
bakteri nitratasi dan nitritasi. Aktivitas kedua kelompok bakteri tersebut
adalah sebagai berikut (Ward, 1996).
Bakteri nitritasi (genus Nitrosomonas)
1. NH3 + O2 +
2e– + 2H+ → NH2OH + H2O
2. NH2OH + H2O
+ 1/2 O2 → NO2– +2 H2O + H+
Bakteri nitratasi (genus Nitrobacter)
NO2– + 1/2 O2
→ NO3–
Bakteri nitrifikasi memiliki sebuah
kondisi agar dapat melakukan proses kimia di atas dengan optimal. Beberapa
kondisi tersebut antara lain (Suzuki et.al., 1974) :
- DO (Dissolved Oxygen) : Bakteri nitrifikasi
memerlukan oksigen dalam proses metabolismenya. Setiap miligram nitrogen
dalam jalur nitrifikasi (dari ammonia sampai berakhir dalam bentuk nitrat)
bakteri ini memerlukan kurang lebih 4,5 mg oksigen terlarut untuk sebagai
penyeimbang elektron dari substrat bernitrogen.
- pH : pH optimal untuk bakteri nitrifikasi adalah antara
7,5 – 8,5. Pada suatu saat setelah aklimasi pH, akan sangat baik jika pH
dapat dipertahankan stabil.
- Suhu (T) : bakteri nitrifikasi dapat tumbuh optimal
antara suhu 20 sampai 30°C. Jika temperatur menurun maka aktivitas
metabolisme bakteri akan menurun. Pada suhu di atas 350C
bakteri mulai mengalami stres, hal ini diperkirakan karena enzim yang
rusak akibat tingginya suhu tersebut.
- Cahaya : bakteri ini sensitif akan kehadiran cahaya
yang mendekati spektrum ultraviolet. Penyebab pastinya belum diketahui,
namun diperkirakan terdapat hubungan antara superoksida radikal yang
diproduksi menghambat membran oksigen.
- Konsentrasi nitrit – nitrogen : kebutuhan sumber
nitrogen terendah menunjukan angka 0,1 mg/L bakteri ini dapat tumbuh.
4 Sistem Kultur yang umum dilakukan
4.1 Sistem kultur zooplankton
Secara umum, terdapat empat jenis
sistem kultur zooplankton untuk keperluan pakan hidup dalam proses
akuakultur yaitu :
i). Sistem statis
Sistem statis atau sistem batch merupakan
sistem kultur yang paling umum digunakan. Pada sistem statis, setelah
diinokulasi kultur akan dikembangkan selama periode tertentu, kemudian
dilakukan pemanenan pada kultur secara keseluruhan. Sistem statis ini bersifat
ekstensif dan membutuhkan ruang yang luas dalam pengerjaannya. Namun, sistem
ini mempunyai kelebihan yaitu mudah untuk dilakukan (Snell, 1991).
ii). Sistem semi sinambung (Semi-continuous
system)
Pada sistem semi sinambung ini,
kepadatan zooplankton dijaga konstan dengan pemanenan secara periodik.
Pada sistem semi sinambung sebagian volume kultur dipanen setiap hari, kemudian
kultur ditambah medium baru dengan volume yang sama. Metode ini disebut juga
sebagai metode perampingan (thinning method) (Snell, 1991).
iii). Sistem sinambung (continuous
system)
Sistem sinambung adalah sistem
kultur yang bersifat intensif. Tujuan sistem ini hampir sama dengan sistem semi
sinambung, namun sistem sinambung ini lebih konsisten dalam menjaga kualitas
air melalui frekuensi pergantian air kultur yang tinggi dan penggunaan kemostat
(Suantika, 2001; Snell, 1991). Medium kultur baru selalu ditambahkan di dalam
sistem ini, sehingga tidak diperlukan perlakuan khusus untuk menjaga pH dan
mengurangi akumulasi amonia. Pada sistem ini, kepadatan kultur yang konstan
dengan kualitas yang tinggi dapat dicapai. Produktivitas kultur dengan sistem
sinambung lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem kultur statis dan semi
sinambung (James & Abu Rezeq, 1997).
Sistem kultur sinambung memiliki
kekurangan yaitu hanya diaplikasikan dalam skala percobaan atau eksperimen, dan
belum diaplikasikan di hatchery. Sistem ini mempunyai resiko kegagalan
teknis yang tinggi karena rumit, mempunyai banyak variabel yang harus
dikontrol, dan membutuhkan biaya tinggi (Suantika, 2001).
iv). Sistem kultur berkepadatan
tinggi (Ultra-high density culture system)
Sistem kultur berkepadatan tinggi
merupakan cara efektif untuk mengkultur zooplankton tanpa memperluas
area kultur. Sistem ini mempunyai kelebihan yaitu jumlah pekerja yang
dibutuhkan sedikit, mempunyai produktivitas yang tinggi dan konsisten sepanjang
tahun (Suantika, 2001).
Sistem kultur ini dikembangkan oleh
peneliti Jepang. Dengan menggunakan kultur B. plicatilis yang mampu
mencapai kepadatan 10.000 individu/mL dalam tangki berukuran 1 m2 (Yoshimura
et.al,1995 dalam Suantika, 2001).
4.2 Sistem kultur Daphnia sp.
Berdasarkan FAO (1996), pada sistem
kultur massal Daphnia sp. dikenal dua sistem khusus :
i)
Sistem Detrital
Sistem ini adalah sistem yang dibuat
dari campuran medium tanah, pupuk kandang, dan air. Pupuk kandang berfungsi
sebagai pupuk alami untuk menginisiasi peningkatan jumlah alga yang merupakan
pakan Daphnia sp. Campuran pupuk kandang berbanding tanah ialah 1kg :
200 gr bagian dilarutkan dalam air satu liter. Sistem ini memiliki keuntungan
karena mudah untuk dirawat dan Daphnia tidak mudah mengalami defisiensi
nutrisi, karena alga yang beragam dalam jumlah berlimpah. Sistem ini memiliki
kelemahan karena tidak cukup mendukung kondisi standar kebutuhan (tidak
terkontrol) Daphnia, sehingga dapat terjadi kondisi minimnya
oksigen yang menyebabkan tingginya tingkat kematian Daphnia dan
rendahnya produksi telur.
ii) Sistem
Autotrof
Sistem autotrof adalah cara lain
dengan menambahkan alga yang sudah dikultur ke dalam kultur Daphnia.
Kultur air hijau (105 to 106sel.ml-1)
ditambahkan dari alga yang dikultur secara monokultur ataupun dari tambak ikan
yang memiliki spesies alga yang beragam. Pengontrolan kultur akan lebih mudah
jika alga yang digunakan adalah monokultur, seperti Chlorella, Chlamydomonas
atau Scenedesmus, atau campuran dari dua kultur alga tersebut. Kelemahan
sistem ini adalah tidak mampu mempertahankan kultur Daphnia untuk
generasi yang berlanjut tanpa tambahan vitamin ke dalam kultur Daphnia.
Vitamin tersebut antara lain vitamin B kompleks, kalsium pantotenat, biotin dan
thiamin.
5 Parameter Kualitas Air
5.1 Suhu
Suhu merupakan faktor lingkungan
yang penting bagi semua organisme akuatik. Batas toleransi setiap organisme
terhadap suhu berbeda-beda, tergantung dari fisiologi organisme tersebut. Di
perairan suhu berpengaruh terhadap kelarutan oksigen, yang penting bagi
keberlangsungan hidup mayoritas organisme akuatik. Pada percobaan kali ini suhu
dipertahankan pada suhu optimal pertumbuhan Daphnia sp. yaitu 250C
. Suhu optimal yang stabil akan menjaga pH dan DO dapat tetap stabil
(Mokoginta, 2003).
5.2 Nilai pH
Nilai pH atau potential hydrogen merupakan
indikator konsentrasi ion hidrogen yang menggambarkan konsentrasi asam. Nilai ini
berbanding terbalik dengan suhu, semakin tinggi suhu menyebabkan pH semakin
rendah.
Menurut Pennak (1989), pH yang baik
untuk pertumbuhan Daphnia sp. Berkisar antara 6,5 sampai 8,5. Pada
umumnya, lingkungan perairan yang netral dan relatif basa pada kisaran pH
7,1-8,0 lebih baik untuk pertumbuhan Daphnia sp. (Mokoginta, 2003)
5.3 Oksigen Terlarut (Dissolved
Oxygen atau DO)
Menurut Cole (1994), kelarutan suatu
gas (termasuk oksigen) pada medium cair merupakan karakteristik dari gas
tersebut sendiri, dan dipengaruhi oleh tekanan, ketinggian suatu tempat, suhu
dan salinitas. Kelarutan gas di medium cair menurun seiring dengan naiknya suhu
dan banyaknya mineral yang terlarut dalam medium tersebut.( Salmin, 2005)
Oksigen terlarut mempunyai peranan
penting dalam kehidupan Daphnia sp. Pada umumnya, Daphnia sp.
dapat hidup pada konsentrasi oksigen terlarut yang cukup tinggi yaitu sekitar
4,2 – 5,1 ppm dan tidak dapat hidup pada konsentrasi oksigen terlarut kurang
dari 1 ppm (Mokoginta, 2003), sedangkan menurut Delbaere & Dhert (1996),
kadar oksigen terlarut minimum yang dibutuhkan kultur Daphnia sp.
adalah sekitar 3,5 ppm.
5.4 Amonia
Hewan akuatik umumnya
mengekskresikan amonia sebagai hasil dari proses metabolisme. Terdapat amonia
yang tidak terionisasi (NH3) dan amonia terionisasi atau ion amonium
(NH4+). Amonia bersifat toksik bagi larva ataupun
organisme perairan seperti Daphnia sp. karena mampu melewati membran
organ dalam, sedangkan ion amonium tidak dapat melewati membran tersebut
(P.Kungvankij et.al, 1985). Menurut Cole (1994), setiap hari seekor Daphnia
pulex melepaskan 0,2 µg nitrogen.
Kadar amonia di perairan akan
meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan pH. Kadar amonia yang tinggi
dapat menurunkan tingkat reproduksi Daphnia sp. Kadar amonia yang aman
bagi kultur Daphnia sp. adalah di bawah 0,2 mg/L (Delbaere & Dhert,
1996)
Sumber :
/pobersonaibaho.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar